Pria itu sudah habis kesabaran melihat sang anak berjoget-joget di hadapannya bersama kawan-kawannya. Abrina sendiri lekas berhenti. Begitu juga dengan kedua temannya Haris. Haris bangun dan segera mendekati Abrina. "Cukup buat papah malu, Bina!" ujarnya dengan suara yang bergetar. Rasa marah dan sedih bermuara di dalam hatinya saat ini. "Hah?" Kedua teman Haris saling berpandangan karena heran. Begitu juga dengan Ira yang hanya bisa melongo bingung. "Beneran dia anak kamu?" cecar si kacamata tidak percaya. Haris mengabaikan pertanyaan temannya. Matanya terus memindai sang putri. "Ayo kita balik sekarang!" ajaknya lekas menarik lengan Abrina. "Tolong lepaskan tangan saya," pinta Abrina dengan tatapan datar. Bukannya melepas pegangan, Haris justru mencengkeram lengan Abrina. "Kamu menolak pemberian uang dari papah dan memilih pekerjaan hina seperti ini?" tanyanya dengan dada yang turun naik menahan gejolak emosi. "Maaf, ini pekerjaan halal. Anda tidak bisa merendahkan sesuka hat
Abrina melangkah menjauhi Haris dan Pak manajer. Gadis itu terburu menuju ruang ganti. Dibukanya loker tempat dia menyimpan barang-barang. Tanpa berpikir panjang, Abrina mengganti pakaian dinasnya dengan baju sopan yang ia bawa. "Lho, Bi, kamu mau ke mana?" tanya Ira begitu Abrina ke luar dari fitting room. Abrina hanya menggeleng. Gadis itu kembali membuka lokernya. Sedangkan Ira bergerak mendekati. "Bener tadi Om Haris itu Papahnya kamu?" tanya Ira cukup selidik. "Bukan," sahut Abrina usai mengunci pintu loker. "Kamu jangan bohong, Bi," ujar Ira ingin tahu. Abrina tidak menyahut. Gadis itu memilih pergi. "Kamu mau ke mana?" teriak Ira mengulang pertanyaan. Di depan pintu Abrina berhenti. "Bilangin ke Pak manajer aku pulang.""Tapi, Bi ...." Ira tidak meneruskan kata-katanya karena Abrina terburu meraih gagang pintu. Dirinya terus menderapkan langkah. Beberapa sapaan dari pelayan atau temannya hanya ia tanggapi dengan anggukan. Abrina terus melangkah hingga tiba di luar But
Sekali lagi Abrina dibuat terpana mendengarnya. "Kenapa Kak Gibran baik banget sama aku?" tanyanya begitu sang manajer berlalu. Gibran tersenyum. "Karena aku gak punya adik perempuan," jawabnya kalem. Seketika bunga-bunga yang beberapa menit lalu bermekaran di hati Abrina kembali kuncup. Namun, gadis itu berusaha mengabaikan perasaan kacaunya. Apalagi Gibran begitu perhatian padanya. Usai makan malam, pemuda itu mengajaknya bermain di Timezone. Abrina yang sudah lama tidak bermain tentu saja langsung setuju. Gadis itu begitu menikmati permainan. Beberapa kali dia dibuat cemberut tatkala Gibran berhasil mengalahkannya. "Gimana udah gak sedih lagi?" tanya Gibran begitu mereka selesai bertanding bola keranjang. Abrina mengangguk cepat. Tangannya mengibas-ibaskan tangan. Banyak bermain membuatnya gerah dan sedikit berkeringat. Gibran sendiri lekas merogoh kantong celananya. "Buat kamu," tuturnya seraya menyodorkan selembar sapu tangan berwarna krem. Sebagai seorang gadis lagi-lagi
Gavin dan Gibran baru saja sampai di tanah air kemarin malam. Satu hari beristirahat dirinya memutuskan untuk berangkat ke sekolah. Terlebih sudah mau dua minggu dirinya absen. Itu dikarenakan ibu dan adiknya yang beda ayah mengalami kecelakaan di Singapura. Keadaan keduanya cukup parah. Ibunya bahkan harus menjalani operasi. Karena mengalami trauma yang parah pada tulang belakangnya. Sehingga untuk saat ini ibunya Gavin belum bisa berjalan lagi. Itulah sebab Gibran dan Gavin tertahan lama di Singapura. Sebenarnya baik Gibran maupun Gavin sudah ingin pulang dari seminggu di sana. Gibran dengan segudang pekerjaan, sedangkan Gavin yang sangat merindukan teman-temannya. Terutama dia kangen ingin menjahili Abrina. Pagi ini Gavin bangun pagi. Dia sedang bersiap berangkat ke sekolah. Semenjak neneknya meninggal Gavin hanya hidup berdua saja dengan Gibran. Sayangnya sang kakak memutuskan untuk tinggal di apartemen yang letaknya dekat dengan kantornya. Saat ini Gavin hanya tinggal berdua
