Share

Hanya Sampah

Tiga

"Larasati ...!"

Sia-sia  seruan Mahendra, toh Larasati  tidak menghiraukan. Wanita itu terus berjalan dengan hati yang mantap menuju kamar mertuanya yang berada di lantai bawah.

Mau tidak mau Mahendra harus mengejar Larasati, Istrinya itu sekarang sudah terlihat berada di lantai bawah, cepat sekali dia, apa ia terbang? Umpat Hati kecil Mahendra.

Maka dengan secepat kilat juga, Mahendra tergesa menuruni anak-anak tangga, ia hampir saja terjerembab karena melangkahi beberapa anak tangga sekaligus, untung saja ia sigap berpegangan pada pagar besi.

"Si*lan!" Jantung Mahendra berdebar keras, ia harus cepat, sebelum Larasati  mencapai pintu kamar orang tuanya.

"Hei Larasati, tunggu!" Dikeremangan ruangan yang hanya berpenerangan lampu-lampu neon lima Watt yang di pasang di sudut tangga Mahendra dapat melihat bayangan Larasati yang sempat menoleh pada nya.

"Baiklah, Larasati ... kemarilah, aku akan ikuti kemauanmu."

Larasati yang sudah mengangkat tangan untuk mengetuk pintu mertua, mengentikan pergerakannya.

Ia menoleh, Mahendra berada tidak jauh darinya, menyandarkan bahu pada pintu kamar yang kelihatan tidak berpenghuni, dengan keringat bercucuran di dahi serta nafas yang ngos-ngosan.

Senyum ragu menghiasi bibir Larasati, ia tidak percaya sebenarnya, tapi kilat di mata Mahendra sepertinya tidak main-main.

Larasati mengurungkan niatnya untuk sementara, lalu ia bergerak menuju Mahendra.

"Kalau begitu, lakukan sekarang." ucap Larasati pelan. Kedua tangannya di silang ke dada.

"Ayo ke kamar, aku tidak bawa ponsel." Mahendra menangkap pergelangan tangan Larasati.

"Ini, kamu pasti ingat nomornya bukan?"

Larasati menepis pegangan Mahendra, lantas menyodorkan ponsel yang  sedari tadi si pegangnya.

Mahendra menatap ponsel itu dengan gemas. Wanita ini benar-benar membuat aku gila! gumamnya.

"Ayo, atau kamu ingin aku melanjutkan untuk mengetuk pintu Papa?" Larasati sengaja tidak menambahkan kata 'mu' saat mengucapkan Papa.

"Ini!" Larasati sungguh tidak sabaran, ujung ponselnya sudah menyentuh dada Mahendra.

Mahendra sungguh ingin melemparkan saja ponsel yang menurutnya sangat murahan itu, tapi mengingat ancaman Larasati, ia hanya bisa menarik napas sedalam-dalamnya.

Ponsel sekarang sudah berada dalam genggaman Mahendra.

Ibu jari Mahendra mengusap  layar, sebelah tangannya menyugar rambutnya bolak-balik. Sementara Larasati menatap dengan tidak sabaran.

"Cepatlah, mas ..." tuntut Larasati.

Kemudian Larasati sedikit merasa lega ketika melihat Mahendra telah mengetik beberapa angka.

Mahendra dengan perasaan tidak menentu memang telah memasukkan nomor kekasihnya.

Ya ini adalah satu satunya pilihan yang tepat. Mahendra akan memutuskan Zara malam ini demi memenangkan hati Larasati, setelah Mahendra akan mengirimkan pesan pada wanita yang dicintainya itu kalau ia terpaksa melakukannya dan bukan keinginanmya sendiri. Ia melakukan karena ancaman Larasati. Dan Mahendra sangat yakin Zara akan mengerti.

Mata Larasati mengawasi Mehendra dengan ketat, ponselnya sekarang sudah menempel di telinga. Rahang yang ditumbuhi bulu-bulu halus terlihat mengeras pertanda geraham yang saling beradu dengan kuat, sorot mata tajam tapi sayangnya sekarang mau tidak mau harus tunduk pada tatapan lembut Larasati.

Larasati tersenyum geli dalam hati. Mari kita lihat Bung ar*gan, bagaimana cara kau berkelit  menghadapiku?

Terdengar nada sambung dari seberang sana, Mahendra gugup. Sesungguhnya ia tidak bisa melakukannya, bagaimana mungkin ia sanggup menyakiti hati wanita yang selama ini sangat ia cintai.

Tetapi, gara-gara wanita yang berdiri di depannya ini, ia harus melakukan hal tersebut ...

Lihatlah, wanita ini sekarang terus menatapku dengan tatapan egois, tanpa rasa bersalah atau sungkan. Seharusnya wanita ini ada sedikit rasa segan bukan? Bukankah kami baru saja bertemu tadi siang, yah walaupun sudah sah menjadi istriku ... tapi tetap saja seharusnya ia mempunyai adab dan rasa malu ... hati Mahendra tidak berhenti berkata-kata.

"Halo ..."

Mahendra tersentak, jawaban parau dari seberang sana mencelos hatinya.

"Zara, ini aku ..." bergetar suara Mahendra.

"Nyalakan spikernya." Larasati memberi kode pada Mahendra dari gerakan mulut. Tetapi Mahendra tidak memperdulikannya.

Dengan gemas, Larasati merampas ponsel tersebut, menekan tombol spiker lalu menaruhnya kembali di telapak tangan Mahendra.

"Ada apa lagi Mahendra? ... tidak cukupkah kau membuatku h*‹ncur? Apa lagi yang kau mau?" isak tangis kembali pecah di telinga Mahendra. Larasati melengos mendengarnya.

