Dua
Mahendra menyentak kasar ponsel dari genggaman Larasati.
"Zara, hallo ... aku bisa jelaskan, semuanya tidak seperti yang kamu dengar ... hallo ..."
"Aku tidak percaya ini Mahendra ... aku b3nci kamu!"
Mahendra sungguh geram pada Larasati ketika mendengar suara diiringi isakan pilu dari seberang sana tersebut, tidak menunggu berapa lama, tepat saat Mahendra telah menemukan kata-kata untuk membujuk, sambungan telpon telah diputuskan sepihak.
"Larasati! Kamu benar-benar ya! Apa maksudmu bicara begitu pada kekasihku?" Mahendra menghardik Larasati tanpa ragu. Matanya menyorot nyalang.
Ih, Larasati bergeridik melihatnya. Tetapi gadis manis ini seperti sudah paham akan situasi.
"Lha, emang gitu kenyataannya, kita sudah menikah, bukan?" Larasati tersenyum simpul, berhasil menyembunyikan kegugupannya.
"Apa? Jangan bertingkah seperti orang bod*h begitu Laras. Kita sama-sama tahu kalau tidak ada seorang di antara kita yang menginginkan pernikahan ini?" Sepertinya Mahendra akan mati kesal.
"Iya... Tetapi tetap saja kenyataannya kita sudah menikah. Dan aku, sebagai wanita yang telah sah menjadi istrimu tentu harus bersikap selayaknya bukan?
Hhh ... lagipula belum apa-apa, masa kamu sudah mau mengundang pelakor?" Larasati lagi-lagi mengulum senyum melihat ekspresi raut tampan di depannya yang kelihatan begitu bingung dan kesal.
"Oh, jadi begitu? Jadi sebenarnya kau sudah menerima pernikahan ini ya? Ya Tuhan ... Kenapa aku bisa melupakan kalau aku ini sangat tampan dan mempesona. Tidak ada wanita yang tidak akan tergila-gila padaku ...
Aku berpikir kamu akan berbeda Larasati, tapi ternyata sama saja ..."
Jangan tanya bagaimana panasnya hati Larasati mendengar kata-kata Mahendra.
"Ya memang begitu Mas ... sebelumnya aku tidak tahu seseorang yang akan menikah denganku setampan dan sekeren ini. Tadinya aku berpikir pernikahan adalah nasib sialku, tidak menyangka aku seperti ketiban durian runtuh.
Wanita yang biasa-biasa saja sepertiku, tidak berpendidikan tinggi, hanya menyandarkan hidup pada toko kue sederhana di pinggir jalan, bukankah akan sangat rugi jika menganggap pernikahan ini hanyalah sandiwara?"
Makin memerah wajah Mahendra mendengar penuturan panjang yang terujar begitu ringan tanpa beban dari mulut Larasati.
Dadanya Mahendra seakan terbakar melihat senyum yang tidak luput menghiasi bibir Larasati.
"Lantas kenapa kamu sok menggelar tikar di lantai?!" Mahendra masih berharap kalau Larasati hanya bercanda.
"Oh itu, aku pikir tadi kamu akan membujukku, Mas. Bagaimanapun kitakan baru saja bertemu, sebagai wanita aku tentu merasa gugup ... tapi sekarang kamu sudah mengetahui ..."
Sungguh Mahendra sekarang tidak kesal lagi, tapi emosinya sudah mengumpal di kepala dan bersiap untuk meledak. Terlebih melihat ekspresi Larasati saat ini, mengerling kepadanya sambil memilih-milih ujung rambut.
"Jangan berpikir terlalu jauh hei, wanita! Aku tidak akan pernah tertarik padamu apalagi menyentuhmu! Buang saja rasa ingin memilikiku itu jauh-jauh ..."
"Aku tidak akan memaksa kok Mas. Aku berkata seperti itu karena aku memang ada hak untuk itu. Tapi, kalau kamu sudah siap bilang saja, aku dengan senang hati melayanimu..." Kali ini Larasati mengedipkan sebelah mata, membuat Mahendra sedikit bergeridik.
