Share

3. Bukan Anak Kandung

Carissa membenarkan kacamata besarnya yang bertengger di hidung. Perempuan bertubuh gemuk itu berjalan menuju halaman rumahnya. Rumah  bercat hijau itu sudah menjadi rumah yang paling ia rindukan, bersama Ayah, Ibu, Carissa ingin kembali berkumpul. 

Tak terasa, tiba-tiba kelopak matanya mengumpulkan cairan bening. Cairan yang siap jatuh kapan saja, mengingat atas perlakuan Ayahnya membuat luka itu kembali terbuka. 

Carissa merasakan sakit, namun ia juga tidak bisa jika harus marah pada Ayahnya. Mau bagaimana pun Ayahnya adalah lelaki terbaik yang ia punya. Sosok laki-laki yang memberinya sejuta kasih sayang dan cinta. Tanpa Ayah, Ibu … mungkin Carissa tidak akan bisa menjadi Carissa yang sekarang juga. 

Carissa bersiap mengetuk pintu, namun sebelum itu dilakukan Carissa sudah menangis tatkala di depan pintu tersebut sudah ada koper. Koper miliknya. 

Tidak bisa membendung tangis itu, Carissa membuka koper tersebut dengan tangan bergetar. Dan benar saja, semua barang-barangnya ada di sini, semuanya … tidak ada yang tersisa. 

Sakit, sesak. Lagi. Hati itu kembali merasakan sakitnya. Ingatan dirinya yang ditam*par berputar di dalam otaknya. Ingatan akan dirinya yang dinyatakan sudah ma*ti membuat luka itu kian menghantam amat dalam. Tak hanya luka fisik yang ia dapat, luka batin pun ia terima dari orang-orang terdekatnya. 

Carissa tidak bisa membiarkan ketiadakadilan ini tertuju padanya. Apa yang telah ia lakukan? Selama ini ia hormat kepada Ayah, Ibunya. Menurut pada setiap perkataan mereka. Bahkan ia tidak pernah melawan atas apa yang keduanya inginkan. Tapi, kenapa ketidak adilan ini ia rasakan hanya karena satu kesalahan? Itu pun bukan dirinya yang melakukan melainkan Arkan! Tunangannya sendiri. 

Tidak! Carissa tidak akan membiarkan ini terjadi. Sebisa mungkin ia akan menjelaskan semuanya kepada Fathur, mengatakan bahwa apa yang tadi dia lihat semuanya hanyalah fitnah. 

Carissa mengusap air matanya yang terus jatuh. Dengan sekali ketukan ia  mengetuk pintu, namun tiba-tiba.. 

“Apa yang kau lakukan di sini, Kak?”

Carissa refleks menoleh ke asal suara. 

“Bianca?” Carissa tersenyum memanggil namanya. Dia adiknya, adik satu-satunya. 

“Bi, tolong kakak. Bantu kakak, Bi. Kakak enggak melakukan apapun, semuanya fitnah. Kakak enggak salah!” Carissa menatap dalam manik hitam Bianca, berharap adiknya mau melakukan sesuatu. 

“Lelaki yang Ayah jodohkan denganku, yang mau menerima untuk menikahiku, dia … dia memfi*tnahku. Dia tidak ingin menikah denganku.” Carissa kembali menangis. Tak sanggup mengingat betapa k*eji dan hinanya Arkan. Pria itu benar-benar membut em*osi Carissa naik-turun. 

“Aku gak masalah kalau dia tidak mau menikah denganku. Tapi aku tidak terima atas apa yang dia lakukan padaku. Dia … dia membuat Ayah membenciku. Aku gak mau Dek … aku …tidak ingin Ayah membenciku.” Bahu Carissa semakin bergetar. Namun, tangisnya mendadak terhenti kala mendengar kekehan dari seseorang di depannya. 

“Apa yang kau pikirkan, Kak? Membantumu?”

Carissa mendadak beku mendengar penuturan dingin dari Bianca. 

“Apa kakak tidak tau, lelaki yang kakak terima dalam perjodohan tak lain adalah pacarku!”

“Apa?!” Carissa menatap Bianca tak percaya. 

“Iya. Dan kakak mau memisahkan kami begitu aja? Oh, tentu saja tidak bisa!”

“Jadi, kalian ….”

Bianca bersedekap dada, perempuan bertubuh tinggi nan cantik itu tersenyum remeh. “Kami yang melakukannya!”

Carissa tidak percaya ini. Ia ditu*suk dari belakang oleh tunangannya dan adiknya sendiri? 

“Seharusnya kakak sadar, kalau lelaki seperti Arkan tidak mungkin memilih kakak sebagai pasangan hidup. Jangankan menjadi pasangan, hidup bersama kakak saja dia enggan.”

“Tapi---tapi Ayah—”

“Karena Ayah tidak tau siapa Arkan. Yang dia tahu Arkan adalah anak dari sahabat Ayah, menjadikan dia dijodohkan dan menerima perjodohan itu.”

“Jika kau tau dia adalah pacarmu lalu kenapa kau tidak bilang sama kakak, Dek!” teriak Carissa marah. “Kenapa kau malah menjebakku dengan seorang preman itu! Kenapa?!”

“Karena aku benci kakak!” teriak Bianca tak kalah memburu. 

“Kakak selalu dimanjakan Ayah! Kakak selalu yang paling diutamakan oleh Ayah! Bahkan, setiap perjodohan yang Ayah lakukan sellau saja tertuju untuk Kakak! Itu tak adil, aku iri kak, aku iri!”

