Share

Bab 2 Curiga

Suara dering ponsel  mengalihkan perhatian kami. Itu milik Mbak ayu yang diletakkan di meja. Mulutku langsung menganga ketika melihat layar yang menyala karena panggilan. Loh, itu, kan ....

"Wah, ada panggilan. Sebentar, ya, Han!" Mbak Ayu menyambar ponselnya lalu melangkah ke arah halaman belakang.

Aku yang masih tertegun hanya mengangguk patah-patah. Masih memikirkan gambar yang ada di foto profil kakak iparku tersebut. Aku yakin sekali pernah melihatnya dalam galeri Mas Prasetyo.

"Apakah hanya kebetulan, ya?" Aku bergumam sendiri, memikirkan kemungkinan yang terjadi.  Akan tetapi, kenapa letak dan posisinya juga sama. Seolah itu bukan gambar yang berbeda.

"Eh, Han, kok, malah ngelamun, sih! Bukannya bawa kue ke depan!" Suara ketus seseorang membuyarkan rasa penasaranku.

"Eh, iya, Bu." Aku menoleh sambil tersenyum kaku.

"Bocah wedo, kerjanya ga beres. Kebanyakan bengongnya," sindir ibu ketika aku melangkah melewatinya sambil membawa nampan berisi cemilan yaang kubeli di pasar itu.

Sudah biasa jika ibu berbicara tanpa menyaring kata. Bahkan, diiringi dengan suara ketus juga nada yang tinggi. Pernah suatu kali aku mengatakan pada suamiku jika aku kurang suka selalu diperlakukan seperti itu. 

Akan tetapi, Mas Prasetyo hanya mengatakan untuk sabar. Menguraikam segala hal mengenai pahala besar ketika tetap berbuat baik pada orangtua.

"Mas, aku tahu soal itu. Tapi, kan, bisa ibu kalau berbicara dengan nada biasa aja atau kata-kata yang baik. Aku ga nyaman, loh, Mas. Apalagi kadang bicaranya ga lihat tempat." Protesku kala itu, meminta bantuan untuk berbicara pada ibunya. Namun, selalu saja berakhir dengan mengatakan itu sudah karakter ibu.

"Ga juga, Mas. Ibu seperti itu cuma sama aku aja. Sama Mbak Ayu dan Mbak Siska ibu selalu berbicara lembut." Lagi-lagi aku melayangkan protes.

Aku juga bisa menilai mana yang memang sudah karakter bawaan, atau hanya dilakukan pada orang tertentu saja. Nah, apa yang dilakukan ibu mertuaku di sebabkan oleh point kedua.

Entahlah, apa karena ia menganggap jika aku hanya berasal dari keluarga biasa dengan pekerjaan yang saat itu cuma seorang sales produk kecantikan. Andai ia tahu kondisiku yang sebenarnya, akankan ia masih bersikap sama? 

Pembicaraan saat itu akhirnya selalu menemukan jalan buntu, sebab suamiku tetap pada pendapatnya. Ia tak mau menegur ibu. Padahal, kan, jika ada permasalahan antara mertua dan menantu perempuan.

Seharusnya sebagai anak dan suami, seorang lelaki harus bisa menjembataninya agar tercipta keharmonisan antara keduanya. Namun, jika timpang sebelah, hanya akan membuat salah satunya menumpuk kekesalan, yang akan meledak pada waktunya.

"Loh, Mbak Ayu mana?" tanya Mbak Wina ketika melihatku datang sendiri.

"Lagi terima telepon, Mbak."

"Oh, gitu."

"Eh, iya, Han. Ambilin gelas lagi, ini kurang, nih!" pinta Mbak Siska tanpa merasa sungkan memerintah. 

Belum juga nampan ini berpindah dari tanganku, seenaknya saja ia sudah menyuruh hal lainnya. Padahal posisi kami sama sama menantu yang tinggal di rumah ini, seharusnya ia membantu. Bukan seenaknya melimpahkan semua pekerjaan padaku.

"Loh, Siska, kalau cuma gelas aja kamu ambil aja di belakang. Hana, kan, lagi sibuk bawain makanan," tegur bapak mertuaku.