Sungguh Mahendra tidak menyangka gadis yang terlihat polos dan pemalu itu ternyata punya naluri nakal seperti ini.
"Tidak akan Laras!"
Mahendra sudah kehilangan kata-kata. Ia merasa telah begitu banyak berucap sedari tadi, padahal selama ini ia adalah seseorang yang begitu irit berbicara.
Ia sekarang menutup mulutnya rapat-rapat. Mahendra berpikir tidak ada gunanya lagi berbicara, wanita di depannya ini ternyata tidak seperti yang diperkirakan.
Hatinya bergetar hebat, Mahendra cemas rencana yang telah tersusun rapi akan dikacaukan oleh Larasati. Mahendra takut Zara kekasihnya yang cantik dan rapuh hati itu akan terluka.
"Baiklah. Kita lihat saja nanti Mas. Aku tidak masalah jika kamu tidak menyukaiku atau tidak mau menyentuhku. Aku hanya minta padamu untuk tidak menghianati pernikahan kita."
"Pernikahan apanya? Aku tidak menganggap ini pernikahan, ini hukuman atas kesalahan yang tidak kulakukan!"
"Terserah, yang pasti kamu tadi telah mengikatku dalam sebuah ikatan di depan Tuhan. Dan itu bukan sesuatu yang bisa di anggap main-main."
"Aku terpaksa!"
"Tetap saja ...."
"Hei, kamu bisa menurut saja atau tidak? Aku tidak akan banyak bicara lagi. Kau hanya akan jadi istriku di atas kertas saja, hanya itu. Kita hanya terikat oleh tanda tangan, ingat itu. Tunggulah, dalam beberapa bulan ke depan kita akan berpisah ...."
"Kalau begitu sekarang saja!" Oh, ternyata telinga Larasati tidak bisa bertahan lagi mendengar ucapan penuh intimidasi Mahendra.
"Apa?"
"Untuk apa menunggu beberapa bulan lagi, kita berpisah sekarang juga. Toh akan sama saja. Ayo, sekarang juga kita ketuk pintu kamar orang tuamu, mereka pasti juga belum tidur sekarang.
Katakan pada mereka kalau pernikahan ini hanya sandiwara bagimu. Kalau kau tidak bisa aku saja yang bilang, kau cukup diam dan mengiyakan.
Ayo ..." Larasati telah berdiri. Mata bulatnya menggabur oleh airmata yang seakan telah menyerah untuk diajak kerja sama. Tetapi Larasati harus bertahan.
"Tidak sekarang." Mahendra gugup melihat kesungguhan Larasati.
"Tapi aku inginnya sekarang juga, karena aku tidak akan pernah mau kau jadikan permainan dalam pernikahan yang sakral ini. Hidupku terlalu berharga dibandingkan rencanamu itu. Aku tidak mau jadi perantara kelangsungan hubunganmu dengan wanita lain."
"Larasati, kamu tidak bisa seenaknya memutuskan apa yang akan kulakukan, kita akan berpisah tapi tidak sekarang. Bagaimana penilaian masyarakat kalau kita berpisah sekarang? Ini bukan tentang nama baik keluargaku saja, ini juga tentang nama baikmu sebagai wanita ...."
"Oh terimakasih. Tapi kamu tidak perlu memikirkan nama baikku Mas. Aku bisa mengurus diri sendiri, lagipula aku tidak terlalu memikirkan apa perkataan orang-orang.
Kita akan berpisah sekarang juga. Ayo, aku akan bantu menyampaikan pada Papamu kalau kau ternyata telah mempunyai kekasih, semoga saja penyakit ayahmu semakin membaik karena akan mendapatkan menantu yang berbeda dalam dua puluh empat jam."
Larasati berjalan mendekati Mahendra, lalu meraih tangan lelaki itu ...
