Suara dering ponsel mengalihkan perhatian kami. Itu milik Mbak ayu yang diletakkan di meja. Mulutku langsung menganga ketika melihat layar yang menyala karena panggilan. Loh, itu, kan ....
"Wah, ada panggilan. Sebentar, ya, Han!" Mbak Ayu menyambar ponselnya lalu melangkah ke arah halaman belakang. Aku yang masih tertegun hanya mengangguk patah-patah. Masih memikirkan gambar yang ada di foto profil kakak iparku tersebut. Aku yakin sekali pernah melihatnya dalam galeri Mas Prasetyo. "Apakah hanya kebetulan, ya?" Aku bergumam sendiri, memikirkan kemungkinan yang terjadi. Akan tetapi, kenapa letak dan posisinya juga sama. Seolah itu bukan gambar yang berbeda. "Eh, Han, kok, malah ngelamun, sih! Bukannya bawa kue ke depan!" Suara ketus seseorang membuyarkan rasa penasaranku. "Eh, iya, Bu." Aku menoleh sambil tersenyum kaku. "Bocah wedo, kerjanya ga beres. Kebanyakan bengongnya," sindir ibu ketika aku melangkah melewatinya sambil membawa nampan berisi cemilan yaang kubeli di pasar itu. Sudah biasa jika ibu berbicara tanpa menyaring kata. Bahkan, diiringi dengan suara ketus juga nada yang tinggi. Pernah suatu kali aku mengatakan pada suamiku jika aku kurang suka selalu diperlakukan seperti itu. Akan tetapi, Mas Prasetyo hanya mengatakan untuk sabar. Menguraikam segala hal mengenai pahala besar ketika tetap berbuat baik pada orangtua. "Mas, aku tahu soal itu. Tapi, kan, bisa ibu kalau berbicara dengan nada biasa aja atau kata-kata yang baik. Aku ga nyaman, loh, Mas. Apalagi kadang bicaranya ga lihat tempat." Protesku kala itu, meminta bantuan untuk berbicara pada ibunya. Namun, selalu saja berakhir dengan mengatakan itu sudah karakter ibu. "Ga juga, Mas. Ibu seperti itu cuma sama aku aja. Sama Mbak Ayu dan Mbak Siska ibu selalu berbicara lembut." Lagi-lagi aku melayangkan protes. Aku juga bisa menilai mana yang memang sudah karakter bawaan, atau hanya dilakukan pada orang tertentu saja. Nah, apa yang dilakukan ibu mertuaku di sebabkan oleh point kedua. Entahlah, apa karena ia menganggap jika aku hanya berasal dari keluarga biasa dengan pekerjaan yang saat itu cuma seorang sales produk kecantikan. Andai ia tahu kondisiku yang sebenarnya, akankan ia masih bersikap sama? Pembicaraan saat itu akhirnya selalu menemukan jalan buntu, sebab suamiku tetap pada pendapatnya. Ia tak mau menegur ibu. Padahal, kan, jika ada permasalahan antara mertua dan menantu perempuan. Seharusnya sebagai anak dan suami, seorang lelaki harus bisa menjembataninya agar tercipta keharmonisan antara keduanya. Namun, jika timpang sebelah, hanya akan membuat salah satunya menumpuk kekesalan, yang akan meledak pada waktunya. "Loh, Mbak Ayu mana?" tanya Mbak Wina ketika melihatku datang sendiri. "Lagi terima telepon, Mbak." "Oh, gitu." "Eh, iya, Han. Ambilin gelas lagi, ini kurang, nih!" pinta Mbak Siska tanpa merasa sungkan memerintah. Belum juga nampan ini berpindah dari tanganku, seenaknya saja ia sudah menyuruh hal lainnya. Padahal posisi kami sama sama menantu yang tinggal di rumah ini, seharusnya ia membantu. Bukan seenaknya melimpahkan semua pekerjaan padaku. "Loh, Siska, kalau cuma gelas aja kamu ambil aja di belakang. Hana, kan, lagi sibuk bawain makanan," tegur bapak mertuaku. Ucapan bapak membuat semua orang melirik pada kakak ipar keduaku itu. Ia terlihat salah tingkah. Dari raut