Share

 SUAMIKU SELINGKUH DISAAT AKU BARU MELAHIRKAN
SUAMIKU SELINGKUH DISAAT AKU BARU MELAHIRKAN
Penulis: Marselinus

suamiku meminta haknya

"Dek, apa kamu masih belum bisa melayaniku? Sudah sebulan lebih loh, aku puasa. Aku sudah nggak tahan nih." tanya Mas Hearfy dengan pandangan mata yang penuh permohonan padaku.

Aku jadi jengkel melihat sifatnya yang tak mengerti seperti itu.

Ini bukan kali pertama ia meminta haknya sebagai seorang suami padaku. Entah terbuat dari apa hatinya sehingga ia bisa begitu tega meminta ku untuk melayaninya. Padahal aku baru habis sebulan yang lalu melahirkan anak pertama kami, buah cinta kami berdua.

"Bagaimana, Dek? Apa kamu sudah bisa sekarang?" tanyanya lagi ketika melihat aku masih terdiam juga tidak menjawab pertanyaannya.

"Maaf, Mas, aku rasanya masih belum bisa karena luka di bekas jahitanku masih belum terlalu sembuh betul." jawabku dengan suara yang sangat lirih. Sungguh aku merasa sangat sakit hati dengan sikapnya ini.

Ya Tuhan, sebenarnya bukan permintaan itu -itu terus yang ingin kudengar dari mulut suamiku. Sebagai seorang Ibu baru yang baru habis melahirkan, aku sangat membutuhkan dukungan yang berupa bantuan tenaga darinya, bukan untuk melayani nafsu bejadnya.

Bayangkan saja, ketika bayiku baru berusia dua Minggu, ia sudah memaksaku untuk melayaninya, dengan alasan kalau aku berani menolak, ia tidak akan turun tangan membantu merawat bayi kami. Dan ternyata ucapannya itu benar adanya. Dia ternyata tidak main - main. Sejak peristiwa itu, ia tidak pernah membantuku. Jangankan menggantikan popok, menjaga bayi ketika aku ke kamar kecil untuk buang air pun ia tidak mau.

"Kamu tuh, selalu begitu ya, Dek, selalu cari alasan untuk menolak permintaanku. Masih luka lah, ini lah, itu lah, awas loh, kalau nanti aku jajan di luar baru kamu kapok telah mengabaikan permintaanku." seperti biasa ia selalu marah - marah setiap kali aku menolak ajakannya.

Air mataku perlahan jatuh melewati pipiku. Sungguh, lelaki yang kuharapkan untuk menyayangiku sepenuh jiwa dan raga ternyata bersikap sangat keterlaluan. Dia tidak memperhatikan kondisiku yang baru habis melahirkan. Dia juga tidak pernah menyayangiku. Yang ada dalam otaknya hanya ingin menuntaskan hasratnya semata.

Apa dia kira mengeluarkan seorang anak itu segampang yang ia pikirkan? Semudah seperti dia yang hanya mengeluarkan kentut saja sehingga selepas kentut itu lewat tubuh akan merasa plong dan enak.

"Jangan berpikiran begitu, Mas, Aku sungguh masih merasa sakit karena luka yang belum sembuh. Supaya kamu tahu, Mas, orang melahirkan itu susah, bukan seperti mengeluarkan kentut." ujarku lirih dengan nada yang mulai emosi.

Seandainya kalau dia merasakan sendiri bagaimana rasanya sakit mau melahirkan, tentu ia akan mengerti dengan kondisiku saat ini. Jangankan untuk melakukan hubungan badan, buang air besar saja rasanya aku sangat kesulitan.

"Alah! Itu cuma alasanmu saja. Aku tahu kamu memang sudah tidak mau melayani aku. Jadi mulai saat ini, jangan salah kan aku kalau aku mencari pelampiasan di luar." Ucapnya sembari menyugar rambutnya dengan kasar.

Ia berdiri kemudian melangkah ke lemari untuk mengambil baju gantinya. Sambil mengenakan pakaian gantinya ia terus mengomel.

"Nah, ini lihat kan, jangan kan kebutuhan batinku yang sudah tidak kau penuhi. Kini malah baju ganti pun sudah tak kau siapkan. Kau hanya sibuk dengan anakmu saja. Jadi lain kali minta anakmu itu untuk membahagiakan kamu. Aku sudah tak perduli!"

"Maafkan aku, Mas. Kuharap kamu mengerti dengan kondisiku saat ini. Bukannya aku tidak mau melayanimu, akan tetapi, aku sungguh tak mampu." jelasku untuk yang kesekian kalinya.

"Kalau begitu kapan kamu akan melayaniku? Apa kamu kira aku harus menunggumu dalam waktu yang begitu lama?" ia Malah semakin marah tak jelas padaku.

"Bukan seperti itu, Mas, tunggulah, Mas, setelah anak kita menginjak usia tiga bulan, aku pasti sudah sembuh dan sudah bisa melayani kamu." jelasku dengan sabar. Namun reaksi yang diberikannya sungguh sangat membuatku semakin sakit hati saja.

"Apa? tiga bulan? Apa kamu pikir tiga bulan itu waktu yang cuma sebentar? Dan kamu menyuruhku untuk menunggumu? Maaf, aku bukan tipe lelaki yang sesabar itu. Aku telah memintamu dengan baik - baik, tapi kamu tetap berkeras menolak keinginanku. Jangan salahkan aku kalau nanti aku selingkuh di belakangmu."