Carissa menggeleng tidak percaya. Tangis yang kian luruh semakin luruh mendengar ucapan yang begitu menusuk hatinya. 

“Kakak yang selalu diutamakan! Sedang aku? Ketika aku ingin menikah, Ayah malah melarangku, mengatakan kalau kakak yang harus lebih dulu menikah. Kenapa? Kenapa harus kakak yang Ayah dan Ibu utamakan. Kenapa mereka tidak pernah peduli padaku? Katakan, Kak? Kenapa mereka seakan tidak peduli padaku?”

“Dek, apa kau tidak sadar dengan ucapanmu? Kau  … merasa iri dengan kakak?”

Bianca terdiam. Ia hanya menatap nanar Carissa. 

“Justru kakak yang iri sama kamu, Dek! Apa kamu paham artinya dihinakan? Setiap hari, Dek. Setiap hari aku selalu mendapat hinaan karena tubuh ini! Setiap hari aku selalu dibanding-bandingan antara aku dan kamu! Dan setiap hari, ketika Ayah membawa laki-laki untuk dijodohkan denganku … semuanya menolak aku, Dek! Kau pun tau akan hal itu kan?” Carissa menghapus kasar air matanya. 

“Sudah belasan laki-laki yang Ayah jodohkan padaku. Tapi apa kata mereka? Mereka kira mereka akan dijodohkan dengan kamu. Yang cantik, putih, ideal, sempurna! Tapi setelah mereka tau siapa orang yang akan dijodohkan … semuanya langsung pergi, menghindar, bahkan tidak ada kabar. Diam-diam mereka menghina kakak, setiap hinaan yang keluar dari mulut mereka … apa tidak membuatku sakit hati? Sakit dek, sakit … mereka lagi-lagi harus membandingkan kecantikanku dengan kecantikanmu. Mereka—”

“Itu karena kakak tidak bisa berias diri! Menjadikan kakak tidak tertarik di depan laki-laki. Harusnya kakak sadar, jika sudah begitu kakak ubah, ubah penampilan kakak.”

“Aku bahkan sudah berusaha merubah diriku Dek!”

Bianca tertawa. “Merubah? Mana? Tubuh kakak masih gemuk-gemuk saja, bahkan semakin bertambah gemuk! Rambut kakak?” Bianca menyentuh rambut Carissa dengan jijik.

“Bercabang dan keras, dan ini … kacamata bulat dengan ukuran yang besar.” Bianca mengambil kacamata Carissa. “Siapa yang mau dengan penampilan kakak yang seperti ini?” ucapnya berhasil menusuk sampai ke relung hati Carissa. 

“Pantas saja semua laki-laki menolak. Karena kakak tidak pernah mau merubahnya. Sekarang, ketika lamaran terakhir datang, dan Arkan menerimanya … apa kakak tidak sadar bahwa dia terpaksa menerima perjodohan itu? Dia terpaksa kak! Dia terpaksa!”

Kedua tangan Carissa mengepal. Hatinya kian remuk setelah mendengar hinaan demi hinaan yang dikeluarkan oleh Bianca. 

“Tak hanya itu yang membuatku membenci Kakak. Ah, lupakan nama kakak. Kau … bukanlah kakakku!” ucap Bianca dengan tegas. “Kau ingin tau lebih lengkapnya kan? Biar aku katakan dan biar aku beritahukan sebuah kebenaran. Bahwa kau … bukanlah anak kandung Ayah, Ibu! Melainkan anak panti yang sengaja dibawa oleh mereka!”

Terkejut. Carissa terkejut atas ungkapan Bianca. 

“A--apa maksudmu?”

Bianca tertawa sinis. Ia mengeluarkan sebuah kertas di tas kecilnya, kemudian melemparkan kertas tersebut tepas di muka Carissa. “Baca surat ini! Biar kau paham bahwa tidak ada alasan lagi untukmu datang ke rumah kami!”

Mata Carissa memejam kala kertas tersebut menyentuh wajahnya dengan kasar. 

“Aku dan Arkan akan segera menikah, aku harap kau tidak mengacaukan segalanya,” ucap Bianca tanpa tau perasaan Carissa yang kini benar-benar amat hancur. Sebuah kebenaran baru apalagi ini? Bahwa ia bukanlah anak dari Fathur dan Ilma? 

Carissa hanya diam membeku. Hatinya sudah terlanjur sakit. Amat sakit. Tubuhnya tidak bisa merespon bobot tubuhnya lagi, dengan perasaan amat hancur Carissa membuka kertas tersebut. Membaca setiap deretan huruf dengan mata memburam akibat cairan yang lagi-lagi harus jatuh. 

Semakin bergetar tubuhnya setelah ia membaca isi dari surat tersebut. Yang mana … 

Ia hanyalah anak panti yang telah Fathur dan Ilma adopsi. Jadi selama ini … dirinya bukanlah anak dari mereka? Lantas … siapa dirinya sebenarnya? 

Untuk sekian kali … air mata itu berhasil jatuh membanjiri pipinya. Sekarang tak ada alasan lagi untuk dirinya pulang menuju tempat yang sebenar-benarnya pulang. Ia … sudah tak mempunyai rumah selain dirinya sendiri. 

Sakit, sesak. Hancur. Semuanya ... terkumpul menjadi satu. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status