114“Kita harus bagaimana, Mas?” bisik Mentari sambil melirik wanita yang masih tersedu di sofa lobi. Kini mereka tengah berdiskusi dengan jarak sekitar lima meter dari tempat duduk wanita itu.“Sayang, di rumah kita cuma ada satu kamar tidur, kita tidak mungkin membawa ibu tiri kamu ke rumah kita.”“Iya, aku tahu, Mas. Lalu, kita harus bagaimana? Kita tidak mungkin kan, meninggalkan dia di sini? Kantor harus tutup dan harus dikunci. Masa iya dia suruh tidur di sini?”Samudra membuang napas kasar. Kedua tangannya bertolak di pinggang. Entahlah, ia tidak tahu kenapa wanita itu tiba-tiba saja merongrong hidup mereka. Padahal hari ini mereka berdua sudah sangat lelah, tapi masih harus ribet mengurus orang yang sebenarnya tidak penting.Ia sama sekali tidak menyalahkan Mentari, tapi juga tidak mungkin meninggalkan Yulia di sana sendiri.“Mas coba menelpon Bastian dulu,” pamit Samudra setelah berpikir beberapa saat.Mentari mengangguk sambil memperhatikan suaminya yang mengeluarkan ponsel
115“Makanlah, Tante. Tapi hati-hati jangan sampai tersedak,” ucap Mentari seraya mendekatkan mangkuk berisi ayam teriyaki ke hadapan Yulia.Di sini mereka sekarang. Duduk semeja bertiga di sebuah restoran. Tadi di dalam mobil, Yulia mengeluh perutnya lapar. Dan bukan hanya karena kasihan bila akhirnya Mentari dan Samudra mengajak wanita itu untuk makan, tetapi kenyataannya perut mereka juga minta diisi.Kesibukan di kantor dan kelelahan yang mereka bawa pulang, tak mungkin untuk Mentari harus masak sesampainya di rumah. Karenanya ia dan Samudra memutuskan untuk mampir makan. Mereka juga bukan manusia-manusia yang tidak punya hati. Meski tidak menyukai Yulia, tapi tidak mungkin membiarkan wanita itu kelaparan sementara mereka enak-enakkan makan.Terlebih mereka belum menemukan jalan keluar akan dibawa ke mana wanita itu.Yang membuat keduanya tidak habis pikir, Yulia langsung memesan banyak makanan begitu seorang waitress menghampiri dengan membawa buku menu. Tanpa rasa canggung atau
116“Mas ganteng ….” Tangan Mentari bermain di sepanjang rahang Samudra. Malam ini mereka sudah bersiap untuk tidur. Mereka memilih istirahat lebih cepat karena sudah melewati hari yang melelahkan. Kesibukan di perusahaan, dilanjut dengan drama Yulia yang akhirnya mereka tinggal begitu saja di restoran, menyita banyak tenaga. Karenanya mereka memutuskan istirahat lebih awal. “Mas ganteng,” ulang Mentari. Kali ini bukan hanya rahang, tetapi jarinya menelusuri setiap inci wajah sang suami. “Sudah dari lahir,” jawab Samudra santai menanggapi pujian istrinya.“Terus, kalau udah ganteng dari lahir, kenapa kemarin ditutupi kegantengannya?”“Kenapa, kamu takut?” tanya Samudra dengan mengangkat sebelah alisnya. “Iyalah, takut. Siapa juga yang nggak takut lihat laki-laki gondrong, mukanya penuh bulu. Jadi seperti….”“Seperti apa? Makhluk jadi-jadian?” Kali ini kedua alis Samudra yang bergerak. Mentari tersipu, memang itulah yang ingin dikatakannya, hanya saja ia tak sampai hati. Pertemuan
117Mentari menggeliat saat bell rumah terdengar berbunyi. Wanita itu terpaksa membuka mata walaupun masih ingin menikmati indahnya mimpi dalam nikmatnya tidur pagi ini.Tadi, setelah menunaikan kewajiban dua rakaat berjamaah bersama suaminya, mereka mengulang lagi percintaan karena Mentari terus merengek meminta tambah. Efeknya, saat dibangunkan untuk berangkat ke kantor, ia malah menyembunyikan dirinya di bawah selimut.“Masih ngantuk,” alasannya sambil mempertahankan selimut yang ditarik suaminya.“Tidak ikut ke kantor?” tanya Samudra yang hampir bosan membangunkan wanita di balik selimut itu. Bahkan setelah dibujuk, selimut itu tak jua terbuka.“Mas duluan aja. Nanti aku nyusul kalau udah enggak ngantuk lagi.” Jawaban Mentari di balik selimutnya, membuat Samudra menarik napas panjang dan menggelengkan kepala. Ternyata hanya sehari saja semangat berkobar di jiwa istrinya. Hari kedua bahkan sudah beralasan untuk datang terlambat. Namun, ia tidak memaksa. Pria itu sangat mengerti jik
118“Apa kamu sudah tidak waras?” Emosi Mentari terpancing. Pagi-pagi, kebangun terpaksa dengan kondisi mata masih mengantuk, lalu tiba-tiba ingin diserang, dan setelahnya harus mendengar tuduhan-tuduhan yang membuat panas telinga. Siapa yang tidak kesal?“Datang pagi-pagi ke sini hanya untuk mengeluarkan kata-kata sampah seperti itu? Apa menjadi istri dari pria kaya idamanmu sudah membuat otakmu berpindah ke lutut?” tanya Mentari dengaan kata-kata yang cukup kasar.“Pagi-pagi datang ke rumah orang lain hanya untuk mengumpat dan menghamburkan tuduhan yag tidak berdasar. Kamu sudah tidak waras.”“Kenapa, kamu tersinggung?” Novita mengangkat dagunya. Rasa sakit di tangannya ia kesampingkan. Ia pun tersulut emosi.“Itu memang kenyataannya, kan? Kamu, ayah dan ibumu sama saja. Kalian orang-orang yang tidak punya perasaan. Tidak punya empati.”“Dan kamu serta ibumu orang-orang yang tidak punya hati dan otak! Kalian berjiwa miskin!” Telunjuk Mentari menuding wajah Novita.“Apa maksud kamu?”