Ucapan bapak membuat semua orang melirik pada kakak ipar keduaku itu. Ia terlihat salah tingkah. Dari raut wajahnya tergambar rasa tak enak hati bercampur kesal juga. 

"Eh, i-iya, Pak," sahut Mbak Siska sambil beranjak berdiri. Dalam hati aku tersenyum melihat wajahnya yang memerah. Mungkin malu ditegur bapak.

Setelah meletakkan makanan dan mempersilahkan untuk dimakan, pandanganku kini beralih pada orang-orang di ruangan ini. Tak kudapati Mas Prasetyo. Ada dimana ia? 

Aku beranjak berdiri lalu melangkah perlahan ke dapur untuk mengambil makanan selanjutnya. Namun, ketika melewati ruang televisi aku berhenti sebentar dan menoleh ke sana, hanya ada anak-anak yang sedang bermain mobil-mobilan dan bermain kartu ditemani Restu, anak bungsu ibu.

"Mbak Hana cari Mas Pras, ya?" tanya adik iparku itu. Mungkin ia melihat pandanganku yang seperti tengah mencari seseorang. 

Aku memang ingin meminta tolong pada Mas Pras, untuk memindahkan kuah baso ke meja makan.

"Eh, iya. Dimana, ya, de?" 

"Di depan, Mbak, tadi mau nelepon katanya," sahut lelaki berusia dua puluh tahun itu sambil menunjuk ke arah teras rumah.

"Menelepon?" Aku bergumam sendiri. Ada perasaan lain menyusup di hati. 

Pikiranku kembali pada gambar yang kulihat tadi. 

"Apa iya Mas Prasetyo yang sedang menelepon Mbak ...." 

"Ealah, Hana. Kamu ini, ga dimana-mana bengong aja kerjaannya. Bukannya langsung ke dapur lagi. Itu kuah basonya belum ditaruh di meja," sembur ibu yang lagi lagi melihatku sedang tertegun dengan pikiran sendiri.

Sementara di belakangnya ada Mbak Siska yang sedang membawa beberapa gelas. Ia memandangku tajam. Sepertinya masih kesal denganku karena dibela bapak. Tapi aku tak peduli. Tak dapat mengintimidasiku, ia lalu melangkah ke ruang tamu tanpa bicara.

"Ini, Bu. Lagi cari Mas Pras, buat bantu mindahin kuah baso."

"Halah, ngangkat gitu aja pake minta bantuan. Ngangkat sendiri, kan, bisa!"

"Saya ga berani, Bu, kalau angkat sendiri." Aku memberanikan diri berbicara.

Sebenarnya aku memiliki trauma dengan panci berisi kuah panas. Apalagi wadah yang dipakai ibu lumayan besar. Jadi, aku tak mau memgambil resiko.

Ibu mencebik mendengar jawabanku. 

"Ya udah, Mbak. Nanti Restu aja yang angkat pancinya. Mas Pras kayaknya masih teleponan," sahut adik iparku itu.

"Iya Restu, makasih, ya." 

Restu mengangguk dan beranjak berdiri. Sementara ibu melangkah ke ruang depan sambil memasamkan wajah. Mungkin kesal dengan menantu yang tak sesuai harapan.

Aku menghela napas pelan, lalu melangkah ke dapur bersama bujang yang masih duduk di bangku kuliah itu.

Tak kudapati Mbak Ayu di sana. Sepertinya ia masih menelepon. 

"Di sini ya, Mbak!" tanya Restu memastikan tempat untuk meletakkan panci tersebut. 

Aku menjawab sambil mengangguk.

"Ada lagi yang mau dibantu, Mbak?"

"Udah ga ada, makasih, ya, Res."

"Iya, Mbak." Mengetahui tak ada yang dibantu lagi, adik iparku itu langsung melangkah ke ruang depan.

Setelah memastikan Restu pergi, aku melangkah diam diam ke arah halaman belakang. Sayup sayup terdengar suara Mbak ayu yang masih berbicara di telepon. 

Aku melangkah lebih mendekat, penasaran dengan seseorang yang ditelepon. Namun, baru saja hendak mengayunkan kaki, seseorang menepuk pundakku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status