Share

Anggap Aku Ratumu

Enam

 

"Bagaimana kau bisa tidur senyenyak itu setelah bertindak seenaknya?" Mahendra bergumam sambil menatap tubuh di atas ranjang yang terbungkus selimut dari ujung kaki ke ujung kepala. Sesekali pendengarannya terusik oleh bunyi dengkuran halus.

 

Sementara Mahendra, ia tidak mengerti kenapa harus begitu patuh dengan semua ancaman wanita itu, kenapa bisa-bisanya ia tahkluk begitu saja? Padahal segalanya telah terencana dengan matang.

 

Di tengah malam yang semakin merayap, mata pria itu masih belum jua terpejam, bukan karena tubuhnya yang tidak terbiasa dengan lantai tempat ia bergelung sekarang, tapi permintaan tak masuk akal dari Larasati terus berputar di kepalanya.

 

Dan bukan itu saja, nyatanya Larasati telah me rong-rong segala pertahanannya sebagai seorang lelaki,  gadis itu dengan mudahnya telah memanipulasinya, dari mengancam, menyita ponsel, dan gilanya lagi dia akan membatasi gerak Mahendra, akan ada GPS di mobil dan ponselnya akan disadap.

 

Oh! Mahendra benar-benar tidak bisa menerimanya, beraninya gadis ini! Bahkan  ia dengan lugas tanpa sungkan menyuruh suaminya tidur di lantai, dan Mahendra menurutinya tanpa kata.

 

Berkali Mahendra bangkit menatap geram pada sumber permasalahannya itu, ingin ia membuat perhitungan dan membalikkan keadaan agar gadis kesombongan serta kepercayaan diri gadis itu hilang lenyap seketika berganti dengan ketakutan dan permohonan, tapi kemudian ia ingat kalau sosok yang tengah berkelana di alam mimpi itu telah memegang kartu As-nya, nyawa Papanya dipertaruhkan di sini.

 

Namun ia juga tidak sampai hati untuk melukai kekasih hatinya dengan sengaja, membayangkan saja jantung Mahendra terasa akan meledak.

 

Mahendra benar-benar tidak habis pikir, bagaimana mungkin gadis yang menurut begitu polos dan seperti tidak tahu apa-apa itu, yang pagi tadi baru ditemui tepat saat akad nikah akan dimulai bisa menjadi begitu bar-bar.

 

Dan Mahendra hanya bisa merutuki diri sendiri karena menolak untuk bertemu terlebih dahulu sebelum menikah, padahal orang tua kedua belah pihak telah berkali-kali menyarankan, tapi Mahendra tidak sedikitpun ter ingin, jauh-jauh hari sejak rencana pernikahan itu dibicarakan hatinya sudah menolak mentah-mentah.

 

Namun karena penyakit jantung Papanya yang sempat kambuh karena Mahendra terus menolak sehingga harus bolak-balik masuk rumah sakit,  Mahendra akhirnya mau menerima pernikahan tersebut, itupun setelah mendengar penjelasan dokter.

 

"Selama 6 bulan ke depan jantung benar-benar rentan, jangan biarkan beliau tertekan apalagi stres, kalau selama tidak ada kejutan dalam jangka waktu itu, dipastikan jantungnya akan lebih membaik. Tapi sedikit saja ada yang mengganggu pikirannya itu akan sangat fatal, kemungkinan terburuknya beliau bisa saja 'lewat."

 

Mahendra berpikir gadis yang akan dinikahinya itu akan sangat mudah dia kendalikan, mengingat ia bukan berasal dari keluarga kaya ataupun perempuan modern, kabarnya hanya pemilik toko kecil di pinggir jalan.

 

Dan Mahendra begitu lega ketika melihat wajah gadis itu tadi pagi, sesuai yang ia perkirakan. Begitu sederhana walau kebaya mahal telah membalut tubuhnya, walau Mahendra tidak memungkiri ia memiliki bola mata unik, besar tapi bersorot sendu, yang tentu saja tidak berani melihat kearahnya, wajah yang selalu tertunduk, jemari yang selalu bertaut saling meremas pertanda betapa kegugupan besar tengah melanda.