Mahendra menyentak tangannya kasar, sehingga membuat Larasati terhunyung ke depan hampir membentur tembok.
Refleks Mahendra lengan Mahendra merangkul Larasati, sehingga tubuh wanita itu dalam sekejap berada dalam pelukannya.
Sekarang dua pasang irish saling bersitatap, dada Mahendra berdesir aneh ketika melihat bola mata Larasati yang bak telaga tumpah, dan air mata itu telah merebak di sekitarnya.
Larasati terpaku menatap pancaran mata serupa elang yang menggelap oleh kemarahan, sehingga ia tidak sadar kalau air mata yang sedari tadi ia tahan mati-matian sekarang sudah berjatuhan.
Dengan cepat kesadaran sepasang anak manusia itu kembali. Larasati melepaskan diri dari dekapan kuat Mahendra, lalu mengusap pipinya dengan punggung tangannya bergantian.
Tidak menunggu lama Larasati berjalan cepat ke arah pintu.
"Larasati aku mohon kerja samamu." Mahendra mengejar Larasati yang sudah memutar handel pintu.
Larasati tidak memperdulikan, setelah pintu terbuka ia segera melangkahkan kaki.
"Kamu akan membun*h Papaku!" Dengan kasar Mahendra menahan bahu Larasati.
"Bukan aku, tapi kamu Mas." desah Larasati dengan air mata yang semakin menganak sungai.
Mahendra menghela napas, ia cukup tersentuh melihat air mata istrinya itu, tapi ia sangat kesal dengan kekerasan kepala Larasati.
"Baiklah ... apa maumu sekarang?"
Larasati mengangkat alis, air matanya seketika berhenti melihat tatapan kesungguhan Mahendra.
"Telpon lagi wanita yang katanya adalah kekasihmu itu, lalu putuskan sekarang juga."
Mahendra ternganga mendengar permintaan Larasati tersebut, ia benar-benar tidak menyangka.
"Tidak, Laras ... itu akan membun*h Zara ... Aku adalah hidupnya, ia tidak akan sanggup ..." Bergetar suara Mahendra.
"Kalau begitu, biarkan papamu yang ma*i." ucap Larasati sambil berlalu.
"Larasati!" Mahendra berteriak prustasi.
..
Tiga"Larasati ...!"Sia-sia seruan Mahendra, toh Larasati tidak menghiraukan. Wanita itu terus berjalan dengan hati yang mantap menuju kamar mertuanya yang berada di lantai bawah.Mau tidak mau Mahendra harus mengejar Larasati, Istrinya itu sekarang sudah terlihat berada di lantai bawah, cepat sekali dia, apa ia terbang? Umpat Hati kecil Mahendra.Maka dengan secepat kilat juga, Mahendra tergesa menuruni anak-anak tangga, ia hampir saja terjerembab karena melangkahi beberapa anak tangga sekaligus, untung saja ia sigap berpegangan pada pagar besi."Si*lan!" Jantung Mahendra berdebar keras, ia harus cepat, sebelum Larasati mencapai pintu kamar orang tuanya."Hei Larasati, tunggu!" Dikeremangan ruangan yang hanya berpenerangan lampu-lampu neon lima Watt yang di pasang di sudut tangga Mahendra dapat melihat bayangan Larasati yang sempat menoleh pada nya."Baiklah, Larasati ... kemarilah, aku akan ikuti kemauanmu."Larasati yang sudah mengangkat tangan untuk mengetuk pintu mertua, meng
