"Cukup!"Abrina dan Si kumis menoleh. Gavin menatap si kumis dengan emosi. Tanpa berpikir panjang dia langsung mengarahkan tinjuannya pada wajah pria tersebut. Mendapatkan dua tonjokan pada hidung dan mulut, bibir si kumis pecah mengeluarkan darah. Belum puas dengan tonjokannya, Gavin menendang perut si kumis. Cukup keras sehingga pria tersebut harus tersungkur karenanya. Gavin justru kembali melancarkan serangan. Dia menendang perut gendut laki-laki tersebut. Sehingga si kumis mesti mengerang merasakan sakit. Sementara beberapa pelayan yang melihat lekas turun untuk memanggil Pak manajer. "Jangan lagi lo gangguin ceweknya gue!" sentak Gavin seraya menarik lengan Abrina ke belakang tubuhnya. Pemuda itu kembali mendaratkan tendangan pada kaki si kumis. Setelah itu langsung menyeret Abrina pergi. Keduanya menuruni anak tangga dengan langkah yang cukup cepat. "Bina, ngapain lu ada di sini?" tanya Gavin begitu mereka ada di lantai bawah. "Ini ngapain juga pake celana sependek ini, k
"Pelayan pribadi?" Mata Abrina menyipit bingung, "maksudnya gimana?""Ya pelayan, masa gak ngerti sih?" sahut Gavin memandang Abrina dengan heran."Pembantu maksudnya?" tanya Abrina memperjelas."He-eh," sahut Gavin kembali menyumpit bakminya."Tapi kan aku sekolah, Vin," ujar Abrina terlihat tidak setuju."Lha waktu elu kerja jadi PL, masih menjadi siswa juga kan?"Abrina mendengkus. "Oke, berarti jam kerja aku mulai pulang sekolah sampai maghrib, ya?""Cepat amat tiga jam doang. Kerja paruh waktu itu nyampe empat jam," tukas Gavin cepat, "Isya baru lu boleh pulang," putusnya segera."Minggu libur kan?"Gavin terdiam."Terus nyampe kapan aku jadi pelayan kamu?" tanya Abrina lagi."Sampai kita lulus SMA," jawab Gavin enteng."Apahhh?" Abrina yang tengah menyumpit bakminya sedikit tersedak, "lama banget, Vin?" protesnya langsung."Terus mau lu sebulan?""Ya kalo sampai kita tamat itu lama banget, Vin. Satu setengah tahun sendiri."Gavin mencondongkan badannya. Sehingga jarak wajahnya d
Abrina hanya mencebik tanpa mau menyahut. Melihat itu Gavin balik badan untuk bersiap berkendara. Namun, dalam hati rasa bahagia merasuk jiwa melihat ekspresi Abrina.Sungguh baginya ini adalah harinya yang paling indah. Gavin tidak pernah membayangkan jika Abrina yang selalu cuek akan menjadi pelayan pribadinya.Lima belas menit berkendara tibalah Abrina di sebuah hunian asri yang tidak begitu besar. Seorang perempuan tua menyambut kedatangannya. Gavin pun mengenalkan perempuan itu pada Abrina."Ini buat Mbok Yul," ujar Abrina seraya mengulurkan tas kertas berisi blouse yang Gavin berikan. Serta plastik berisi bakmi dan jus alpukat. "Wahhh terima kasih banyak, Non," ucap Mbok Yul bahagia."Oh iya Mbok, Abrina ini yang akan menggantikan tugas selama Mbok pergi cuti," kata Gavin sambil merangkul Mbok Yul."Cuti?" Dahi Mbok Yul berkerut, "sapa yang--""Mbok udah lama gak nengok cucunya kan," tukas Gavin seraya menepuk-nepuk lengan atas Mbok Yul."Oh iya," sahut Mbok Yul begitu paham ar
"Kak Gibran?" Abrina langsung mendepak tubuh Gavin. Tanpa menunggu lagi dia bergegas bangkit dari kasur empuk tersebut. Lalu segera menjauhi ranjangnya Gavin. Sementara harus menelan ludahnya melihat penolakan Abrina. Pemuda itu memang sengaja iseng tadi. "Ngapain Bang pagi-pagi datang ke sini?" tegur Gavin ikutan bangkit. Hanya saja dia tidak beranjak dari peraduannya."Kenapa memangnya?" Gibran balik tanya sembari melangkah mendekat. Pemuda itu berdiri persis di samping Abrina. "Ya kan Abang punya rumah sendiri," sahut Gavin bete. "Ini rumahnya nenek yang diwariskan ke papah. Dan anaknya papah bukan cuma kamu saja," tutur Gibran tenang. Kali ini Gavin memilih untuk diam dan memalingkan muka. "Lagian ini tuh bukan pagi lagi, Vin. Udah mau jam sepuluh siang.""Ck!" Gavin langsung berdecak, "ya terus masalahnya apa?""Bangun siang kamu tanya kenapa?" Kali ini Gibran menatap adiknya dengan lekat, "kamu gak bisa terus-terusan seperti ini, Vin.""Gue harus ngapain, Bang?" sahut Ga
Gibran meraih gelas dan teko yang tersedia. Dia mengisi gelas tersebut dengan air dalam teko. Di seberangnya Gavin memandang dengan gemas. "Nanti malam Papah ngundang kita makan di Sensi," jawab Gibran sembari bangkit. "Males." Hanya itu reaksi dari Gavin. "Ini tentang ulang tahunnya Ganika," jelas Gibran seraya menyebut nama adiknya dari istri baru sang ayah. Sedangkan dari ibunya Gavin dan Gibran mendapatkan adik laki-laki. "Jam tujuh jangan lupa."Usai berpesan demikian Gibran melemparkan senyum simpul untuk Abrina. Kode salam pamit. Setelah mendapat balasan anggukan dari Abrina, pemuda itu pun beranjak ke luar rumah. Selang beberapa menit, terdengar bunyi mesin mobil pergi. "Gimana, Vin? Mau aku buatin indomie?" tawar Abrina pengertian. Gadis itu yakin pastinya Gavin sudah kelaparan. "Semalam juga habis makan mie, bosen gue," tolak Gavin tanpa semangat. "Ya terus mau dimasakin apa?""Makan di luar aja yuk?" Paras bete Gavin sudah berubah semringah. "Tapi kan aku udah makan.
