Gibran meraih gelas dan teko yang tersedia. Dia mengisi gelas tersebut dengan air dalam teko. Di seberangnya Gavin memandang dengan gemas. "Nanti malam Papah ngundang kita makan di Sensi," jawab Gibran sembari bangkit. "Males." Hanya itu reaksi dari Gavin. "Ini tentang ulang tahunnya Ganika," jelas Gibran seraya menyebut nama adiknya dari istri baru sang ayah. Sedangkan dari ibunya Gavin dan Gibran mendapatkan adik laki-laki. "Jam tujuh jangan lupa."Usai berpesan demikian Gibran melemparkan senyum simpul untuk Abrina. Kode salam pamit. Setelah mendapat balasan anggukan dari Abrina, pemuda itu pun beranjak ke luar rumah. Selang beberapa menit, terdengar bunyi mesin mobil pergi. "Gimana, Vin? Mau aku buatin indomie?" tawar Abrina pengertian. Gadis itu yakin pastinya Gavin sudah kelaparan. "Semalam juga habis makan mie, bosen gue," tolak Gavin tanpa semangat. "Ya terus mau dimasakin apa?""Makan di luar aja yuk?" Paras bete Gavin sudah berubah semringah. "Tapi kan aku udah makan.
Abrina terus memandang Leon. Pemuda itu masih mengobrol dengan si kumis. Keduanya terus melangkah hingga akhirnya mereka ber-high five dan berpisah. Leon tampak menuju sebuah sebuah toko, sedangkan si kumis ke arah lobi mall. "Ngeliatin siapa sih lu?" Teguran dari Gavin membuat Abrina terkaget. Terlebih pemuda itu menepuk pundaknya cukup kencang. "Bisa pelan gak sih kalo mau nepuk orang," omel Abrina tidak senang. "Ya habisnya lu ngeliatin orang kayak segitu seriusnya," timpal Gavin merasa tidak bersalah. "Itu Vin, aku habis ngelihat Si Leon lagi ngobrol sama Mas-Mas kumis yang kurang ajar kemarin itu," jelas Abrina kemudian. "Mas kumis siapa?" tanya Gavin dengan kening yang berkerut. "Itu lho yang kemarin kamu tonjok di Butter Karaoke.""Mana?" Wajah Gavin berubah serius. Matanya lekas menyapu sekeliling, mencari keberadaan pria yang Abrina maksud. "Udah pergi.""Kenapa gak ngomong dari tadi?" protes Gavin malah menyalahkan, "tahu gitu kan bisa gue hajar tadi.""Lha kamu sibu
Abrina menjerit kaget saat menyaksikan penampakan hantu di layar. Ketakutan membuatnya terpaksa menyembunyikan wajah di belakang punggungnya Gavin. Begitu terus sampai film selesai. Di sini tentu Gavin yang diuntungkan. Pemuda itu mendapatkan pelukan gratis dari Abrina. Namun, akhirnya dia merasa tidak enak hati karena Abrina keluar dari bioskop dengan berderai air mata. "Sudah aku bilang aku gak suka nonton film horor, tapi kamu ngenyel," rengek Abrina sembari melangkah, "aku tuh penakut. Pasti gak bisa tidur entar malem karna kebayang-bayang terus sama hantunya," isaknya sembari mengelap kedua matanya yang basah. "Ya udah nanti malam gue temani elu tidur," tawar Gavin serius. "Gavin!" Mata Abrina membulat. Gavin tersentak. "Oh iya lupa, maaf," ucapnya jujur. "Ya udah gue anterin elu pulang yuk! Hari ini kerja lu udah selesai," putusnya merasa kasihan. Abrina mengangguk lemah. Namun, dalam hati dia bersorak. Gadis itu merasa menang telah memperdaya Gavin. "Aku memang gak suka
Gavin terus menderapkan langkah. Meski dia mendengar teriakan Gibran, dirinya sama sekali tidak mau menoleh.Hingga tanpa sadar dia sudah keluar dari halaman mall.Kaki Gavin terus terayun. Namun, otak pemuda masih belum terancana kemana sebenarnya arah tujuannya. Pokoknya dia hanya mengikuti arah kaki. Hingga akhirnya pemuda itu menjumpai beberapa tukang ojek yang sedang mangkal."Bang, ke jalan Pondok Labu, ya," kata Gavin pada seorang tukang ojek dengan jaket berwarna hitam."Jalan apa?" Tukang ojek tersebut langsung menyerahkan helm pada Gavin."Jalan Anggrek nomor lima." Gavin dengan lancarnya menyebut alamat Abrina. Padahal dia baru sekali bertandang ke rumah gadis itu siang tadi."Seratus ribu."Pak ojek menyebutkan ongkosnya usai menilik pakaian Gavin. Malam itu Gavin terlihat cukup tampan dengan balutan blazer dan celana slim fit berwarna putih. Sedangkan dalamnya ia mengenakan kaos hitam ketat. Vibesnya terlihat seperti tuan muda."Iya," sahut Gavin tak masalah. Meski dia ta