Mahendra mengehela napas putus asa berkali-kali. Ia tidak sanggup melakukan apa yang diinginkan Larasati.

"Sayang aku sangat men ..."

Ogh ... Larasati kesal. Sepertinya Mahendra memang ingin menguji dirinya. Dengan cepat ia menghamburkan langkah menuju pintu kamar mertuanya.

Mahendra terkesiap. Larasati dengan ringan mengetukkan dua jarinya ke pintu.

Tok ...

"Zara ... kita putus, mulai sekarang hubungan kita berakhir."

Larasati tersenyum simpul ... dalam hati  bersorak senang. Ini bukan tentang ia merasa hebat bisa mengintimidasi Mahendra dalam sekejap, tetapi ia bangga pada keberaniannya yang membuat Mahendra tidak macam-macam atas pernikahan mereka.

Bagaimanapun Larasati berpikir pernikahan bukanlah sesuatu hal yang bisa dianggap sandiwara atau permainan. Walaupun ia tahu kalau tidak ada sedikitpun rasa suka Mahendra untuknya.

Namun setidaknya untuk malam ini ia berhasil menunjukkan pada seseorang di seberang sana yang katanya adalah kekasih suaminya, di mana tempat Larasati sebenarnya. Ia berhasil mempertahankan harga diri seorang istri yang semestinya.

"Mahendra ... aku tidak mengerti dengan apa yang kau katakan. Sudah cukup kau menyakitiku hari ini, jangan kau tambahkan lagi luka..."

"Makanya daripada aku terus melukaimu lebih baik kita berpisah..."

"Tidak Mahendra ... ini tidak mungkin, jangan begini. Apa kau sudah lupa dengan segala janji yang kau ucapkan. Jangan lupakan dengan apa yang telah kita rencanakan dan lakukan ... kita sudah bersama dalam waktu yang panjang Mahendra. Aku tidak akan sanggup hidup tanpamu."

Mahendra memejamkan mata mendengar kata-kata dari seberang sana. Sementara Larasati menyaksikan dengan sangat teliti seakan-akan itu adalah drama yang sangat seru.

"Baiklah ... aku akan berusaha menerima kalau kau telah menikah. Aku tahu ini cuma karena permintaan Papamu bukan? Maafkan aku karena terlalu kekanak-kanakan. Aku janji akan dengan sabar menunggumu, aku akan selalu bersamamu Mahendra ... "

Larasati geram mendengar ucapan demi ucapan tersebut. Ia perhatikan mimik wajah Mahendra yang begitu prustasi.

Mahendra menatap Larasati, memohon melalui sorot mata agar Larasati mau mengubah keputusannya.

Seolah mengerti dengan permohonan tatapan Mahendra, Larasati menggeleng dengan cepat, walau sebenarnya ia cukup tersentuh. Oh jadi seperti ini rupanya kalau seorang pria benar-benar mencintai kekasihnya ... tapi jauh di lubuk hatinya entah kenapa seperti ada ribaun jarum yang menusuk.

Membuat jiwa Larasati sesak, dan ingin mencari pelampiasan.

"Kau mau akau mengetuk lebih keras pintu ini? Cepat selesaikan sekarang juga, atau aku akan bikin keributan di sini, bukan orang tuamu saja yang akan tahu, tapi semua orang yang tinggal di sini ...!"

Untuk sekarang Mahendra takhluk pada keegoisan Larasati, tapi ia berjanji dalam hati ini adalah yang pertama dan terakhir wanita ini berlaku semena-mena atas dirinya.

Tidak ada siapapun selama ini yang berani mengintimidasi seorang Mahendra  Malik, jangan mengintimidasi, selama ini siapapun yang berhadapan dengannya, hanya akan menundukkan kepala. Namun gadis ini, ia sudah melewati batas, dan Mahendra tidak akan memaafkannya.

Geraham Mahendra bergemertuk menahan kemarahan yang menggumpal di dada.

"Kita putus, Zara. Aku tidak mencintaimu lagi, mari kita jalani hidup masing-masing."

Setelah kata-kata itu, meluncur dari bibir tipisnya, Mahendra langsung mematikan ponsel itu, tidak sanggup hatinya mendengar isakan pilu dari hati yang telah sengaja ia lukai.

"Kau puas sekarang?" Mahendra mengansurkan ponsel itu pada pemiliknya.

"Ya ... untuk sekarang ..." Entah kenapa Larasati merasa suaranya tercekat di tenggorokan.

"Tidak lagi ... jangan harap kamu akan mendapatkan apapun lagi dariku, baiklah, terserah kamu mau hidup bagaimana sekarang. Karena bagiku, di sisiku kau ibarat debu... kotor dan tidak berguna ...

Larasati menggigit bibir mendengar ucapan Mahendra yang menatapnya penuh kebencian.

"Lihat dirimu ... begitu jelek dan kampungan, bagaimana mungkin orang-orang tua itu menyandingkan dirimu denganmu? Apa mereka tidak berpikir bagaimana aku akan mengahadapi cemoohan para kolega, karyawan dan teman-temanku?

Kau adalah sampah dalam kehidupanku, maka jangan pernah berpikir untuk mendapatkan diriku.

Ingat di ot*kmu ini, kau adalah samp*h di sisiku."

Mahendra menekan kening Larasati dengan telunjuknya.

"Kalau aku sampah, maka kau adalah tempat sampah!"

Larasati balik menuding kepala Mahendra, tapi ia melakukannya dengan keras sehingga lelaki itu terhunyung ke belakang.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isabella
wanita keren . mana up nya thoer
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status