"Pernikahanmu dan Mas Andri sah di hadapan Allah. Namun aku bukan wanita yang menyetujui poligami. Mengenai keinginanmu meminta talak pada suamimu itu bukanlah urusanku. Karena kelak kepadamulah Allah akan bertanya alasanmu meminta ditalak oleh suamimu, bukan kepadaku." Air mata Rini mulai menetes membasahi pipinya."Aku malu berhadapan denganmu, Mbak. Sungguh hatimu begitu kuat. Sedangkan aku? Baru dihadapkan pada sedikit masalah saja sudah membuatku berpikiran picik sampai berani melukai diriku sendiri. Padahal aku tak sedikitpun punya hak atas tubuh ini.""Sudahlah, Rin. Aku juga punya kekurangan, bahkan sangat banyak. Beruntungnya Allah masih menutupi aib-aib ku sehingga tidak terlihat olehmu. Maafkan aku jika kemarin melukai hatimu dengan lisanku, sungguh aku meminta maaf.""Tidak, Mbak. Aku tidak pernah terluka olehmu. Justru aku yang melukaimu, Mbak.""Maaf, Rin. Aku harus balik sekarang. Anak-anak menungguku." "Iya Mbak, terima kasih sudah sudi menemuiku," jawabnya.Kami mel
"Aku akan memilih berpisah dengan Rini, dan menjalani hidup kita seperti sebelumnya kembali. Toh pernikahan ini bukan atas keinginan kami."Aku terkejut. Tadi Rini, dan sekarang Mas Andri yang mengatakan hal yang sama. Apakah mereka tidak takut Allah murka karena mempermainkan pernikahan dan ijab kabul? Lalu aku harus bagaimana. Aku terdiam menatap tajam pada Mas Andri yang balas menatapku dengan mata hazelnya. "Aku akan berpisah dengan Rini, dan menjalani hidup kita seperti sebelumnya kembali."Aku menarik nafas sejenak."Semudah itukah kau mempermainkan pernikahan mas?""Aku menikahinya karena keadaan, Dik. Lagipula aku belum menyentuhnya. Kurasa tidak ada yang akan dirugikan jika aku mejatuhkan talak padanya.""Mas, kamu mau jadi laki-laki pengecut? Tidak ada yang namanya ijab kabul itu terpaksa mas. Mas mengucapkannya dalam keadaan sadar." Aku mengulangi sebagian kalimat Andin tadi. "Lalu apa yang harus kulakukan? Apa kamu bersedia dipoligami?" Suaranya lantang."Kamu kenal siap
(Di Lapas.)Aku meminta izin pada Pak Indera untuk menemui Kak Rizal. Kasus yang kami dampingi memang tidak terlalu pelik sehingga tidak terlalu membutuhkan banyak pendapat untuk beradu opini. Aku duduk di ruang tunggu yang disiapkan untuk bertemu narapidana. Tak lama kemudian Kak Rizal muncul dari pintu."Hai, Kak. Assalamualaikum," sapaku sambil tersenyum."Walaikumsalam, kok ke sini lagi, Dek? Jangan sering-sering ke sini. Selain jauh tempat ini auranya kurang bagus untukmu.""Apaan sih Kak pake aura-aura segala. Aku ada kerjaan tadi di sini jadi sekalian nengokin Kak Rizal. Nih sedikit makanan buat Kak Rizal." Aku menyodorkan beberapa kotak makanan yang sengaja kubeli di perjalanan tadi. Kak Rizal bingung mendengar aku ke sini dalam rangka pekerjaan, akupun menceritakan tetang profesiku dan kerjaanku."Kamu agak pucat, Dek. Lagi nggak enak badan?""Nggak kok, Kak. Cuma lagi ada sedikit masalah.""Masalah sama suamimu?" Aku hanya diam. Kak Rizal pembawaannya terlihat seperti aya
"Kau harus bagaimana tanyakan pada hatimu sendiri. Orang lain hanya bisa memberi masukan, tapi hatimu sendiri lah penentunya."Aku menarik napas, selalu terasa sesak jika membahas masalah ini."Lebih baik melepaskan dengan keikhlasan dari pada bertahan dengan keterpaksaan. Kuharap kau bisa belajar dari pengalaman orang tua kita dahulu, Dek. Aku yakin kau bisa melaluinya. Maaf aku harus kembali ke sel. Jangan ragu mencariku jika kau perlu tempat untuk bercerita. Aku kakakmu."Aku terharu mendengar kalimat Kak Rizal. Aku benar-benar merasa punya saudara sekarang, sayang sekali kami harus dipertemukan dalam kondisi seperti ini. ***POV Andri Aku sedang di jalan menuju kantor setelah meninjau lokasi proyek terbaru perusahaanku. Perusahaanku yang dulunya hanya bergerak di bidang advertising sekarang perlahan mulai mengembangkan sayap ke bidang konstruksi. Tak kupungkiri peran Rini sangat besar terhadap perkembangan perusahaanku belakangan ini. Kecerdasannya dalam merencanakan dan membuat