"Udah malam banget dan masih hujan, Gavin menginap saja di sini," tawar Miranti sembari membersihkan sisa-sisa bahan di dapur."Mama!" Abrina cukup terkaget mendengarnya, "kamar kita cuma ada dua lho," tuturnya mengingatkan."Kamu kan bisa tidur bareng mamah, biar kamar kamu dipakai Gavin dulu," saran Miranti seraya mencuci tangannya di kran cucian piring.Hati Gavin berbunga mendengarnya. Pemuda itu mendekati Abrina. "Mamahmu lebih berperi kemanusiaan daripada kamu."Abrina sontak mendelik saat Gavin membisikkan kalimat tersebut. Namun, dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Karena kenyataannya air langit masih awet menyirami bumi. Akhirnya Abrina hanya bisa mengantarkan Gavin ke kamar pribadinya."Awas lho kalo sampai barang-barang pribadi aku," pesan Abrina dengan tatapan cuek."Untuk sekarang ini adalah kamar gue," balas Gavin cuek.Abrina melayangkan tatapan sengit. Gadis itu lantas membuka lemari untuk mengambil seragam sekolahnya.Gavin sendiri dengan santainya mendorong Abrina hi
Leon pun berpamitan pada kawan-kawannya. Dirinya meninggalkan kafe tempat nongkrongnya sambil menenteng kado Gavin untuk Abrina. Otaknya terus berpikir bagaimana caranya mempermalukan Abrina di pesta nanti. "Kalo kek gini-gini Mbak Lusi yang jago nyari ide," gumam Leon sambil menuruni undakan di depan kafe. Pemuda itu menuju motor CBR-nya yang sudah ke luar dari bengkel. Meski beberapa berulang kali meminta dibelikan mobil, tapi Lusi belum juga mewujudkannya. Karena saat ini Haris cukup teliti dan perhitungan dalam hal keuangan. Leon memasang helm. Tanpa berpikir panjang dirinya langsung tancap gas. Meski pernah celaka, tapi dia tidak kapok untuk mengebut. Waktu pulang kerja membuat kendaraan padat di jalanan dan macet. Beruntung hal tersebut tidak berlaku pada pengendara motor. Karena Leon dengan mudahnya menyalipkan motornya di antara ratusan kendaraan roda empat. Dari macetnya jalan Leon hanya telat sepuluh menit dari waktu tempuh biasa. Pemuda itu buru-buru memarkirkan motorn
Di tempat lain Abrina juga tengah sibuk. Semenjak dibelikan iPhone, gadis itu jadi lebih mudah mempromosikan kue-kue buatan ibunya. Alhasil tiap hari banyak orderan yang masuk. Terlebih memang Miranti ahli membuat kue. Sama halnya Anggini, Abrina juga agak bingung saat kurir datang. Gadis itu berpikir jika ibunya yang tengah memesan barang. Saat kurir mengatakan jika itu kiriman dari Gavin, dirinya hanya bisa mengangguk. Namun, Abrina dibuat terpana melihat pakaian yang ditujukan padanya. "Maksudnya apa sih Gavin ngasih pakaian kurang bahan seperti ini?" dumel Abrina begitu melihat baju pantai berwarna kuning menyala dengan motif bunga-bunga. Lengkap pula dengan topinya. Mata gadis itu membaca kartu undangan yang ada. "Mah, masa Gavin nyuruh aku pakai baju beginian di ulang tahun adiknya," cerita Abrina pada ibunya yang juga sedang sibuk menulis bahan belanjaan. Miranti menatap baju yang dijembreng sang anak. Cukup seksi. "Mungkin dresscode-nya pakaian pantai, Bi," ujarnya berpiki
Malu, sedih, dan marah bercampur jadi satu. Abrina tidak kuasa mengangkat wajah. Dirinya lebih memilih untuk menyembunyikan parasnya yang masih penuh dengan krim pada dadanya Gibran. Gibran sendiri tidak mempermasalahkan jasnya menjadi kotor. Dia membiarkan Abrina nyaman menangis di dadanya. Sementara itu dirinya terus meninggalkan tempat pesta. Gibran menuju kamarnya. Pak Haris menyuruh kedua anaknya untuk bermalam saja di hotel yang ia sewa. Hal tersebut memudahkan Gibran untuk menolong Abrina. Tiba di depan pintu kamarnya, Gibran menurunkan Abrina dengan hati-hati. Pemuda itu menyuruh sang gadis untuk masuk. Abrina pun lekas mencari kamar mandi begitu masuk. Gadis itu harus membersihkan parasnya yang cemong karena krim kue. Di luar, Gibran bergegas mengambil ponselnya. Dia harus menghubung Mona. Istri kedua ayahnya. "Ya, Gibran, ada apa?" tanya Tante Mona lembut. Perempuan yang malam itu tampak lux dengan kalung mutiara pink tersebut memilih menepi agar bisa mendengar suara G