Empat"Beraninya kau!" Mahendra sungguh tidak akan pernah menduga kalau akan ada seseorang yang dengan sangat berani men*yor kepalanya tanpa rasa sungkan sedikitpun, dan tentu saja hal itu membuat pria yang seumur hidupnya hanya selalu mendapatkan rasa hormat dan kekaguman dari semua orang tersebut begitu terkejut, sehingga membuat tubuhnya limbung hampir terjerembab, untung saja tangannya masih sempat berpegangan pada kursi yang ada di sana.Dan Larasati hampir saja menyemburkan tawanya melihat hal itu."Ya, aku akan lebih sangat berani lagi Mahendra, kalau kau tidak menurut apa yang aku katakan." Aha, sepertinya Larasati belum usai dengan segala hal yang telah membuat Mahendra mati kesal itu."Jangan lagi, Laras! Sudah kubilang kau tidak akan bisa lagi!" Mahendra telah sepenuhnya menguasai diri, sekarang telunjuknya telah disejajarkan dengan wajah Larasati, sebagai sebuah isyarat agar wanita itu segera berhenti."Aku bisa Mahendra. Aku bisa, kau pikir tidak?" Dengan enteng Larasati
LimaUntuk pertama kalinya dalam hidup seorang Mahendra Malik, ia merasa benar-benar tidak berdaya. Hanya satu alasan yang membuatnya begini, yaitu baktinya sebagai seorang anak, kalau tidak, entah apa yang akan ia lakukan ...Tentu dunia tidak akan percaya begitu saja jika seseorang yang selama ini dikenal sebagai pribadi yang ar0gan penuh intimidasi itu telah takhluk begitu saja, tanpa melihatnya dengan mata kepala sendiri.Lihatlah sekarang, pria yang biasanya penuh aura kepemimpinan, kepala selalu terangkat dan dada yang membusung, kini hanya bisa tertunduk dengan bahu melorot. Kedua tangannya terkepal erat sehingga buku-buku jemarinya memutih, nafasnya terdengar berat dan memburu.Pria berusia 30 tahun itu, duduk di sofa empuk bernuansa putih gading di ujung ranjang, kedua tangannya yang terkepal itu tertumpu pada kedua lutut, mata itu yang semakin berkobar karena emosi terpendam terasa begitu panas seakan siap menghanguskan apa saja, tapi hanya berakhir tanpa daya pada karpet
Enam"Bagaimana kau bisa tidur senyenyak itu setelah bertindak seenaknya?" Mahendra bergumam sambil menatap tubuh di atas ranjang yang terbungkus selimut dari ujung kaki ke ujung kepala. Sesekali pendengarannya terusik oleh bunyi dengkuran halus.Sementara Mahendra, ia tidak mengerti kenapa harus begitu patuh dengan semua ancaman wanita itu, kenapa bisa-bisanya ia tahkluk begitu saja? Padahal segalanya telah terencana dengan matang.Di tengah malam yang semakin merayap, mata pria itu masih belum jua terpejam, bukan karena tubuhnya yang tidak terbiasa dengan lantai tempat ia bergelung sekarang, tapi permintaan tak masuk akal dari Larasati terus berputar di kepalanya.Dan bukan itu saja, nyatanya Larasati telah me rong-rong segala pertahanannya sebagai seorang lelaki, gadis itu dengan mudahnya telah memanipulasinya, dari mengancam, menyita ponsel, dan gilanya lagi dia akan membatasi gerak Mahendra, akan ada GPS di mobil dan ponselnya akan disadap.Oh! Mahendra benar-benar tidak bisa me
Tujuh"Kau wanita gila!" umpat Mahendra diantara nafas yang menyesak, dadanya turun naik menahan kesal.Larasati hanya tersenyum kecut, menoleh sekilas pada raut yang marah padam itu.Bukannya merasa simpati atau ciut nyali melihat bara api yang berpendar di mata tajam itu, Larasati malah memberi isyarat lewat gerakan dagunya agar Mahendra segera menjawab ponsel yang masih saja terus berdering.Mahendra benar-benar tidak punya pilihan, selain menuruti perintah dari wanita yang telah mengklaim diri sebagai Ratu itu, dan seenak jidatnya menjadikan Mahendra ajudan.Sungguh di luar nalar kelakuan wanita itu, tapi Mahendra bisa apa selain menurutinnya.Lalu Mahendra pun menggeser tombol hijau di layar, segera pendengaran mendengar isak parau dari sana, Mahendra memperkirakan kalau Zaranya telah melewati malam dengan tangisan tiada henti."Sttt ... lodspeakernya jangan lupa."Mahendra pun patuh dan segera menekan tombol yang di maksud sang Ratu."Mahendra ... apakah kau menikmati malammu
