Share

4. Incaran Polisi

Orang-orang sering mengatainya dengan nama itik buruk rupa. Si gendut bermata empat. Hinaan bahkan seringkali didengar setiap hari, entah karena badannya, sikapnya atau kebiasaannya.

Carissa sadar atas semuanya. Ia memang perempuan yang tak menarik di mata laki-laki. Atau bahkan di mata orang lain. Walau dirinya berpendidikan tapi ia punya kekurangan. Kekurangan itulah yang menutup mata orang-orang dalam melihat hati Carissa yang sebenarnya. 

Diusianya yang sudah menginjak 25 tahun ia belum menikah. Fathur-Ayahnya sering kali membantu Carissa dalam mencari pasangan hidup. Sudah banyak perjodohan yang dilakukan Carissa dengan calon pria, namun tak ada satupun yang mau dengan dirinya. 

Awalnya setiap pria menerimanya, tapi di belakang mereka diam-diam menghina fisiknya, berakhir pergi tak ada kabar. Perjodohan itu seringkali Fathur lakukan, tapi juga seringkali sang calon menolak secara baik-baik.

Terakhir kali, Fathur membawa pria bernama Arkan. Pria itu baik, senyumnya manis, berpendidikan dan jelas asal-usulnya. Fathur suka kepada pria itu, selain baik pria itu juga anak dari sahabatnya, menjadikan Fathur menjodohkan antara Arkan dan Carissa. 

Bagi Carissa pilihan Ayahnya adalah yang terbaik, jadi ia akan menerima dengan siapa-siapa saja pria manapun itu. Asalkan pria itu bawaan dari Ayahnya maka Carissa akan menerimanya. 

Namun, satu hal yang tidak Arkan tau saat itu. Bahwa yang dijodohkan bukanlah dengan Bianca, melainkan Carissa. Hal itu jelas membawa perubahan untuk Arkan, pria itu menolak tegas perjodohan setelah tahu siapa wanita yang akan ia nikahi. 

Pernikahan hendak dilakukan, namun tanpa Carissa sedari dirinya malah dijebak. Entah bagaimana awal mulanya, Carissa tidak ingat. Yang ia ingat tiba-tiba dirinya tertidur dengan pria asing. Ah tidak! Seorang preman! Preman meresahkan! 

Tak menyangka pula bahwa Bianca berkontribusi dalam merencanakan jebakan ini, mengatakan pula bahwa ia bukanlah anak dari Fathur dan Ilma. 

Entah takdir apa yang akan terjadi pada Carissa, mengetahui kebenaran bahwa ia bukanlah putri kandung dari Fathur membuat semangatnya dalam menjalani hidup lemas sudah. Terhimpit sekaligus tersiksa kala ingatan menyakitkan itu semakin beputar di dalam isi kepalanya. Sekarang ia tak punya siapa-siapa, mau pergi pun bingung ke mana. 

"Ya Tuhan ... ke mana aku harus pergi?" Perempuan itu tampak resah, hari sudah menunjukkan gelapnya, itu berarti tak lama lagi malam akan hadir menyapa. Tapi sampai sekarang ia belum menemukan kost atau kontrakan yang bisa ia tinggali. Setiap ia datangi kontrakan pasti selalu penuh. 

Carissa menangis kembali, namun dengan cepat ia menggeleng, menguatkan dirinya bahwa ia bisa menjalani ujian ini. 

Suara dering ponsel terdengar dari saku jaketnya, dengan segera Carissa mengangkatnya. 

"Bagaimana, Nin? Ada?" tanya Carissa saat sambungan itu tersambung. 

"Maaf, sudah penuh."

Carissa tampak lemas, ia sudah lelah, sedari tadi ia terus mencari kontrakan, bukan hanya secara langsung melainkan menanyakan pula pada teman-temannya yang baik agar mau mencarikan kontrakan. Namun sejauh ini temannya pun tampaknya enggan membantu, terbukti bahwa mereka hanya mengatakan tidak tahu, atau tidak ada. 

Menyerah, Carissa menyerah untuk kembali mencari kontrakan. Biar saja, biarkan ia tidur di jalanan, tak peduli dengan kondisinya yang mungkin akan sakit karena masuk angin. Semuanya ... dirinya sudah lelah, tak punya kekuatan untuk berjalan.

Tapi, duduk di sini pun tak ada gunanya,masalahnya tempat ini sangat terbuka,yang lewat pasti banyak, membuatnya malu saja. 