 

Tetapi nyatanya, semuanya jauh di luar ekspektasi Mahendra, bahkan gadis yang tadi ia perkirakan tidak akan berkutik padanya itu adalah orang pertama yang telah menjadikannya seorang pecundang.

 

Lalu Mahendra hanya bisa menggeram dan kembali rebah, lalu sekejap kemudian bangkit lagi, kadang ia lupa kalau ia sekarang hanya di lantai yang hanya beralas karpet beludru, dan punggungnya harus merasakan kerasnya benturan karena terlalu kuat menghempaskan diri.

 

                🌼🌼🌼

 

   Pagi telah datang, cahaya mentari begitu terang membiaskan limpahan cahaya kepada alam semesta. 

 

Larasati menggeliat di bawah selimut yang menutupi tubuhnya dengan sempurna, matanya mengerjap beberapa kali, kantuk masih begitu kentara bertengger di sana.

 

Larasati merasa ia baru terlelap dalam sekejap ingin rasanya ia kembali melanjutkan tidur beberapa lama lagi, tapi kemudian ia  teringat akan sesuatu sehingga membuat matanya terbuka sempurna dan buru-buru bangkit.

 

Dan kemudian ia sadar sepenuhnya, kalau hidupnyaa tidak sama lagi, semuanya telah berubah drastis, banyak sekali yang harus dilakukannya untuk bisa terus melanjutkan hidupnya tersebut.

 

Apalagi matanya tertumbuk pada sosok yang tengah meringkuk di bawah sana, seseorang yang telah memberikan banyak PR untuknya.

 

Larasati tersenyum miris, lalu sekejap telah berganti dengan senyum sinis, menertawakan apa yang telah terjadi padanya, juga membayangkan perihnya hari-hari yang akan ia jalani bersama pria tanpa hati itu.

 

Mata Larasati segera berembun, tapi punggung tangannya sigap menyusup sehingga air mata yang sudah tergenang urung untuk keluar. Ia menatap jam berlapis emas yang tergantung di dinding berlapis wallpaper mahal bernuansa hitam. 

 

Larasati segera beranjak dari tempat tidur, memasuki kamar mandi yang kemewahannya tidak sedikitpun membuat Larasati berdecak kagum, gadis itu merasa semua keglamoran yang baru pertama kali ditemuinya itu biasa saja.

 

Ia hanya merasa heran, untuk apa orang kaya membuang-buang uang untuk hal seperti itu? Berlebihan sekali, begitu kata hati Larasati.

 

Larasati buru-buru menghadap Tuhannya setelah membersihkan diri, menggelar sajadah dan memakai mukena lalu mulai bermunajat dengan khusyu.

 

"Arrghh ... tulang-tulangku seakan remuk..." Erangan berat terdengar tepat setelah Larasati melakukan salam kanan kiri,  ia bermaksud untuk tidak menghiraukan dan ingin melanjutkan untuk berdoa.

 

Drttt ...

 

Namun tiba-tiba deringan ponsel terdengar dari balik selimut, dan Larasati sadar itu bukan nada dering miliknya, itu milik Mahendra yang ia sita tadi malam.

 

Larasati segera menyelesaikan doa sekedarnya, lalu secepatnya ia menghambur ke tempat tidur, tepat seperti dugaannya Mahendra telah berada terlebih dulu memegang benda itu.

 

Mereka saling bertatapan, sekilas Mahendra menangkap sorot gugup di mata Larasati, tapi itu hanya sesaat setelahnya gadis itu telah berhasil menguasai diri dengan sangat baik.

 

"Berikan." Larasati menengadahkan tangannya pada Mahendra, pria itu mengangkat alis, terkagum-kagum dengan kepercayaan yang begitu terpancar dari raut itu.

 

"Kau begitu yakin aku akan memberikannya padamu? Ini barang pribadiku, jaga batasanmu." Mahendra tidak bisa menahan kekesalan, apalagi seluruh tubuhnya terasa begitu sakit luar biasa.

