32“Apa yang sebenarnya kamu lakukan, Sam? Apa anak laki-lakiku memang sapayah yang orang katakan?”Aku memijat pelipis yang sejak tadi terus berdenyut. Entah apa yang dikatakan Bastian kepada ibu, hingga wanita yang sangat kuhormati itu terus mengomel tanpa henti seolah aku ini anak kecil yang melanggar perintah orang tua.Mungkin ibu lupa jika anak bungsunya ini sudah hampir empat puluh tahun.“Bu, ibu lebih percaya aku atau Bastian?” tanyaku lembut. Bagaimanapun aku harus tetap menghormatinya. Jangan sampai kemarahannya ditanggapi dengan emosi juga walaupun kepalaku saat ini terasa ingin meledak.Sejak tadi bukan hanya ibu yang meneleponku. Ayah mertua yang juga mengkhawatirkan anaknya, sudah menginterogasiku juga. Belum lagi pengendara motor yang tadi terjatuh akibat menabrak bagian belakang mobilku.Aku sudah memberi mereka sebuah kartu tadi. Karena tidak membawa uang tunai dan aku juga tidak memiliki banyak waktu, tanpa pikir panjang aku langsung memberikannya. Isinya cukup untu
33“Om mau apa?” pekik gadis di atas pangkuanku sambil meronta. Tangan dan kakinya sibuk bergerak agar terlepas. Namun, bukan melepaskan aku bahkan membawanya terjatuh di atas peraduan dengan tubuhnya berada di atasku.Dia menjerit kaget. Terlebih saat pelukanku yang semula dipinggangnya, kini naik berada di punggungnya. Kedua tanganku mengunci tubuhnya di kedua pangkal lengannya.Lalu, saat ia ingin protes, malah kuubah posisi hingga kini aku yang berada di atas tubuhnya.Matanya membulat. Tapi kali ini ia tidak bisa berbuat banyak karena aku menindihnya. Kunikmati raut paniknya yang di mataku sangat menarik. Ia terlihat sangat … seksi.“Om Sam … lepas, awas …!”“Lepaslah kalau kau bisa.” Aku sengaja mendekatkan wajah, ia menahannya agar wajah kami tidak bertemu.“Om, jangan macam-macam!” Ia menjerit dan menggeliatkan tubuh agar terlepas dari kungkunganku. Dan aku sengaja berguling lagi hingga ia yang berada di atas lagi. Begitu seterusnya hingga beberapa kali. Kami berguling-guling
34Aku merapatkan tubuh, lalu melingkarkan tangan di perutnya yang tertutup selimut. Kali ini kain tebal dan hangat itu hanya menutupi sebatas dadanya.Gadis itu diam saja. Padahal aku tahu ia belum tidur. Mungkin lelah melayani kelakuanku yang kuakui sendiri memang absurd.Kuhidu rambutnya yang menguarkan aroma bunga lembut. Tadi saat aku masuk pertama kali rambutnya masih basah.“Tari.” Aku mulai berbisik. “Aku minta maaf atas hari ini. Aku sungguh-sungguh minta maaf.”Tidak ada sahutan, dan aku memang tidak berharap ia membalasku. Aku hanya ingin ia mendengarkan apa yang ingin aku sampaikan.“Aku tidak berniat ingkar janji. Tapi mendadak ada pekerjaan, dan sangat urgent. Kukira akan bisa diselesaikan dalam waktu singkat, karena itu aku tidak menghubungimu. Ternyata sangat molor hingga berjam-jam.” Aku menjeda kalimat untuk menarik napas dan menelan ludah membasahi tenggorokan yang terasa kering.“Saat selesai, aku berusaha menghubungiku, tapi nomormu tidak aktif. Aku pikir pasti ka
35 Dengan napas masih memburu, aku menghentikan gerakan pinggulku. Padahal hasrat ini begitu menggebu, tetapi melihat air mata yang mengalir tiada henti dari mata wanita di bawah tubuhku sejak pertama kali aku menyatukan tubuh kami, tak ayal aku merasa heran. Memang benar wanita yang masih perawan akan menangis saat pertama kali melakukannya. Setidaknya itu yang kutahu, tetapi kenapa setelah hampir satu jam ia masih saja menangis? Bahkan sejak awal tak sekali pun matanya melihatku. Ia terus memejam atau memalingkan muka. Bahkan berkali-kali menutup wajahnya dengan bantal. Saat aku membuka bantal itu, ia tengah sesenggukan di sana. Apa sakitnya sampai selama ini? Aku menghentikan aksiku dan terpaksa menekan gejolak yang yang masih membuncah sekuat yang aku bisa saat ia semakin sesenggukan. Orang bilang malam pertama itu indah. Apanya yang indah? Mentari menangis sepanjang waktu, dan aku bagai pemerkosa tidak punya hati. Aku terus melakukan sesuka hati tanpa menghiraukan perasaanny