"Ya, ampun, Mas. Kenapa sih kamu selalu tak pernah mengerti tentang diriku, Mas? Aku tidak melayanimu karena aku masih sakit, ribuan urat saraf ku yang putus belum sembuh semuanya akibat melahirkan anak kita. Kenapa kamu masih tak paham juga? Apakah kemarin- kemarin aku pernah menolak permintaanmu? Tidak, 'kan?" Kali ini aku berteriak kencang membantah ucapannya. Sudah hilang rasa hormatku padanya sebagai seorang suami karena perlakuannya yang buruk kepadaku.

"Alah! itu hanya alasan kamu saja! Aku tahu itu. Mana ada sih seorang wanita yang bisa menahan diri untuk tidak begituan? Kamu saja yang terlalu cengeng. Nanti aku main belakang baru kamu sadar kalau rugi telah mengabaikan ku seperti ini.!"

"Mas, aku tidak membohongi kamu. Tanya saja sama ibumu, sama dokter atau pun setiap wanita yang pernah melahirkan. Pasti jawaban yang diberikan mereka akan sama dengan jawabanku." Aku masih berusaha untuk menjelaskan padanya dengan sabar, walau kutahu stok kesabaranku tinggal setipis tisu."

Mungkin karena dia terlalu membenciku, ia ke luar dari kamar kami dan membanting pintu dengan keras hingga menimbulkan bunyi gedebuk yang seketika langsung membangunkan bayiku yang sedang tertidur lelap.

Seketika bayiku yang sedang tertidur kaget dan langsung menangis histeris akibat mendengar suara pintu yang dibanting dengan keras

"Tenang, Nak. Maafkan Ibu yang tidak becus menjagamu." dengan berlubang air mata, ku bujuk bayiku agar dia berhenti menangis. walaupun dia masih terlalu kecil, tapi aku berharap dia mengerti dengan kondisi ibunya saat ini.

Segera kuangkat bayiku, menggendongnya dan kembali meninabobokan. Walau dalam keadaan mengantuk berat, aku tak pernah mengeluh atau meminta tolong pada suamiku untuk membantuku. Apalagi ditambah dengan keadaannya yang marah tak jelas seperti itu. Jangankan menggendong, melihat keadaan bayi kami pun ia jelas tak mau. Bahkan ia pun sering melampiaskan kemarahannya pada bayi mungilku itu.

"Jadi anak kerjanya cuma bikin susah! bikin gaduh! kerjanya merepotkan orang saja!"

Dan ini sering terjadi, Mas Hearfy tidak mau untuk membantuku. Malah ia akan memarahi atau membentak bayiku kalau dia terlalu rewel dan menangis.

Hampir sejam lamanya aku menimang bayiku hingga ia terlelap, akhirnya setelah menidurkannya di atas tempat tidur tanpa terasa aku pun ikut ketiduran dengannya.

***

"Dek, bangun. Kenapa sih jadi perempuan lelet amat?! Tahu nggak ini sudah jam berapa? Kenapa belum buatkan kopi dan sarapan untukku?" Suara cempreng Mas Hearfy mengagetkanku yang sedang tertidur.

Cepat aku bangun lalu melihat bayi yang tertidur di sampingku. ya ampun, ia sudah bangun entah sejak kapan, kulihat ia sedang menendang - nendang kedua kakinya yang mungil. Duh, ada pub juga, sejenak aku melupakan teriakan Mas Hearfy dan mengurus bayiku membersihkan pub nya.

Mungkin karena terlalu lama menungguku tidak ke luar - ke luar dari kamar, tingkah Mas Hearfy semakin menjadi saja. Ia menendang pintu dengan keras hingga menimbulkan bunyi yang sangat kencang.

"Kamu kerja apaan sih di dalam sini, hah?! Kenapa tidak menyiapkan sarapan untukku sekarang? Apa kamu sudah berani mau melawanku, ya? Mentang - mentang baru habis melahirkan, selalu saja anak bayi yang kamu jadikan alasan untuk bermalas- malasan. Kamu enak sudah tidak bekerja, tidur lelap nggak ingat diri. Sampai lupa kewajiban seorang istri itu bagaimana.!"

Ya ampun! Ini orang mulutnya pedas. Memang dia pikir aku siapa? pembantu?

Kutatap wajahnya dengan emosi yang sudah sampai di ubun- ubun. Emang matanya buta apa hingga tak bisa melihat aku sedang melakukan apa? dasar lelaki egois! Ya ampun, kalau sikapnya terus terusan seperti ini tak berubah sedikit pun, sungguh aku pun bisa melawan.

"Mas, apa matamu kamu buta? Apa kamu sudah tak bisa melihat aku sedang apa, Mas? Aku sedang membersihkan pub, kenapa kamu terus berteriak terus seperti itu? Aku capek, Mas, semalaman begadang jagain anak, sedang kamu tidur enak sesukamu." Kali ini aku sungguh meluapkan amarahku yang kutahan selama ini. Ia terbelalak tak menyangkah kalau aku sudah berani melawan dan membantah setiap ucapannya.

"Apa? jadi kamu mau menyalahkan aku?! Berani kamu ya?! Aku tinggal kawin dengan perempuan lain baru kamu tau rasa. Baru kamu sadar kalau jadi janda itu emang enak. Masa hanya ngurus bayi kecil itu saja lamanya minta ampun." dengusnya kasar.

"Coba sekali saja kamu yang gantian tugas denganku untuk mengurus bayi kita, Mas, aku mau tau seberapa cekatannya kamu mengurus bayi. Jangan cuma asal omong kosong seperti itu!" ucapku menantang.

Wajahnya merah padam, ia mendekatiku dan mengancam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status