"Cukup!"Abrina dan Si kumis menoleh. Gavin menatap si kumis dengan emosi. Tanpa berpikir panjang dia langsung mengarahkan tinjuannya pada wajah pria tersebut. Mendapatkan dua tonjokan pada hidung dan mulut, bibir si kumis pecah mengeluarkan darah. Belum puas dengan tonjokannya, Gavin menendang perut si kumis. Cukup keras sehingga pria tersebut harus tersungkur karenanya. Gavin justru kembali melancarkan serangan. Dia menendang perut gendut laki-laki tersebut. Sehingga si kumis mesti mengerang merasakan sakit. Sementara beberapa pelayan yang melihat lekas turun untuk memanggil Pak manajer. "Jangan lagi lo gangguin ceweknya gue!" sentak Gavin seraya menarik lengan Abrina ke belakang tubuhnya. Pemuda itu kembali mendaratkan tendangan pada kaki si kumis. Setelah itu langsung menyeret Abrina pergi. Keduanya menuruni anak tangga dengan langkah yang cukup cepat. "Bina, ngapain lu ada di sini?" tanya Gavin begitu mereka ada di lantai bawah. "Ini ngapain juga pake celana sependek ini, k
"Pelayan pribadi?" Mata Abrina menyipit bingung, "maksudnya gimana?""Ya pelayan, masa gak ngerti sih?" sahut Gavin memandang Abrina dengan heran."Pembantu maksudnya?" tanya Abrina memperjelas."He-eh," sahut Gavin kembali menyumpit bakminya."Tapi kan aku sekolah, Vin," ujar Abrina terlihat tidak setuju."Lha waktu elu kerja jadi PL, masih menjadi siswa juga kan?"Abrina mendengkus. "Oke, berarti jam kerja aku mulai pulang sekolah sampai maghrib, ya?""Cepat amat tiga jam doang. Kerja paruh waktu itu nyampe empat jam," tukas Gavin cepat, "Isya baru lu boleh pulang," putusnya segera."Minggu libur kan?"Gavin terdiam."Terus nyampe kapan aku jadi pelayan kamu?" tanya Abrina lagi."Sampai kita lulus SMA," jawab Gavin enteng."Apahhh?" Abrina yang tengah menyumpit bakminya sedikit tersedak, "lama banget, Vin?" protesnya langsung."Terus mau lu sebulan?""Ya kalo sampai kita tamat itu lama banget, Vin. Satu setengah tahun sendiri."Gavin mencondongkan badannya. Sehingga jarak wajahnya d
Abrina hanya mencebik tanpa mau menyahut. Melihat itu Gavin balik badan untuk bersiap berkendara. Namun, dalam hati rasa bahagia merasuk jiwa melihat ekspresi Abrina.Sungguh baginya ini adalah harinya yang paling indah. Gavin tidak pernah membayangkan jika Abrina yang selalu cuek akan menjadi pelayan pribadinya.Lima belas menit berkendara tibalah Abrina di sebuah hunian asri yang tidak begitu besar. Seorang perempuan tua menyambut kedatangannya. Gavin pun mengenalkan perempuan itu pada Abrina."Ini buat Mbok Yul," ujar Abrina seraya mengulurkan tas kertas berisi blouse yang Gavin berikan. Serta plastik berisi bakmi dan jus alpukat. "Wahhh terima kasih banyak, Non," ucap Mbok Yul bahagia."Oh iya Mbok, Abrina ini yang akan menggantikan tugas selama Mbok pergi cuti," kata Gavin sambil merangkul Mbok Yul."Cuti?" Dahi Mbok Yul berkerut, "sapa yang--""Mbok udah lama gak nengok cucunya kan," tukas Gavin seraya menepuk-nepuk lengan atas Mbok Yul."Oh iya," sahut Mbok Yul begitu paham ar
"Kak Gibran?" Abrina langsung mendepak tubuh Gavin. Tanpa menunggu lagi dia bergegas bangkit dari kasur empuk tersebut. Lalu segera menjauhi ranjangnya Gavin. Sementara harus menelan ludahnya melihat penolakan Abrina. Pemuda itu memang sengaja iseng tadi. "Ngapain Bang pagi-pagi datang ke sini?" tegur Gavin ikutan bangkit. Hanya saja dia tidak beranjak dari peraduannya."Kenapa memangnya?" Gibran balik tanya sembari melangkah mendekat. Pemuda itu berdiri persis di samping Abrina. "Ya kan Abang punya rumah sendiri," sahut Gavin bete. "Ini rumahnya nenek yang diwariskan ke papah. Dan anaknya papah bukan cuma kamu saja," tutur Gibran tenang. Kali ini Gavin memilih untuk diam dan memalingkan muka. "Lagian ini tuh bukan pagi lagi, Vin. Udah mau jam sepuluh siang.""Ck!" Gavin langsung berdecak, "ya terus masalahnya apa?""Bangun siang kamu tanya kenapa?" Kali ini Gibran menatap adiknya dengan lekat, "kamu gak bisa terus-terusan seperti ini, Vin.""Gue harus ngapain, Bang?" sahut Ga