36Aku menelan ludah dengan susah payah. Wanita itu berdiri di sana dengan tatapan curiga. Sebelum akhirnya melangkah masuk tanpa aku sempat persilakan.“Di mana menantuku?” tanyanya saat aku hanya terpaku di tepi mulut pintu.Lagi aku menelan ludah. Kenapa juga ibu datang di saat seperti ini.“Sam.” Panggilan itu sebenarnya tidak keras, tetapi cukup menciutkan hatiku.“A-da di kamar, Bu.” Aku menunjuk arah pintu kamar Mentari. Lalu tak bisa berbuat banyak selain mengekori beliau. Suara ketukan sepatu ibu yang beradu lantai bagai suara iringan genderang yang menyambut vonis hakim untukku.Dan benar saja, omelan tanpa henti langsung berhamburan dari mulutnya saat mendapati menantu kesayangannya berbaring lemah dengan suhu tubuh panas.Sudah kusampaikan kalau aku baru akan menelepon dokter saat ibu datang. Namun, itu tak serta-merta membuat omelannya berhenti.“Ratri, telepon dokter Rena. Dan kirim peta lokasi agar dia segera ke sini,” perintaha kepada ajudannya terdengar di sela omelan
37Wajahku masih terasa panas, bahkan menjalar hingga ke telinga. Meskipun dokter Rena sudah meninggalkan tempat ini, rasa panas itu masih juga bertahta.Apa selain dokter, ia juga cenayang? Bagaimana ia tahu kalau kami baru saja melakukan ritual pengantin baru?Ya, meski hanya aku yang menikmati seorang diri, dan itu pun tidak sampai tuntas, tapi kami baru saja melakukannya. Apa hanya dengan melihat fisik Mentari saja, ia sudah bisa menyimpulkan bahwa kami sudah melakukannya?Hah! Aku lupa meninggalkan beberapa jejak di leher Mentari saking terbuai dengan pesonanya. Aku tidak bisa mengendalikan diri. Ia sangat memabukkan. Bayangkan saja, aku harus menahan hasrat itu sejak malam pertama kami. Bermula dari menolongnya di kolam renang dengan keadaan tubuhnya yang basah kuyup. Memberinya napas buatan, lalu memandikan dan menggantikan bajunya.Semua kulakukan sendiri karena tak akan kubiarkan orang lain melihat apalagi menyentuh tubuh polosnya. Dia istriku dan ia milikku.Selama mengurusi
38PoV Author“Memangnya, kenapa dengan apartemen ini, Tante?” Mentari menoleh dan menatap wajah wanita yang baginya seumur hidup tidak pernah bersikap layaknya seorang ibu. Karenanya ia tetap memanggil tante.“Aku betah kok, di sini,” lanjut sang gadis dengan tatapan percaya diri dan berani.“Jujur, aku bahkan lebih betah di sini daripada di rumah ayah.” Suara Mentari kali ini bercampur getar meski samar.“Di sini, aku bisa jadi diri sendiri. Aku bebas berekspresi dan melakukan apa pun. Kebutuhanku terpenuhi. Dan yang paling penting … aku tidak merasa tertekan dan asing di sini.” Nada bicara itu pada akhirnya berapi-api.“Tari ….” Pria paruh baya yang duduk disampingnya bergumam lirih, juga dengan suara bergetar. Tatapan nanar menyapu wajah anak perempuan satu-satunya yang diakuinya terlalu lama ia abaikan. Bahkan pria itu sangat tahu apa maksud ucapan sang anak. Tapi, sungguh ia tidak berdaya. Istrinya terlalu menguasainya.“Memang orang seperti kamu pantasnya tinggal di rumah seder
39“Tari, maaf soal semalam ….”Pria itu tak sempat menyelesaikan kalimatnya karena tangan sang wanita terangkat.“Jangan membahas soal semalam, Om. Kita anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa.” Sang wanita berucap tegas. Padahal hatinya menahan perih.“Aku sungguh minta maaf, Tari. Aku tidak tahu jika ini akan menyakitimu. Aku terbawa suasana….”“Sudah kukatakan jangan membahasnya lagi, Om. Anggap tidak pernah terjadi apa pun di antara kita.” Tari mengingat bibirnya. Sungguh ia perih berkata demikian. Bagaimana bisa ia melupakan kejadian itu. Kejadian bersejarah di mana sesuatu yang ia jaga selama ini sudah terenggut. Namun, ia harus berusaha melupakan kejadian itu, dan menganggap itu bukan hal besar. Agar ia kuat menatap hari. Melanjutkan hidup dengan normal karena masih banyak yang belum ia raih.Samudra menggelengkan kepala. Rasa bersalah itu kian membesar melihat betapa Mentari bersikap seolah tegar. Padahal ia tahu hatinya sangat rapuh.“Katakan apa yang harus kulakukan aku la