Berlin mengaduk-aduk makanannya dengan pandangan kosong tanpa merasa berselera.Gadis itu masih memikirkan permintaan Devan yang mengajak dirinya pergi ke Jerman."Untuk apa dia mengajakku ke Jerman? Memangnya apa hal yang bisa kulakukan untuknya?" gumam Berlin bingung bagaimana ia harus memberikan jawaban yang tepat bagi Devan untuk menolak ajakan pria itu."Apa yang harus kukatakan padanya?" rengek Berlin frustasi.Brak!Pintu kamar Berlin tiba-tiba terbuka, dan muncullah Devan dari balik pintu. Pria itu menghampiri Berlin dengan semangat untuk menagih jawaban dari sugar baby-nya itu."Berlin, bagaimana dengan tawaranku—""M-maaf! Aku harus ke toilet!" Berlin langsung berlari menuju toilet dengan panik tanpa membiarkan Devan menyelesaikan kalimatnya.Gadis itu mengunci toilet rapat-rapat dan sengaja berdiam diri di dalam sana selama mungkin untuk menghindar dari Devan."Apa yang harus kukatakan padanya? Apa sebaiknya aku bilang saja pada Devan kalau aku sudah tidak ingin menjadi sug
"Aku ingin pernikahanku dan Devan dipercepat!" ujar Sheena pada ibunya, Nyonya Firda."Untuk apa terburu-buru, Sayang? Tuan Wildan bilang, Devan akan kembali ke Jerman untuk sementara waktu. Kita tunggu saja sampai Devan kembali," tukas Nyonya Firda."Justru karena Devan akan kembali ke Jerman, aku harus menikah dengan Devan sebelum Devan kembali ke Jerman!" pinta Sheena."Devan akan berangkat dalam minggu ini, Sheena. Mana bisa kita mengatur—""Setidaknya daftarkan dulu pernikahanku dengan Devan! Aku bisa mengurus pesta pernikahan di Jerman nanti," potong Sheena.Nyonya Firda menggelengkan kepala pelan begitu mendengar permintaan putrinya yang memaksa untuk segera dinikahkan dengan Devan."Tunggu saja nanti saat waktunya sudah tiba, Sheena. Kau tidak perlu tergesa-gesa—""Bagaimana kalau Devan tidak kembali lagi? Sampai kapan aku harus menunggu? Bagaimana kalau Devan menemukan gadis lain di Jerman?" cetus Sheena mulai tak tenang setelah melihat tunangannya berpelukan dengan gadis lai
"Berlin!" Devan segera berlari menangkap Berlin, sebelum gadis itu melarikan diri dari kejarannya."Jangan harap kau bisa melarikan diri lagi!" sentak Devan sembari menarik tangan Berlin."A-aku tidak melarikan diri—"Devan langsung membungkam mulut Berlin dengan kecupan ganas untuk menghentikan ocehan gadis itu.Pria itu meraup bibir merah Berlin dengan ciuman yang menuntut dan menyesakkan nafas. Devan menyesap bibir lembut gadis itu makin dalam dan menyelami kenikmatan sesapan madu bersama Berlin di kamar tempat Berlin dirawat."J-jangan di sini!" protes Berlin sembari menatap pintu kamarnya yang tidak tertutup rapat.Bukannya mendengarkan permintaan Berlin, Devan justru semakin terbakar gairah karena sudah beberapa hari tak menjamah tubuh Berlin.Pria itu menarik pakaian Berlin dengan kasar dan tak mempedulikan banyaknya perban luka yang masih menempel di tubuh gadis itu.Suara lenguhan dan desahan pun mulai memenuhi ruangan pasien tersebut. Devan dengan santainya "menancapkan bende
Cklek!Siang hari, Nyonya Firda datang berkunjung ke ruangan calon menantunya yang masih mendapatkan perawatan di rumah sakit. Namun sayangnya, wanita paruh baya itu tak menemukan seorang pun di dalam ruangan Devan."Kenapa sepi? Bukankah Devan masih dirawat di sini?" gumam Nyonya Firda.Wanita paruh baya itu merogoh ponsel di tas kecilnya untuk menghubungi ibu dari Devan, Nyonya Sella. Namun, karena terlalu fokus mengulik ke dalam isi tas, wanita paruh baya itu pun tanpa sengaja menabrak seorang gadis yang tengah berjalan di lorong rumah sakit.Bruk!Bingkisan buah yang dibawa oleh Nyonya Firda pun terlepas dari genggaman tangannya meluncur bebas ke lantai."M-maaf, Nyonya! Saya tidak sengaja," ucap seorang gadis yang tak lain ialah Berlin.Berlin segera memunguti bingkisan buah milik Nyonya Firda, kemudian menyerahkan wadah buah itu pada sang pemilik."Terima kasih banyak. Bibi yang salah karena terlalu sibuk melihat tas. Kau tidak apa-apa, kan?" tanya Nyonya Firda merasa tak enak h