wajahnya tergambar rasa tak enak hati bercampur kesal juga. "Eh, i-iya, Pak," sahut Mbak Siska sambil beranjak berdiri. Dalam hati aku tersenyum melihat wajahnya yang memerah. Mungkin malu ditegur bapak. Setelah meletakkan makanan dan mempersilahkan untuk dimakan, pandanganku kini beralih pada orang-orang di ruangan ini. Tak kudapati Mas Prasetyo. Ada dimana ia? Aku beranjak berdiri lalu melangkah perlahan ke dapur untuk mengambil makanan selanjutnya. Namun, ketika melewati ruang televisi aku berhenti sebentar dan menoleh ke sana, hanya ada anak-anak yang sedang bermain mobil-mobilan dan bermain kartu ditemani Restu, anak bungsu ibu. "Mbak Hana cari Mas Pras, ya?" tanya adik iparku itu. Mungkin ia melihat pandanganku yang seperti tengah mencari seseorang. Aku memang ingin meminta tolong pada Mas Pras, untuk memindahkan kuah baso ke meja makan. "Eh, iya. Dimana, ya, de?" "Di depan, Mbak, tadi mau nelepon katanya," sahut lelaki berusia dua puluh tahun itu sambil menunjuk ke arah teras rumah. "Menelepon?" Aku bergumam sendiri. Ada perasaan lain menyusup di hati. Pikiranku kembali pada gambar yang kulihat tadi. "Apa iya Mas Prasetyo yang sedang menelepon Mbak ...." "Ealah, Hana. Kamu ini, ga dimana-mana bengong aja kerjaannya. Bukannya langsung ke dapur lagi. Itu kuah basonya belum ditaruh di meja," sembur ibu yang lagi lagi melihatku sedang tertegun dengan pikiran sendiri. Sementara di belakangnya ada Mbak Siska yang sedang membawa beberapa gelas. Ia memandangku tajam. Sepertinya masih kesal denganku karena dibela bapak. Tapi aku tak peduli. Tak dapat mengintimidasiku, ia lalu melangkah ke ruang tamu tanpa bicara. "Ini, Bu. Lagi cari Mas Pras, buat bantu mindahin kuah baso." "Halah, ngangkat gitu aja pake minta bantuan. Ngangkat sendiri, kan, bisa!" "Saya ga berani, Bu, kalau angkat sendiri." Aku memberanikan diri berbicara. Sebenarnya aku memiliki trauma dengan panci berisi kuah panas. Apalagi wadah yang dipakai ibu lumayan besar. Jadi, aku tak mau memgambil resiko. Ibu mencebik mendengar jawabanku. "Ya udah, Mbak. Nanti Restu aja yang angkat pancinya. Mas Pras kayaknya masih teleponan," sahut adik iparku itu. "Iya Restu, makasih, ya." Restu mengangguk dan beranjak berdiri. Sementara ibu melangkah ke ruang depan sambil memasamkan wajah. Mungkin kesal dengan menantu yang tak sesuai harapan. Aku menghela napas pelan, lalu melangkah ke dapur bersama bujang yang masih duduk di bangku kuliah itu. Tak kudapati Mbak Ayu di sana. Sepertinya ia masih menelepon. "Di sini ya, Mbak!" tanya Restu memastikan tempat untuk meletakkan panci tersebut. Aku menjawab sambil mengangguk. "Ada lagi yang mau dibantu, Mbak?" "Udah ga ada, makasih, ya, Res." "Iya, Mbak." Mengetahui tak ada yang dibantu lagi, adik iparku itu langsung melangkah ke ruang depan. Setelah memastikan Restu pergi, aku melangkah diam diam ke arah halaman belakang. Sayup sayup terdengar suara Mbak ayu yang masih berbicara di telepon. Aku melangkah lebih mendekat, penasaran dengan seseorang yang ditelepon. Namun, baru saja hendak mengayunkan kaki, seseorang menepuk pundakku.Setelah memastikan Restu pergi, aku melangkah diam diam ke arah halaman belakang. Sayup sayup terdengar suara Mbak Ayu yang masih berbicara di telepon. Aku melangkah lebih mendekat, penasaran dengan siapa orang di seberang telepon. Namun, baru