Di tempat lain Abrina juga tengah sibuk. Semenjak dibelikan iPhone, gadis itu jadi lebih mudah mempromosikan kue-kue buatan ibunya. Alhasil tiap hari banyak orderan yang masuk. Terlebih memang Miranti ahli membuat kue. Sama halnya Anggini, Abrina juga agak bingung saat kurir datang. Gadis itu berpikir jika ibunya yang tengah memesan barang. Saat kurir mengatakan jika itu kiriman dari Gavin, dirinya hanya bisa mengangguk. Namun, Abrina dibuat terpana melihat pakaian yang ditujukan padanya. "Maksudnya apa sih Gavin ngasih pakaian kurang bahan seperti ini?" dumel Abrina begitu melihat baju pantai berwarna kuning menyala dengan motif bunga-bunga. Lengkap pula dengan topinya. Mata gadis itu membaca kartu undangan yang ada. "Mah, masa Gavin nyuruh aku pakai baju beginian di ulang tahun adiknya," cerita Abrina pada ibunya yang juga sedang sibuk menulis bahan belanjaan. Miranti menatap baju yang dijembreng sang anak. Cukup seksi. "Mungkin dresscode-nya pakaian pantai, Bi," ujarnya berpiki
Malu, sedih, dan marah bercampur jadi satu. Abrina tidak kuasa mengangkat wajah. Dirinya lebih memilih untuk menyembunyikan parasnya yang masih penuh dengan krim pada dadanya Gibran. Gibran sendiri tidak mempermasalahkan jasnya menjadi kotor. Dia membiarkan Abrina nyaman menangis di dadanya. Sementara itu dirinya terus meninggalkan tempat pesta. Gibran menuju kamarnya. Pak Haris menyuruh kedua anaknya untuk bermalam saja di hotel yang ia sewa. Hal tersebut memudahkan Gibran untuk menolong Abrina. Tiba di depan pintu kamarnya, Gibran menurunkan Abrina dengan hati-hati. Pemuda itu menyuruh sang gadis untuk masuk. Abrina pun lekas mencari kamar mandi begitu masuk. Gadis itu harus membersihkan parasnya yang cemong karena krim kue. Di luar, Gibran bergegas mengambil ponselnya. Dia harus menghubung Mona. Istri kedua ayahnya. "Ya, Gibran, ada apa?" tanya Tante Mona lembut. Perempuan yang malam itu tampak lux dengan kalung mutiara pink tersebut memilih menepi agar bisa mendengar suara G
Tanpa menunggu waktu lagi pemuda itu lekas meninggalkan Kakak dan temannya. Mata segera mencari keberadaan Leon. Akhirnya setelah mencari ke sana sini Gavin mendapatkan Leon. Pemuda itu sedang ngobrol asyik dengan kedua kakaknya, Lusi dan Livia. "Gue ada perlu sama lu," ujar Gavin langsung menarik tangan Leon. "Eh!" Leon cukup terkaget tiba-tiba langsung ditarik tangannya oleh Gavin. "Mau ke mana sih, Vin?" protesnya seraya melepas cengkraman tangan Gavin pada lengannya. Gavin tidak membalas. Dia terus saja menyeret Leon ke luar dari ballroom. Pemuda itu membawa Leon ke tempat yang sedikit sepi dan mepet tembok. "Apa sih, Vin?" kata Leon saat Gavin menyentakan tangannya. "Lu mau coba main-main sama gue?" kejar Gavin dengan tatapan sengit. "Maksud lu apa sih?" Leon sebenarnya paham alasan Gavin marah, tapi berlagak polos. "Kenapa elu kirim Abrina baju pantai? Sedangkan baju dari gue lu kirim ke rumahnya Anggini? Kenapa hah?" cecar Gavin sembari menarik ujung bajunya Leon. "Kata
"Abrina, tolong jangan buat papah malu, Nak," mohon Haris dengan air mata yang berkaca-kaca."Iya, Abrina. Masa sama papahnya sendiri gak mau ngaku. Durhaka nanti lho," timpal MC berdasi kupu-kupu ikut membela Haris."Tapi, saya gak mengenal Bapak ini, Kak," balas Abrina dengan menaikan dagunya, "kalo benar dia papah saya, kenapa tadi pas saya kejatuhan kue dan diketawain semua orang dia diam saja? Kenapa justru orang lain yang menolong?"Haris menelan ludahnya mendengar nada menggebu dari pertanyaan Abrina.Sementara Abrina justru menatap Haris dengan tenang."Papah saya sudah meninggal sejak dua tahun yang lalu--""Abrina!" Kali ini Haris sampai menghardik mendengar pernyataan sang anak, "ingat nama kamu itu Abrina Harisanti Putri yang artinya kamu anak dari Haris dan Miranti. Asal kamu tahu saya yang memberikan nama itu karena saya adalah papahnya kamu," tuturnya sambil menunjuk dada sendiri.Para hadirin menyimak perdebatan antara ayah dan anak tersebut dengan serius. Kebanyakan d
"Makan, gue laper," balas Gavin tanpa menatap Abrina."Aduh, Vin, aku pengen balik nih," keluh Abrina tidak senang."Udah dibilang gue laper. Di pesta tadi belum makan, lu juga belum makan kan?" tebak Gavin sambil melirik, "dan inget gue itu bos lu. Jadi gak bisa lu nolak gue."Omongan andalan Gavin ampuh membungkam mulut Abrina. Gadis itu hanya bisa mendesah. Karena memang dirinya sudah sangat ingin pulang.Mobil Gavin berhenti di sebuah restoran. Ini kedua kalinya pemuda itu mengajak Abrina makan steik. Seperti biasa Gavin memilih daging kualitas satu."Kenapa cuma dilihatin doang? Ini mahal lho, Bi," tegur Gavin begitu melihat Abrina mendiami makanannya."Aku gak lapar," sahut Abrina datar.Gavin melanjutkan makannya. Dia hafal wataknya Abrina yang keras kepala. Makanya dirinya enggan jika harus memaksa gadis itu untuk makan."Lu marah sama gue?" tanya Gavin saat santapannya mulai tandas.Abrina tidak punya Gadis itu lebih suka memalingkan wajahnya ke arah lain."Jawab gue, Bina!"