"Kau kenapa?" tanya Devan begitu melihat wajah Berlin yang terlihat pucat selama perjalanan menuju bandara."Hm? Tidak apa-apa," jawab Berlin lirih."Kau sakit? Tidak enak badan? Ada luka yang terbuka lagi?" cecar Devan sembari meraba-raba perban luka di tubuh Berlin."Tidak ada. Aku baik-baik saja," tukas Berlin."Baik-baik saja apanya? Bibirmu pucat," cetus Devan."Aku ... seperti ingin mun—"Belum sempat Berlin menuntaskan kalimatnya, gadis itu tiba-tiba memuntahkan isi perutnya tepat di celana Devan.Pria itu benar-benar terkejut saat melihat kakinya yang sudah kotor karena muntahan Berlin."BERHENTI!" pekik Devan pada supir yang mengemudikan mobilnya."M-maaf, Tuan. Aku ... aku takut naik pesawat," rengek Berlin pada Devan."Apa kau bilang?" tanya Devan dengan dahi berkerut."Aku sangat gugup sampai aku tidak tahan ingin memuntahkan isi perutku. Maafkan aku. Aku akan bersihkan," ujar Berlin dengan air mata berlinang."Jangan sentuh! Bersihkan dirimu di toilet sana! Cari toilet um
"Hei! Bangun!" Devan memenceti hidung Berlin dan mengguncang-guncangkan bahu mungil gadis itu."Berlin! Kau tidak mati, kan? Cepat bangun sebelum aku menggelindingkanmu dari pesawat!" omel Devan sembari menepuk-nepuk pipi gadis cantik yang tertidur lelap disampingnya itu.Setelah tertidur pulas selama belasan jam, Berlin pun terbangun dari istirahat panjangnya akibat obat tidur yang diberikan oleh Devan."Hoam!" Gadis itu menguap lebar-lebar dan hampir saja menyedot nyamuk masuk ke dalam mulutnya."Kita sudah sampai," ujar Devan, kemudian menarik tangan Berlin untuk bangkit dari bangku."Kita berada di mana sekarang?" tanya Berlin linglung."Berlin,""Hm?""Kita ada di Kota Berlin sekarang," ungkap Devan."Benarkah? Aku ... berada di luar negeri sekarang?" pekik Berlin tak percaya. Gadis itu segera berlarian keluar dari pesawat, diikuti oleh Devan yang mengekor di belakang Berlin seraya menenteng tas kecil yang berisi barang-barang Berlin."Aku pergi keluar negeri?" gumam Berlin masi
"Sial! Sepertinya aku terlambat!" gerutu Vernon begitu masuk ke dalam ruangan Berlin dan mendapati ruangan itu sudah kosong.Vernon mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan dan mendapati tas kecil yang masih tergeletak di dalam ruangan Berlin. Pria itu meraih tas kecil lama milik Berlin dan memeriksa isi wadah tersebut.Hanya tersisa dompet yang sudah kosong di dalamnya, serta beberapa foto yang tersimpan di sana. Foto tersebut tak lain ialah lembar foto yang diambil oleh Berlin dari panti asuhan. Berlin masih menyimpan rapi foto kecil Berlin serta foto masa kecil Devan yang sempat diambil oleh gadis itu dari kamar Bu Wanda.Vernon juga menemukan syal kecil yang tersimpan rapi di atas meja di ruangan pasien yang ditempati oleh Berlin sebelumnya."Berlin benar-benar dibawa oleh Bos ke Jerman?" guman Vernon tak menyangka jika Devan akan kabur ke Jerman dan membawa Berlin ikut serta.Devan bahkan tidak berpamitan pada kedua orang tuanya, dan pergi begitu saja dari rumah sakit tanpa iz
"Kenapa kau belum juga bersiap?" omel Devan saat melihat Berlin belum juga berganti pakaian."Bersiap kemana?""Bersiap untuk makan tentunya! Aku sudah menyuruhmu untuk menggunakan lingerie yang aku belikan untukmu, kan?" sungut Devan sembari mencubit gemas pipi Berlin."Hanya untuk makan saja, untuk apa mengenakan lingerie?" protes Berlin."Kau berani membantahku sekarang? Apa ini sikap sugar baby pada daddy-nya yang sudah menghabiskan banyak uang?""Sudah kubilang jangan panggil aku sugar baby!" pekik Berlin kencang hingga membuat telinga Devan berdengung.Wajah Berlin mulai memerah menahan amarah dan manik matanya melotot ke arah Devan."K-kenapa kau melihatku dengan tatapan seperti itu?" tukas Devan merasa merinding mendapatkan tatapan tajam dari Berlin."Cepat ganti bajumu! Aku sudah kelaparan!" omel Devan sembari mendorong Berlin kembali ke kamar.Akhirnya gadis itu pun menuruti kemauan Devan dan muncul dengan mengenakan lingerie terbuka pilihan Devan."Dasar mesum!" gerutu Berl