Abrina terus memandang Leon. Pemuda itu masih mengobrol dengan si kumis. Keduanya terus melangkah hingga akhirnya mereka ber-high five dan berpisah. Leon tampak menuju sebuah sebuah toko, sedangkan si kumis ke arah lobi mall. "Ngeliatin siapa sih lu?" Teguran dari Gavin membuat Abrina terkaget. Terlebih pemuda itu menepuk pundaknya cukup kencang. "Bisa pelan gak sih kalo mau nepuk orang," omel Abrina tidak senang. "Ya habisnya lu ngeliatin orang kayak segitu seriusnya," timpal Gavin merasa tidak bersalah. "Itu Vin, aku habis ngelihat Si Leon lagi ngobrol sama Mas-Mas kumis yang kurang ajar kemarin itu," jelas Abrina kemudian. "Mas kumis siapa?" tanya Gavin dengan kening yang berkerut. "Itu lho yang kemarin kamu tonjok di Butter Karaoke.""Mana?" Wajah Gavin berubah serius. Matanya lekas menyapu sekeliling, mencari keberadaan pria yang Abrina maksud. "Udah pergi.""Kenapa gak ngomong dari tadi?" protes Gavin malah menyalahkan, "tahu gitu kan bisa gue hajar tadi.""Lha kamu sibu
Abrina menjerit kaget saat menyaksikan penampakan hantu di layar. Ketakutan membuatnya terpaksa menyembunyikan wajah di belakang punggungnya Gavin. Begitu terus sampai film selesai. Di sini tentu Gavin yang diuntungkan. Pemuda itu mendapatkan pelukan gratis dari Abrina. Namun, akhirnya dia merasa tidak enak hati karena Abrina keluar dari bioskop dengan berderai air mata. "Sudah aku bilang aku gak suka nonton film horor, tapi kamu ngenyel," rengek Abrina sembari melangkah, "aku tuh penakut. Pasti gak bisa tidur entar malem karna kebayang-bayang terus sama hantunya," isaknya sembari mengelap kedua matanya yang basah. "Ya udah nanti malam gue temani elu tidur," tawar Gavin serius. "Gavin!" Mata Abrina membulat. Gavin tersentak. "Oh iya lupa, maaf," ucapnya jujur. "Ya udah gue anterin elu pulang yuk! Hari ini kerja lu udah selesai," putusnya merasa kasihan. Abrina mengangguk lemah. Namun, dalam hati dia bersorak. Gadis itu merasa menang telah memperdaya Gavin. "Aku memang gak suka
Gavin terus menderapkan langkah. Meski dia mendengar teriakan Gibran, dirinya sama sekali tidak mau menoleh.Hingga tanpa sadar dia sudah keluar dari halaman mall.Kaki Gavin terus terayun. Namun, otak pemuda masih belum terancana kemana sebenarnya arah tujuannya. Pokoknya dia hanya mengikuti arah kaki. Hingga akhirnya pemuda itu menjumpai beberapa tukang ojek yang sedang mangkal."Bang, ke jalan Pondok Labu, ya," kata Gavin pada seorang tukang ojek dengan jaket berwarna hitam."Jalan apa?" Tukang ojek tersebut langsung menyerahkan helm pada Gavin."Jalan Anggrek nomor lima." Gavin dengan lancarnya menyebut alamat Abrina. Padahal dia baru sekali bertandang ke rumah gadis itu siang tadi."Seratus ribu."Pak ojek menyebutkan ongkosnya usai menilik pakaian Gavin. Malam itu Gavin terlihat cukup tampan dengan balutan blazer dan celana slim fit berwarna putih. Sedangkan dalamnya ia mengenakan kaos hitam ketat. Vibesnya terlihat seperti tuan muda."Iya," sahut Gavin tak masalah. Meski dia ta