 

"Bagaimana mungkin kau tidak akan mengikuti perintah Ratumu?"

 

Mahendra yang sudah membalikkan badan, ibu jarinya pun siap untuk menggeser tombol menerima panggilan, seketika kembali pada posisi semula. Menghadap Larasati dengan tatapan bingung.

 

"Apa? Ha ha ha ..." Mahendra  tergelak ketika ia telah berhasil menelaah apa maksud perkataan Larasati.

 

Larasati melipat tangan ke  dada, menunggu hingga tawa cemooh Mahendra mereda.

 

"Tentu, aku telah berjanji akan memperlakukanmu layaknya seorang Ratu, Laras. Tapi kau juga harus tahu aku adalah Rajanya di sini, dan yang paling berkuasa ... ada banyak anak buah serta ajudanku yang akan melayanimu seperti yang kau impikan itu ..."

 

"Bukan begitu perjanjian yang kumaksud yang mulia Raja Mahendra. Kenapa kau lamban sekali dalam menangkap maksudku? Sudah dua kali kau gagal menafsirkannya..." Sekarang giliran Larasati yang tertawa kecil di ujung kalimatnya.

 

"Lalu apa lagi yang kau mau?" Mahendra mulai gelisah,  perasaannya tidak enak.

 

"Perlakukan aku sebagai Ratumu, bukankah kalimat itu sudah sangat jelas? jika  kau tidak jua mengerti maka akan kuterangkan.

 

Kaulah ajudanku, kau yang akan melayaniku, kapan pun aku ingin kau harus selalu hadir dan siap di sisiku, segala perkataan adalah perintah dan kewajiban yang harus kau lakukan ..."

 

"Cukup Larasati! Kau keterlaluan, tidakkah kau mau berkaca ..."

 

"Kau tidak mau Mahendra? Tentu saja kau boleh menolaknya, aku tidak akan pernah memaksamu, tapi tentu saja kesepakatan kita juga batal.

 

Ya sudahlah, bersihkan dirimu, kita akan turun ke bawah, pastinya keluargamu sudah berkumpul semuanya di meja makan.

 

Saat yang tepat untuk mengatakan semuanya." Larasati berucap tanpa beban sembari melipat sajadah dan mukenanya.

 

Namun Mahendra matanya menyala menatap penuh geram tanpa berkedip seakan mau menelan Larasati bulat-bulat.

 

"Apa lagi yang kau tunggu, cepatlah." Larasati seolah tidak terpengaruh dengan kobaran di mata Mahendra, ia dengan santai duduk di meja rias lalu menyisir rambut panjangnya yang basah.

 

"Kau akan menyesal telah berlaku seperti ini Larasati, anggaplah aku tunduk padamu sekarang, tapi ingatlah bukan karena aku menuruti semua keinginanmu itu dengan sukarela, ini hanya sebagai baktiku sebagai seorang anak.

 

Aku yakin cepat atau lambat  waktu akan berpihak padaku, dan saat itu kau yang akan tunduk di kakiku."

 

"Oh, baguslah berarti kau setuju untuk jadi ajudanku? 

 

Wah, luar biasa Mahendra, tapi tentu saja kau sudah sangat mengerti dengan arti kata ajudan bukan? 

 

Hhh ... baiklah, sini ponselmu itu, aku ingin lihat siapa yang tiada kenal lelah menelfonmu dari tadi." Larasati mengansurkan tangannya tanpa mengalihkan wajah dari kaca.

 

Mahendra tanpa bisa berbuat apa-apa pun menaruh benda itu di telapak tangan yang sebenarnya ingin sekali ia patahkan itu.

 

"Aha, ini dia. 'Zaraku', angkatlah, dan buatlah janji dengannya nanti siang, kau akan membawaku bertemu  bertemu dengannya." Larasati kembali mengansurkan ponsel itu pada Mahendra.

 

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
zaraku ......wkwkwkwkwkwk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status