14"Kau berasal dari keluarga mana?" Tanpa basa-basi Zara langsung melontarkan pertanyaan pada Larasati, ia terlihat begitu menganggap remeh istri kekasihnya itu.Larasati tidak terkejut, ia sudah menyiapkan diri, karena ia sudah bisa membaca kalau orang seperti Zara tidak akan bisa menghargai siapapun yang terlihat kurang darinya."Apa profesimu, ah seharusnya aku tidak bertanya itu, sudah jelas terlihat dari penampilanmu. Ngomong-ngomong gaun itu sangat tidak cocok untukmu, maksudku tubuhmu itu tidak layak memakainya." Zara kembali menuturkan kalimat pedas, tapi Larasati tidak mau terpancing."Ehm ... sebaiknya kita pesan makan dulu." Mahendra merasa suasana akan segera memanas, dan ia mencoba untuk menyegarkannya."Tidak perlu. Aku tidak akan berselera jika se meja dengan dia." ujar Zara culas, jemarinya yang lentik dengan cat kuku merah menyala memijat-mijat keningnya. Sudut matanya melirik jengah pada Larasati.Larasati diam, sebenarnya bukan karena ia tidak bisa membalas kata-k
15"Kau senang?"Larasati sedari tadi larut dalam kesejukan angin yang berhembus dari kaca mobil yang terbuka_ ya, dari pada gadis itu kembali muntah-muntah Mahendra harus terpaksa membuka kaca_ sedikit terganggu oleh pertanyaan Mahendra.Larasati menoleh, menemukan raut yang tidak bisa dipungkiri memang sangat tampan terlepas dari semua sifat tidak terpujinya. Tetapi, Larasati tidak lagi merasa tertarik seperti kemarin saat pertama ia bertemu pria ini.Hanya saja Larasati sedikit tersentuh dengan apa yang dilakukan Mahendra tadi, setidaknya pria ini telah menyelamatkan harga dirinya di depan wanita lain, walau kemudian Larasati menyadari Mahendra melakukan itu karena tekanan darinya.Namun setidaknya pria egois ini memiliki rasa bakti yang luar biasa pada Papanya, dan itu sedikit membuat Mahendra memiliki nilai positif di mata Larasati."Kau puaskan?" Lagi, pertanyaan dengan makna yang sama meningkahi musik jazz yang mengalun lembut."Ya." "Lalu kenapa wajahmu seperti itu?""Meman
16"Astaga, Mahendra! Apa-apaan?" Larasati histeris tengannya spontan mendorong bahu Mahendra.Gadis itu cepat memperbaiki posisi duduknya, mendekap silang bahunya dengan kedua tangannya.Mahendra segera tersadar dari tindakannya yang hampir saja ...Sedikit lagi, kira-kira tidak sampai satu senti ia akan mencecap bibir ranum itu."Kau sudah kehilangan akal ya?" Larasati masih panik, tidak mengerti dengan apa yang akan diperbuat oleh Mahendra, tapi nalurinya sebagai wanita telah dengan fasih mengartikan tindakan pria itu.Ih, menakutkan serta menjijikkan, teriak batin Larasati.Sementara Mahendra cengengesan, menyumpahi kebodohannya dalam hati habis-habisan, tapi tentu ia punya cara untuk berkelit dari tatapan penuh tanya Larasati."Ada lalat tadi di sekitar wajahmu, aku hanya ingin membantu mengusirnya." ujarnya cuek, sembari memperbaiki posisinya dari bersimpuh menjadi duduk bersila."Kau aneh sekali, Mahendra. Sekaligus menakutkan. Aku bahkan merinding." Larasati masih memeluk tub
17"Kamu nggak sekalian jemput istrimu, Ndra?"Mahendra mengkerut ketika Mamanya menyongsong kedatangannya ke lantai pintu utama."Memangnya dia kemana Ma?" Mahendra bertanya pelan, demi melihat Papanya yang tengah duduk bersantai di ruang tamu."Lho?" Sekarang gantian sang Mama yang mengkerut.Mahendra terdiam, tatapan heran Mamanya seakan menggulitinya, ia menghela napas berat. Lalu ia merogoh saku blazernya dan mengeluarkan ponsel dari sana."Oh astaga ... banyak sekali panggilan tak terjawab dari Laras, ini karena aku lupa mengaktifkan kembali nada panggil setelah disilent saat meeting tadi."Mahendra menampakkan raut penyesalan yang begitu kentara, sehingga Mamanya cuma bisa geleng-geleng kepala."Nak, kamu itu bukan seorang bujangan lagi, ada seseorang yang harus membutuhkan perhatian khusus darimu. Jangan terlalu gila kerja sehingga melupakan istrimu. Sana jemput Laras." Rieta tersenyum penuh perhatian, mengusap bahu lebar anaknya lembut."Baik Ma." Mahendra manut, sementara su