Pada akhirnya Carissa berjalan kembali tak tentu arah. Wanita itu menarik kopernya dengan tatapan kosong. 

"Minggir! Ck! Minggir!"

Suara kegaduhan dari belakang membuat Carissa menghindar, tak menengok ke belakang, namun sial! Di belakangnya seseorang malah menabrak dirinya. 

"Aw! Sial!" 

Carissa ikut terjatuh. Pantatnya mencium tanah agak keras. Wanita itu meringis sakit. Sudah bobot tubuhnya yang berat, terjatuh pula, menjadikan tubuh itu susah untuk berdiri. 

"Aku bilang mingg--kamu?!"

Deg. 

Suara itu! 

Carissa membuka mata, terkejut kala mendapati siapa dibalik pria yang baru saja menabraknya. Walau pria itu tertutup tudung hoodie, tapi tak memungkinkan Carrissa mengenalinya dalam sekali tatapan. 

"Kau?!" marah Carissa setengah kesal. "Apa yang kamu-"

"Tuan Zavier!"

"Itu, dia!"

Pria yang dipanggil dengan nama Zavier itu mengeram kesal, sedang Carissa yang melihat kegaduhan atas banyaknya orang dibuat bertanya-tanya. Namun tatapan matanya melotot saat mendapati polisi berada di sana juga. Seperti pasukan tentara, mereka saling bergaduh dengan teriakan yang berhasil menjadi pusat perhatian. 

"Jangan sampai dia lolos!" Carissa melotot mendengar teriakan dari ujung sana, namun pelototannya bukan ia tujukan pada orang-orang tersebut melainkan pada preman ini! 

"Kau melakukan lagi kerusuhan?! Sekarang apalagi yang kau lakukan hah?!" Tak habis pikir pada pria di depannya ini, pria itu pasti saja selalu bermusuhan dengan polisi. 

"Tuan Zavier!"

Mendengar nama itu kembali dipanggil Zavier dengan segera menarik lengan Carissa agar ikut dengannya. 

"Lepas! Aku gak mau ikut!" teriak Carissa saat pria itu menarik paksa tangannya untuk berdiri. Sudah tau bobot tubuhnya berat, menjadikan pria itu tertarik kembali. 

"Argh! Kau mau jadi tahanan mereka hah! Jika kau mau ya sudah, diam di sini dan jangan ikuti aku!" ujarnya kemudian melepaskan lengan Carissa. 

Carissa mendadak ketar-ketir mendengar penuturan tersebut. Apalagi ditambah dengan teriakan di belakang sana yang semakin mendekat. 

Mendadak ia jadi lupa. Alhasil Carissa berteriak pada preman bernama Zavier.

"Tunggu! Aku ikut!" teriaknya sembari menarik belakang hoodie Zavier. 

Wanita bertubuh gemuk itu agak susah berdiri, namun karena dibantu oleh Zavier membuat perempuan itu akhirnya bisa berdiri. 

"Tunggu!" Saat hendak berlari, Carissa menahan tangan Zavier, sontak hal itu menambah kekesalan Xavier. 

"Apalagi?"

"Sepatuku, aku tidak bisa berlari kencang jika harus memakai sepatu!"

Allahu! 

Zavier menepuk jidatnya sendiri. 

"Dia di sana!" Teriak salah satu dari mereka yang kini menatap keduanya. 

"Sial!" Zavier panik melihat gerombolan dari mereka berlari, tatapan matanya mengarah pada Carrissa yang sibuk melepaskan sepatu. 

"Kau terlalu lama! Buang saja semua ini!" ujarnya kemudian merebut paksa sepatu Carissa, membuangnya kemudian menarik paksa lengan Carissa agar berlari. 

"Eh, hei! Sepatuku!" Carrissa menoleh ke belakang di mana sepatunya di lempar entah ke mana. Namun tatapannya melotot saat menyadari kopernya ada di sana, tidak ia bawa. 

"Tunggu, koper---koperku!" pekik Carrissa.

"Nanti saja kita ambil lagi!" jawab Zavier tak memperdulikan raut kesal Carissa. Preman itu terus menyeretnya agar menghindar dari segerombolan orang-orang yang sedari tadi berteriak nama Zavier. Hingga pada akhirnya mau tak mau Carrissa ikut berlari seiring langkah pria itu yang semakin cepat dan lebar. Suara sirene polisi bahkan ikut memacu ketegangan yang adaa. 