DelapanSetelah Mahendra memasuki kamar mandi, Larasati bergerak menuju koper berisi pakaiannya yang belum sempat diberes ke dalam lemari.Koper itu tergeletak di sudut kamar berdekatan dengan pintu, tapi entah kenapa Larasati merasa begitu jauh, langkah terlihat limbung mungkin karena lututnya yang gemetaran, sehingga sesaat kakinya mencapai tempat yang dituju, tubuh itu pun luruh ke lantai.Larasati menekan dada sebelah kirinya dengan kuat, bukan hanya menekan, sesaat kemudian ia juga memukul bagian itu dengan kepalan tangannya ... entahlah, bahkan dia sendiri tidak bisa menjabarkan apa yang dirasakannya saat ini.Larasati hanya tersedu beberapa saat, lalu ia segera menyusup air mata dengan cepat, kemudian mulai memilah pakaiannya di dalam koper.Setelah menemukan sesuatu yang menurutnya cocok untuk dipakai hari ini, setidaknya menjelang ia membeli pakaian-pakaian baru. Sebuah gaun terusan sederhana hijau toska di bawah lutut dengan renda putih di bagian dada.Memakainya dengan
9"Akhirnya, pengantin baru kita keluar juga..."Mahendra dan Larasati langsung di sambut oleh suara riang bersahutan dari anggota keluarga ketika kaki mereka belum juga mencapai anak tangga paling bawah.Fabian Malik, Papanya Mahendra terlihat sumbringah sekali menadapati putra kebanggaannya merangkul mesra menantu pilihannya."Baguslah, Nak. Rasanya aku ingin hidup berpuluh-puluh tahun lagi setelah menyaksikan kebersamaan kalian ini." Pria setengah baya dengan wajah yang terlihat agak lelah dan pucat itu memegang bahu anak menantunya bersamaan.Larasati tersipu, sementara Mahendra , tentu saja ia sudah diwanti-wanti oleh istrinya itu, untuk bersikap sebaik mungkin."Tentu Pa, papa harus hidup sangat lama. Tugas kita masih panjang, tidak lama lagi, melihat dari kedekatan mereka yang lebih cepat dari perkiraan kita, tidak lama lagi semoga kita akan segera di berkahi cucu." Rieta Malik, Mama Mahendra juga terlihat bahagia, apalagi melihat wajah putranya yang terlihat begitu enjoy, tida
10.Mahendra Malik dan Ruhan Pratama sejatinya selama ini mereka adalah lawan bisnis yang bersaing secara sehat, sesekali bisa juga menjadi partner yang saling menyokong satu sama lain.Mahendra dan Ruhan secara garis besar terlihat sebagai dua orang yang setara. Baik dari segi kekayaan, kepintaran, prestasi maupun ketampanan. Raut mereka yang sama-sama memiliki garis-garis yang telah ditakdirkan untuk memikat pandangan kaum hawa, tapi tentu dengan karakter wajah masing-masing. Ruhan berkulit coklat sementara Mahendra sawo matang. Begitupun postur tubuh, sama-sama tinggi, tegap dan berotot liat.Hanya saja yang membedakannya adalah, Ruhan dan segalanya kekayaannya itu adalah hasil kemandiriannya sendiri, bukan dari usaha keluarga seperti yang dilakukan Mahendra.Untuk itulah, seringkali Mahendra merasa kagum akan kemandirian Ruhan, bahkan cenderung segan pada pria yang sebenarnya sebaya dengannya itu, kadang tanpa malu ia sering meminta saran Ruhan bagaimana baiknya menjalankan