Satu"Jangan sok ke-PD an dulu kamu, tidak perlu tidur di lantai begitu. Aku juga tidak tertarik untuk menyentuhmu."Larasati menghentikan kegiatannya yang sedang membentangkan selimut di lantai, ketika mendengar ucapan lelaki yang siang tadi telah men-sahkannya menjadi seorang istri.Wanita berwajah sendu itu tertegun sejenak. Lalu sontak wajahnya memerah."A-apa?"Mahendra terkekeh mencemooh, melihat reaksi Larasati."Kamu pikir apa? Aku berpuluh-puluh kali tidak sudi menikahimu. Aku hanya mengalah demi kelangsungan hidup papaku," dengus Mahendra angkuh.Larasati mengerjap."Sekarang hentikan drama yang ingin kau pentaskan ini. Tidak perlu tidur terpisah, aku tidak mau jika ada orang rumah yang tahu kalau kita tidak tidur seranjang maka aku akan dapat masalah. Satu yang pasti, aku tidak akan pernah menyentuhmu."Kelu lidah Larasati mendengar ucapan tegas dari lelaki rupawan dengan tubuh proposional di depannya ini.Ah, seharusnya Larasati senang bukan? Toh bukan ia saja yang merasa
DuaMahendra menyentak kasar ponsel dari genggaman Larasati."Zara, hallo ... aku bisa jelaskan, semuanya tidak seperti yang kamu dengar ... hallo ..." "Aku tidak percaya ini Mahendra ... aku b3nci kamu!"Mahendra sungguh geram pada Larasati ketika mendengar suara diiringi isakan pilu dari seberang sana tersebut, tidak menunggu berapa lama, tepat saat Mahendra telah menemukan kata-kata untuk membujuk, sambungan telpon telah diputuskan sepihak."Larasati! Kamu benar-benar ya! Apa maksudmu bicara begitu pada kekasihku?" Mahendra menghardik Larasati tanpa ragu. Matanya menyorot nyalang.Ih, Larasati bergeridik melihatnya. Tetapi gadis manis ini seperti sudah paham akan situasi."Lha, emang gitu kenyataannya, kita sudah menikah, bukan?" Larasati tersenyum simpul, berhasil menyembunyikan kegugupannya."Apa? Jangan bertingkah seperti orang bod*h begitu Laras. Kita sama-sama tahu kalau tidak ada seorang di antara kita yang menginginkan pernikahan ini?" Sepertinya Mahendra akan mati kesal.
Tiga"Larasati ...!"Sia-sia seruan Mahendra, toh Larasati tidak menghiraukan. Wanita itu terus berjalan dengan hati yang mantap menuju kamar mertuanya yang berada di lantai bawah.Mau tidak mau Mahendra harus mengejar Larasati, Istrinya itu sekarang sudah terlihat berada di lantai bawah, cepat sekali dia, apa ia terbang? Umpat Hati kecil Mahendra.Maka dengan secepat kilat juga, Mahendra tergesa menuruni anak-anak tangga, ia hampir saja terjerembab karena melangkahi beberapa anak tangga sekaligus, untung saja ia sigap berpegangan pada pagar besi."Si*lan!" Jantung Mahendra berdebar keras, ia harus cepat, sebelum Larasati mencapai pintu kamar orang tuanya."Hei Larasati, tunggu!" Dikeremangan ruangan yang hanya berpenerangan lampu-lampu neon lima Watt yang di pasang di sudut tangga Mahendra dapat melihat bayangan Larasati yang sempat menoleh pada nya."Baiklah, Larasati ... kemarilah, aku akan ikuti kemauanmu."Larasati yang sudah mengangkat tangan untuk mengetuk pintu mertua, meng
Empat"Beraninya kau!" Mahendra sungguh tidak akan pernah menduga kalau akan ada seseorang yang dengan sangat berani men*yor kepalanya tanpa rasa sungkan sedikitpun, dan tentu saja hal itu membuat pria yang seumur hidupnya hanya selalu mendapatkan rasa hormat dan kekaguman dari semua orang tersebut begitu terkejut, sehingga membuat tubuhnya limbung hampir terjerembab, untung saja tangannya masih sempat berpegangan pada kursi yang ada di sana.Dan Larasati hampir saja menyemburkan tawanya melihat hal itu."Ya, aku akan lebih sangat berani lagi Mahendra, kalau kau tidak menurut apa yang aku katakan." Aha, sepertinya Larasati belum usai dengan segala hal yang telah membuat Mahendra mati kesal itu."Jangan lagi, Laras! Sudah kubilang kau tidak akan bisa lagi!" Mahendra telah sepenuhnya menguasai diri, sekarang telunjuknya telah disejajarkan dengan wajah Larasati, sebagai sebuah isyarat agar wanita itu segera berhenti."Aku bisa Mahendra. Aku bisa, kau pikir tidak?" Dengan enteng Larasati