"Tuan Zavier! Aku perintahkan kau untuk berhenti!" Suara itu semakin keras, membuat Zavier merasakan kalau mereka semakin dekat. 

Tak melihat keadaan Carissa yang hampir pingsan, pria itu terus menarik lengan Carissa agar berlari sekuat tenaga. 

"Kita bersembunyi di sana!"

Melihat ada tempat kosong membuat Zavier membawa Carissa ke sana. Sebelum itu ia melihat ke mana dulu sekiranya tempat yang aman. Melihat ada tempat yang cukup menampung keduanya membuat Zavier segera masuk ke dalam. 

"Masuk dong!"

"Ini udah masuk! Tempatnya aja yang kecil!" jawab Carissa pada saat ia masuk ke sebuah tong besar. Tong itu sudah rusak, membuat ia merangkak masuk ke dalamnya. 

"Bukan tongnya, tapi kamunya aja yang besar." 

Carissa menghiraukan ucapan pria itu. Napasnya semakin memburu sesaat ia sudah duduk. 

"Suttt, diam!" Dengan spontan Zavier menyimpan jari telunjuk di bibir Carissa saat keduanya mendengar sebuah suara. 

Dengan napas tersengal-sengal, dengan nafas semakin memburu, keduanya terdiam di dalam satu tempat yang agak gelap. Keringat dibalik pelipis berjatuhan sering napasnya yang kian ngos-ngosan. 

"Di mana? Di mana dia?" Kata seseorang dengan napas tersengal-sengal. Suara sirene yang sedari tadi terdengar ikut berhenti tepat ditempat pemberhentian antara Zavier maupun Carissa. 

"Di mana? Kalian tidak menemukan mereka?"

"Tidak, Pak! Tadi saya lihat ke sini, tapi tiba-tiba tidak ada."

"Pasti tidak jauh dari sini," ucap Polisi tersebut. "cepat cari di seluruh tempat ini! 

Jantung Carissa berdetak sangat cepat, tanpa sadar ia menggenggam tangan Zavier dengan gelisah. 

"Kau hanya perlu diam saja," bisik Zavier pada Carissa. Carissa menurut, ia membungkam mulutnya agar tidak menimbulkan suara bunyi. 

"Sangat susah untuk menangkap Zavier!" ucap salah satu diantara mereka. Suara gerakan langkah kaki terdengar menuju Zavier dan Carissa, membuat keduanya dengan refleks saling mendekat-memepet.

"Heh! Jangan asal kalo bicara. Tuan! Bukan Zavier!"

"Eh, iya, iya---"

"Coba kita cek ke sana." Sialnya, kedua pria itu mendekat menuju tempat di mana Zavier dan Carissa bersembunyi. Semakin dekat langkah itu semakin deg deg an pula jantung keduanya. Takut, takut apabila detakan jantung itu terdengar sampai ke dua pria itu, menjadikan keduanya harus ditangkap. 

Carissa menggenggam erat lengan Zavier, terlihat rona ketakutan dibalik wajahnya. 

Zavier menyimpan jari telunjuknya di bibirnya sendiri. Memberi syarat agar Carissa tidak bergerak. 

Carrissa menggigit bibir bawahnya saat langkah kaki itu semakin dekat. 

"Sepertinya mereka tidak ada di sini," ucap salah satu dari mereka. 

"Ya sudah, mungkin kita salah jalan dalam mencari." Keduanya pergi, membuat napas Carissa yang sedari tadi tertahankan terlepas sudah. Menyadari satu hal Carissa dengan cepat melepaskan tangannya dalam mencekal lengan Zavier. Bergeser pula untuk memberi jarak, namun ... 

Tangan kiri Carissa merasakan sebuah kenyalan. Terasa aneh tapi ... 

"Apa ini?" gumamnya kemudian menarik benda kenyal tersebut, sampai... 

"Aaaa--- Bbpppp!" Kala teriakan itu menggema, dengan cepat Zavier membekap mulut Carissa. 

"Kau gila? Bagaimana jika mereka kembali?"

Bukannya melepaskan bekapan tersebut wanita itu malah menangis, menangis keras mengingat atas apa yang ia pegang tadi. 

"Apa? Kenapa kau menangis?" tanya Zavier heran. 

Carissa semakin menangis, membuat Zavier menatapnya curiga. 

Jangan bilang ...? 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status