119“Kenapa?” tanya Samudra saat mendapati wajah Mentari tak seperti biasanya. Wanita itu datang jam sembilan tiga puluh dengan menggunakan taxi. Padahal ia sudah mengingatkan jika sudah siap berangkat sopir akan menjemputnya.Wanita itu juga datang dengan wajah yang tidak biasa. Langsung duduk dengan tidak bersemangat. Padahal biasanya akan memeluk dan menciuminya penuh rindu walaupun mereka hanya terpisah sebentar saja.Samudra menghentikan aktivitasnya, kemudian duduk di samping istrinya. Tangannya terulur meraih kedua pipi Mentari yang dibawanya agar melihat padanya.“Ada apa? Apa ada yang terjadi?” tanya pria itu lagi karena pertanyaan pertamanya belum mendapat jawaban. Ditatapnya lekat sepasang mata yang sejak tadi seolah menghindari bertemu pandang dengannya.“Tidak ada apa-apa,” jawab Mentari lemah seraya mengalihkan pandangan ke arah lain. Namun gegas kedua tangan sang pria mengeratkan tangkupan di pipi itu agar wajah Mentari tetap menghadapnya.“Benar?” Samudra meminta peneg
Bab 1“Bastian, ahhh … lebih cepat lagi–”Aku menajamkan pendengaran begitu tiba di depan pintu kamar Bastian, calon suamiku. Suara-suara aneh dari dalam sana membuat bulu di tubuh ini meremang.“Bas–oh ....”Aku tidak tahan lagi, tubuhku mendadak bergetar hebat karena mendengar suara-suara itu. Suara-suara khas sepasang manusia yang tengah mengarungi lautan kenikmatan.Brak!Kudorong pintu ruangan itu dengan kuat hingga dua orang yang tengah bergumul di atas sofa sontak terperanjat.Sepasang manusia tidak tahu malu itu kompak menoleh ke arahku.Si lelaki langsung loncat menarik diri dari atas tubuh wanitanya dengan gelagapan. Disambarnya bantal sofa untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Sementara wanitanya bukan melakukan hal sama, melainkan dengan tidak tahu malu melemparkan senyum penuh kemenangan padaku.Raut puas sangat kentara di sana–aku bisa melihatnya dengan jelas. Ia bahkan membusungkan dadanya seolah ingin menunjukkan padaku jika tubuhnya baru saja dinikmati calon suamiku.
Bab 2Aku menelan ludah dengan susah payah. Pandangan tajam ini mengabur dengan sendirinya karena kaca-kaca yang mulai menutupi bola mata.Sumpah demi apa pun, hatiku sakit. Sakit karena pengkhianatan Bastian dan Novita, juga karena ucapan busuknya.Aku ingin lebih memaki, tetapi rasanya percuma.Akhirnya aku membalikkan badan tanpa berkata-kata lagi. Lalu membawa kaki ini melangkah keluar. Meninggalkan ruangan yang baru saja digunakan perbuatan terkutuk manusia-manusia laknat itu.“Ini salahmu, kenapa tidak mengunci pintunya?”Langkahku terhenti di depan kamar saat mendengar suara Bastian. Walaupun tidak jelas karena diucapkan dengan mendesis, tetapi telingaku cukup baik menangkapnya.“Mana aku tahu dia mau ke sini?” Itu Novita yang menimpali. “Sudah kubilang lebih baik ke hotel seperti biasa. Tapi kamu malah mau di sini. Salahku di mana?”“Sial!” Bastian mengumpat.Aku memejam dengan kuat. Satu kesimpulan yang dapat diambil dari dialog singkat mereka, jika ini bukan yang pertama dan