saja hendak mengayunkan kaki, seseorang menepuk pundakku."Ngapain kamu, De, ngendap ngendap gitu. Kaya maling aja!"Aku tersentak dengan jantung berdebar. Lalu refleks menoleh pada suara yang kukenal sambil memberi isyarat telunjuk di bibir. Khawatir Mbak Ayu melihat kami.Gegas aku berbalik, dan menggandeng Mas Prasetyo untuk kembali ke dapur."Kamu ngapain, sih! Lagi nguping, ya?" Suamiku menebak gelagatku yang mungkin terlihat mencurigakan.Aku sedikit gelagapan. Tidak mungkin kukatakan yang sebenarnya, jika aku mencurigai yang menelepon Mbak Ayu adalah Mas Prasetyo. Namun, nyatanya orang di seberang itu bukan suamiku.Terbukti ia ada di sin
Sudah tiga hari aku mendiamkan suamiku. Dan selama itu pula ia berlaku sama. Aneh saja! Kesalahan yang diperbuat tidak membuatnya merasa bersalah.Justru, ia sangat marah ketika aku protes tentang ketidak jujurannya. Dan kini, ia bersikap seolah-olah aku yang membuat kesalahan.Kenyataan bahwa yang membelikan ibu alat kecantikan itu adalah Mas Prasetyo, membuatku lemas seketika. Bukan karena cemburu, melainkan ketidakadilan juga ketidakjujurannya terhadapku."Mas, andai bapak ga bilang, pasti kamu juga ga akan ngasih tahu aku, kan?" Aku bertanya dengan suara bergetar, sementara suamiku terlihat salah tingkah.Saat itu bapak yang bersuara hendak membelikanku alat kecantikan itu juga. Katanya, bergantian. Jika ibu dibelikan Mas Prasetyo, maka bapak yang akan membelikanku. Namun, aku menolaknya dengan halus. Bukan tidak berterima kasih, tapi tatapan tajam ibu juga rengekan Mbak Wina yang mengatakan bapaknya pilih ka
"Han, boleh ummi bertanya?""Tentang apa, Mi?""Kapan kamu akan mengunjungi ayahmu?"Aku yang awalnya antusias ingin mendengar pertanyaan ummi Evi, langsung lemas seketika. Bahuku meluruh dengan wajah menunduk. Senyum sinis tersungging di bibirku.Mendengar satu kata itu, membuat mood-ku semakin buruk. Goresan hati sebab perilaku suamiku belum juga sembuh, kini ditambah luka di masa lalu yang kembali menganga."Jangan sebut orang itu, Ummi!" Aku meminta dengan suara lirih.Sekelebatan bayangan kala itu melintas dalam ingatan, membuatku tubuhku menegang."Jangan sebut orang itu!" Suaraku semakin serak, buliran bening telah menganak sungai. Tak kuasa menampung beban, akhirnya keluar juga airmata yang sejak tadi kutahan."Ia tetap ayahmu, Hana!" "Aku membencinya Ummi!""Kamu harus mendengarkan penjelasannya, Nak! Apa yang terjadi tidak seperti yan
"Oh, ya satu lagi. Kalau belum siap jadi ibu, suruh ayahnya anak-anak mencari ibu baru. Daripada mereka sering kelaparan!" ucapku diiringi senyuman mengejek pada kakak iparku.Tentu saja hal itu membuatnya semakin meradang, dan langsung berdiri hendak menyerang. Satu tangannya sudah terayun menuju ke arahku. Namun, sebuah teriakan menghentikan gerakan kakak iparku itu "Siska!" Suara bariton yang penuh penekanan membuat kami menoleh serempak ke asal suara.Tampak bapak yang baru saja keluar rumah berdiri dengan rahang yang mengeras dan mata yang menatap tajam."Jangan kamu sentuh Hana!" perintah bapak.Demi melihat aura bapak yang terlihat tak bersahabat itu, membuat kami terdiam semua. Sementara Mbak Siska yang sedang dikuasai amarah langsung menguarkan kekesalannya."Hana buat aku kesal, Pak. Masa suamiku disuruh cari ibu baru buat anak anak!" "Ga mungkin ada asap kalau ga ada api!"