Nuri hanya terdiam saat aku mengabarinya namun kuyakinkan padanya bahwa semua akan baik-baik saja.Setelah menutup telpon, aku melirik Rini di sebelahku. Dia hanya terdiam tanpa ekspresi. Rini, istri yang rencananya akan kutalak sore ini. Namun ternyata harus tertunda karena insiden kecelakaan Bu Endang. Tidak mungkin aku mengajaknya bicara tentang hubungan kami disaat seperti ini. Kulajukan mobilku agak cepat ketika sudah memasuki jalan toll. Tak ada percakapan yang berarti di antara kami selama dalam perjalanan. Hanya sesekali aku menawarinya mampir ke toilet atau mampir mengisi perut di rest area namun Rini selalu menolaknya dengan alasan masih kenyang dan tidak perlu ke toilet. Dia hanya ingin segera melihat keadaan ibunya. ***Kami tiba di kampung saat matahari sudah mulai tenggelam. Aku menyetir sesuai dengan arahan Rini karena kami langsung menuju rumah sakit yang ada di ibu kota kabupaten.Setelah tiba dan memarkirkan mobilku, Rini segera turun dan berlari kecil mencari ruang
"Sini, Nak. Minum teh dulu menghangatkan perut." "Iya, Buk" sahutku sambil duduk di depan ibu. Aku menghirup teh hangat buatan ibu."Nuri tau kamu kesini, Nak" tanya ibu."Iya, Buk. Aku mengabarinya lewat telpon tadi karena kebetulan masih jam kerja tadi ketika Rini menerika kabar kecelakaan Bu Endang."Ibu diam sambil tersenyum padaku."Nak, apa kalian sudah membicarakan mengenai hubunganmu dengan Rini, maaf jika ibu terpaksa menanyakan ini padamu.""Iya Bu, tak apa. Kami sudah membicarakannya.""Lalu apa tanggapan anak ibu?""Nuri tidak pernah setuju dengan poligamu, Buk.""Lalu bagaimana?""Aku akan melepaskan Rini dan kembali menjalani rumah tangga kami dengan normal," sahutku mantap.Ibu menarik nafas."Jangan mempermainkan pernikahan, Nak."Aku mengerutkan keningku, tak kupahami apa maksud ucapan ibu."Apa maksud ibuk?""Ibu tidak mau ikut campur lebih jauh. Ibu yakin kalian pasti mampu mengatasinya dengan baik. Apapun keputusan kalian ibu akan selalu mendukung dan mendoakan ke
“Maaf sebelumnya saya mau tanya dengan siapa saya berbicara dan apa hubungan Anda dengan pasien atas nama Bu Endang,” tanya dokter setelah aku duduk di hadapannya.“Saya Andri, Dok. Saya keluarganya pasien.”“Anda anaknya atau keponakannya? Kami perlu data yang jelas sebelum menjelaskan detail kondisi pasien."“Saya ... menantu pasien, Dok,” jawabku ragu.Dokter itu terlihat terdiam sesaat sambil mengerutkan kening, sepertinya dia heran dengan keraguanku menjawabnya.“Baik, Pak Andri. Maaf jika saya harus menyampaikan berita ini. Kondisi pasien saat ini dalam kondisi yang kurang baik. Kepalanya mengalami benturan pada saat kecelakaan dan itu menyebabkan trauma di kepala pasien. Bahkan suatu mukjizat bagi kami melihat pagi ini pasien bisa sadar dan mebuka matanya. Kami menganjurkan dilakukan tindakan operasi namun harus dirujuk ke rumah sakit rujukan yang setingkat di atas rumah sakit ini karena peralatan medis di sini belum memadahi.”“Kalau begitu segeralah dirujuk, Dok. Saya yakin k
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.” Aku berucap lirih. Sesungguhnya hidup dan mati manusia adalah rahasia Allah. Baru beberapa menit yang lalu beliau menitipkan putrinya padaku dan kini Bu Endang telah berpulang kepada Sang Pencipta.“Pak Andri silahkan mengurus beberapa urusan administrasi agar jenazah bisa segera dipulangkan. Petugas kami akan mengarahkan prosedur pengurusan jenazah. Sekali lagi maafkan kami."“Iya, Dok.”Aku mengusap-usap ujung kepala Rini yang tertutup jilbab. Sungguh malang gadis ini, sekarang dia harus kehilangan ibunya. Beruntung kemarin aku langsung berinisiatif mengantarkannya ke sini, rupanya ini adalah pertemuan terakhirnya dengan ibunya.“Rin, istighfar ya. Ikhlaskan kepergian beliau. Jika kamu terus seperti ini kasian beliau, sekarang beliau hanya membutuhkan doa dari kita yang masih hidup, terutama doa darimu, Rin.” aku terus membelai kepalanya memberi kekuatan. Aku harus mengurus administrasi jenazah Bu Endang. Jika Rini terus seperti ini aku tidak