"Sus, kenapa Al diam saja?" tanya Haris mulai heran.Matanya sesekali melirik sang putra yang berada di buaian suster. Namun, dirinya harus tetap fokus pada jalanan. Panik membuat Haris membawa mobil sendiri.Suster sendiri hanya menggeleng bingung. Perempuan muda itu mencoba menggoyang tubuh mungil Alsaki. Namun, bayi mungil empat bulan itu tetap diam.Haris yang panik langsung meletakkan telunjuknya di tepi hidungnya Alsaki. Bayi itu masih bernapas hanya saja lemah. Hal tersebut tentu membuat hati Haris tidak karuan.Pria itu menambah kecepatan mobilnya. Haris tidak mau hal buruk menimpa sang putra. Apapun akan dia lakukan untuk kesembuhan Alsaki. Termasuk mengebut di jalanan.Jalanan yang padat kendaraan membuat Haris harus pintar-pintar menyalip mobil-mobil di depannya. Ketika tengah membalap tiba-tiba dari arah berlawanan melintas sebuah truk yang cukup besar.Haris tentu kaget melihatnya. Namun, pria itu harus bertindak cepat jika ingin selamat. Akhirnya dia memilih untuk bantin
Ketika Bu dokter akan menjawab seorang perawat masuk. Gadis berseragam serba putih itu menyerahkan hasil foto rontgen pada Bu dokter. Bu Dokter sendiri justru memberikannya pada Haris begitu sang perawat berlalu."Kalo ditanya apakah itu sangat berbahaya, saya jawab cukup berbahaya," tutur Bu dokter kemudian, "karena jantung bocor ini Adik Al jadi susah bernapas, sering batuk, bibir lidah dan kuku jadi kebiruan, mudah lelah menyusu dan kurang berselera makan. Pastinya itu akan membuat Adik Al susah naik berat badannya dan pertumbuhannya akan terganggu."Haris diam untuk menyimak penuturan Bu dokter. "Lalu apa yang mesti dilakukan untuk menolong Alsaki?" tanyanya serius."Kami akan melakukan tindakan operasi Patching yaitu menambal katup jantung yang bocor dengan tambalan dari jaringan tubuh atau jaringan buatan."Haris mengangguk. "Lakukan apa saja yang terbaik untuk anak saya, Dok," pintanya kemudian.Bu dokter dengan name tag Nadia itu mengangguk. "Insya Allah kami semua akan melaku
"Mas, jangan begitu! Gak baik ngomong pisah," mohon Lusi langsung memasang wajah sedih. "Oke, aku mohon maaf kalo niat baik aku gak berkenan di hati kamu," ucapnya kemudian. Haris tidak menggubris. Pria berlalu meninggalkan Lusi. Arahnya tertuju pada meja makan. "Livia dan Leon gak pernah merayakan ulang tahun dari kecil, apa aku salah kalo mau buat acara untuk Livia?" tanya Lusi terus mengikuti langkah sang suami. Lagi-lagi Haris tidak menyahut. Pria itu lebih memilih untuk membuka tudung saji. Ada rawon, telur asin, dan sayur kacang panjang sebagai hidangan makan malam. "Mas, jangan diam saja, jawab dong!" seru Lusi sembari memegang lengannya Haris. "Bisa diam gak!" sentak Haris kesal. Matanya menatap Lusi dengan tajam. "Tahu gak kamu? Berjam-jam aku menahan lapar untuk mengurusi Al sendiri. Jadi tolong, jangan ganggu aku dulu," mohonnya serius. Kali ini Lusi menutup mulut. Wanita itu memperhatikan Haris yang mulai menyiduk nasi dan lauk. Sang suami perlahan mulai menyuap nasi