"Nanti malam kita diundang Ayu ke pesta ultah ibunya di hotel daerah Thamrin," ucap ibu memberitahu.Beberapa orang yang sedang menikmati sarapan pagi langsung terpekik senang "Apa nama hotelnya, Bu?" tanya Mbak Siska dengan mata berbinar."Lupa ibu, tapi yang pasti hotel mewah," sahut perempuan paruh baya itu yang hendak menyuap nasi kuning ke mulutnya."Wah, itu udah pasti. Sekelas Mbak Ayu, kalau ngadain pesta, pasti tempatnya ga kaleng kaleng," ucap kakak iparku itu lagi."Asik, nih, bakalan makan enak nanti," timpal Mas Arga, suami Mbak Siska."Bawa tupperware, Mas, buat ngebungkus," seloroh Restu pada abangnya. Semua orang tertawa. Memang adik bungsu di keluarga ini suka bercanda."Aman, nanti Mas bawa yang paling besar. Tapi kamu yang ngambilin, hahaha," balas Mas ArgaTerlihat lelaki berusia dua puluh tahun itu menjulurkan lidah, meledek abangnya."N
"Bu, bagaimana kalau si Hana sampai tahu?"Suara seorang yang kukenal membuatku menghentikan langkah di depan kamar ibu. Aku tercenung ketika namaku disebut. Dengan gerakan pelan aku lebih mendekat ke arah pintu, sambil mengawasi sekitar, memastikan tidak ada orang melihat."Ga mungkin tahu, lah!""Memang sampai kapan mau disembunyikan? Seharusnya diberitahu aja, Bu!""Ya enggalah. Nanti bisa dikacau sama si Hana itu. Nanti aja kalau udah nikah, baru dikasi tahu?"Kedua alisku tertaut, memikirkan obrolan keduanya. Siapa yang akan menikah? Dan kenapa aku tak boleh tahu?"Kira kira ngamuk ga, ya, Bu?""Mana berani dia? Lihat aja selama ini si Hana itu cuma manggut manggut aja, kan, kalau ibu dah ngomong ini itu?""Iya juga, sih! Untungnya dia polos, ya, Bu? Jadi, lumayan buat disuruh suruh.""Ya mau gimana lagi! Nasi udah jadi bubur! Mau dibuang,
Aku mematut diri di cermin, memperhatikan riasan yang sesuai dengan keinginanku. Ketika dirasa sudah cukup sempurna, aku menyungingkan senyum tipis. Tentu mereka akan tercengang dengan penampilanku ini. "Kini, semuanya tak akan sama!" Aku bergumam sendiri sambil menatap pantulan diri.Kuangkat dagu sedikit, dengan memasang wajah dingin sambil melemparkan tatapan tajam, lalu berbalik dan melangkah keluar kamar.Penghuni rumah telah berkumpul di ruang tamu, memakai pakaian terbaik yang dimiliki. Semuanya terlihat berbeda. Sepertinya, mereka betul betul berusaha untuk tampil mengesankan."Hana!" pekik Mbak Siska yang pertama kali melihatku.Mendengar suara melengking itu, membuat yang lainnya menoleh ke Mbak siska, lalu beralih padangan mengikuti tatapan perempuan berambut sebahu itu. Dan seperti yang kuharapkan. Semua mata membulat melihat penampilanku."Astahgfirulloh, Hana! Kok, begini, sih!" ucap
"Apa yang terlihat belum tentu sesuai dengan apa yang kita pikirkan, Han." Ummi berkata sambil menatap gemericik air pancuran yang berada di kolam ikan. Kami sedang duduk berdampingan di halaman belakang rumah.Aku menoleh pada perempuan yang sebaya dengan almarhum ibuku itu. "Kamu tahu, kan, kisah yang lagi viral di medsos itu?" tanyanya masih menatap ke depan.Aku memgangguk. Potongan video itu sering lewat di beranda media sosialku. Seorang menantu tengah berteriak kepada ibu mertua dan kakak iparnya. Lalu, si perempuan muda itu pergi tanpa mempedulikan panggilan perempuan yang melahirkan suaminya."Karena melihat sesuatu yang sepotong, banyak orang langsung menghujat bahkan menghina si perempuan muda."Aku menyimak dengan seksama."Sebenarnya ga salah juga, karena cuplikan video itu memang membuat geram orang yang menontonnya. Namun, ...."Ummi Evi menjeda ucapannya