Share

Intimidasi Terus Berlanjut

Tujuh

 

"Kau wanita gila!" umpat Mahendra diantara nafas yang menyesak, dadanya turun naik menahan kesal.

 

Larasati hanya tersenyum kecut, menoleh sekilas pada raut yang  marah padam itu.

 

Bukannya merasa simpati atau ciut nyali melihat bara api yang berpendar di mata tajam itu, Larasati malah memberi isyarat lewat  gerakan dagunya agar Mahendra segera menjawab ponsel yang masih saja terus berdering.

 

Mahendra benar-benar tidak punya pilihan, selain menuruti perintah dari wanita yang telah mengklaim diri sebagai Ratu itu, dan seenak jidatnya menjadikan Mahendra ajudan.

 

Sungguh di luar nalar kelakuan wanita itu, tapi Mahendra bisa apa selain menurutinnya.

 

Lalu Mahendra pun menggeser tombol hijau di layar, segera pendengaran mendengar isak parau dari sana, Mahendra memperkirakan kalau Zaranya telah melewati malam dengan tangisan tiada henti.

 

"Sttt ... lodspeakernya jangan lupa."

 

Mahendra pun patuh dan segera menekan tombol yang di maksud sang Ratu.

 

"Mahendra ... apakah kau menikmati malammu  setelah menyakitiku?"

 

Larasati yang hampir selesai mengurus rambut panjangnya, tertawa kecil mendengar kesedihan dari seberang.

 

"Aku terluka Ndra ... aku sakit, tidakkah sedikitpun kau merasa khawatir?

 

Kau langsung mengakhiri hubungan kita sesaat setelah  menikah, padahal sebelumnya kau telah berjanji kalau pernikahan itu tidak ada artinya buatmu,  hanya pura-pura ..."

 

"Zara ..." Mahendra ingin menahan Zara mengulang semua yang telah ia janjikan, jangan sampai Larasati mendengar semuanya, bisa-bisa wanita itu semakin melebarkan cakarannya.

 

"Biarkan ia melanjutkan ucapannya." Mahendra tersentak, tiba-tiba saja Larasati sudah berbisik di telinganya serta ponsel sudah berpindah tangan.

 

"Katamu wanita itu tidak akan pernah kau anggap ada, ia tidak akan pernah berarti, ia hanya akan jadi perantara untuk kesembuhan Papamu, setelah Papamu membaik kau akan segera mengembalikan wanita polos dan dungu itu ke tempat asalnya ...

 

Kau katakan itu berkali-kali Mahendra, tapi di malam pernikahanmu semuanya langsung berubah, kau lupa akan janjimu itu..." Larasati hanya tersenyum mendengar kalimat demi kalimat yang terurai dari sama, ia juga tidak merasa sakit hati apalagi sedih, yang ada sekarang matanya semakin berbinar manatap Mahendra yang terlihat serba salah.

 

" Bicaralah seperlunya dengan nada sedatar mungkin." Larasati menyodorkan ponsel itu ke wajah Mahendra.

 

Mahendra menggeleng, tubuhnya pun tanpa disadari terhenyak ke atas ranjang, kedua tangannya memegang kepalanya, Mahendra merasa dirinya akan segera gila.

 

Bahkan wanita itu juga membatasi apa yang akan dikatakan dan nada bicaranya, dan lagi-lagi Mahendra tidak punya nyali untuk menolak.

 

Sementara isak tangis serta kata-kata meyayat hati masih saja bergulir dari dalam ponsel membuatnya semakin pustasi.

 

Ditambah tatapan penuh intimidasi diselingi dengan binar kepercayaan diri yang begitu besar terus mengawasi, bagaikan sebuah bom yang siap meledak jika sekejap lagi Mahendra mengulur waktu.

 

"Zara, kita akan bicara nanti. Kita bertemu sekitar jam 2 di tempat biasa."

 

Larasati puas, Mahendra benar-benar mengucapkannya dengan nada yang begitu datar, sehingga semakin memecahkan tangis di seberang sana.

 

"Benar Mahendra, kita harus bertemu. Aku butuh dirimu secepatnya, jam 2 terlalu lama..."

 

"Kau mau bertemu atau tidak? Jam 2 di tempat biasa."

 

Lalu dengan penuh emosional Mahendra merebut ponsel itu dari tangan Larasati, memencet tombol merah lalu membantingnya keras ke atas ranjang.

 

"Wanita seperti apa kau sebenarnya? Apa kau punya hati?" Mahendra geram, jemarinya pun telah spontan mencengkram rahang Larasati dengan keras, membawa wajah gadis itu mendongak paksa kepadanya.

 

Larasati terkejut, tapi kemudian ia tertawa keras sebentar lalu menantang mata mata merah berkaca-kaca Mahendra, sakit di sekitar dagu pun tidak dihiraukannya.

 

"Aku punya. Tapi tidak akan kumubazirkan untuk mengasihani kau dan kekasihmu itu." Larasati tetap berusaha menjaga nada suaranya agar tidak terdengar gemetar, ia tidak ingin Mahendra menangkap kegentaran dalam dirinya.

 

"Cih, Sombong sekali dirimu ini, menurutmu apa yang akan didapat dari segala paksaan serta ancaman murahan ini, selamanya hatiku tidak akan pernah memandang dirimu." Mahendra semakin kuat menekan kali ini jemari besarnya telah teralih ke sekitar rahang Larasati.

 

Larasati memejamkan mata sejenak, menepis cengkraman kuat itu juga percuma walau terasa akan merontokkan gerahamnya.

 

"Melihatmu tidak berdaya adalah kepuasan batin yang sempurna untukku, Mahendra.

 

Aku akan meruntuhkan segala keangkuhanmu, bahkan aku akan membuatmu bersimpuh dan tahkluk di kakiku..."

 

Mahendra terbelalak mendengar ucapan Larasati, tanpa sadar ia telah melepaskan cengkramannya.

 

"Kau ..." Sangat jelas kemarahan yang telah menguasai Mahendra, sehingga telunjuknya yang diarahkan pada Larasati terlihat bergetar.

 

"Tapi aku tidak akan memintamu melakukan sekarang, akan ada saat yang tepat kau sendiri dengan sukarela akan melakukannya.

 

Sekarang  kendalikan dirimu itu,  kau tidak diizinkan mengangkat telunjuk maupun mengeraskan suara padaku. Tapi karena kau masih dalam masa percobaan, maka kali ini akan aku maklumi.

 

Cepatlah bersiap, banyak yang akan kulakukan hari ini, belanja, ke salon, dan mengurus hal-hal yang kukatakan semalam." Larasati mendorong dada Mahendra, kemudian ia pun berlalu kembali duduk di meja rias.

 

Bibir Mahendra terkatup rapat, matanya masih menyala mengikuti gerak gerik Larasati, tangannya terkepal erat, gemetar tubuhnya masih tersisa.

 

Lalu ia pun beranjak memasuki kamar mandi, menutup pintu dengan kasar dan segera bersandar di sana. Tubuhnya begitu terasa lemas, kepalanya pusing, mungkin karena ini kali pertama ia tidak bisa meluapkan kemarahannya.

 

Mahendra beranjak  menyalakan shower ke level paling atas, membawa tubuhnya masuk ke dalam derasnya air, tapi kesejukan itu belum mampu mendinginkan bara dalam dirinya.

 

Lantas ia pun meninju dinding berkali-kali dengan sekuat tenaga. Sembari berteriak-teriak.

 

"Gila! Aku benar-benar akan menjadi gila! Aarghh!"

 

 

 

 

 

 

 

 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
biar km gila sekalian Mahendra thoer kq g up up
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status