BAB 45Tari segera mengambil ponsel yang masih berada di dalam Tas. Tangannya sedikit gugup. Pikirannya tak karuan. Namun mencoba menata hati dan ucapan. Agar Pandu dan Bela tidak ikut panik jika mendengar dia menelpon dengan nada bicara tak beraturan.Tut ...Tut … Tut.Tari mencoba menghubungi Pandu namun tak ada jawaban. Kembali ia lakukan hingga akhirnya Pandu mengangkat telepon. Dengan tenang Tari meminta Pandu agar segera pulang ke rumah. Pandu pun dan Bela memutuskan kembali ke rumah. Setelah Tari memutuskan sambungan teleponnya.Niat hati memberi kejutan sirna sudahMaura lah yang berhasil membuat terkejut semua orang. Bukan hanya terkejut mungkin bisa langsung stroke kalau begitu caranya, licik.Tari berusaha menenangkan Anton. Suami yang memiliki riwayat jantung itu harus ekstra hati-hati dalam mengatur amarah. Pengakuan Maura kali ini mampu membuat semua orang bisa terkena serangan jantung bersamaan."Awas, kalau semua ini tidak benar, Maura! Tidak hanya kamu tapi kedua ora
BAB 46Bela yang eleganPlakAnton mendaratkan tangannya di pipi Pandu. Lelaki itu terdiam. Bingung dengan kemarahan Anton."Astagfirullahaladzim, Papah." Tari mencoba menarik lengan suaminya. Mencoba memberi jarak dengan Pandu. Tari mengerti akan kemarahan Anton. Namun tidak sepantasnya juga dia melukai Pandu di depan sang istri."Astagfirullahaladzim. Istighfar Pah. Kita bisa membicarakannya dengan kepala dingin. Tidak seperti ini, lebih baik kita duduk dulu! Kita bicarakan semuanya baik-baik." Bela membantu Pandu untuk duduk di sofa yang tak jauh dari mereka berdiri.Bela terlihat lebih tenang. Tangannya terus menggenggam tangan Pandu. Saling menguatkan. Terlebih saat Tari menceritakan semua kepada mereka. Maura dengan lihainya bersandiwara kembali. Menangis tergugu membuang-buang air mata palsu."Maura, benarkah itu anak suamiku? Apa kamu yakin?" Pertanyaan Bela mampu membuat Maura terkejut dan sedikit ragu."Maksud kamu apa, Bela? Kamu meragukan ucapanku?" Kini Maura tidak lagi
"Makasih Ya, Sayang. Kamu dah percaya sama aku." Pandu mencium punggung tangan milik Bela.Hari semakin gelap namun Pandu dan juga Bela mengurungkan niatnya menjelaskan kepada Tari dan Anton. Mereka melihat dari kejauhan Anton berusaha mengontrol amarahnya. Memberi sedikit ruang agar Anton bisa beristirahat.Mereka hanya tidak ingin terjadi apa-apa dengan Anton. Lelaki yang sudah tidak muda itu memiliki riwayat jantung. Lebih baik menunggu agar semuanya tenang terlebih dahulu. Baru mereka akan menjelaskan semua.***Kejadian kemarin membuat semua orang sedikit tegang. Hingga tanpa memerlukan waktu yang lama Ali menghubungi Pandu. Memberikan banyak informasi tentang Maura saat ini."Beng, gimana?""Pak Ali dah ngasih info soal Maura. Kamu tenang aja, biar semua aku yang urus. Tapi maaf jika nanti aku akan sedikit sibuk ya, Sayang. Kamu gak papa kan?""Iya gak papa, Beng. Agar semuanya bisa diselesaikan dengan cepat." "Aku pergi dulu ya, Sayang." Pandu mencium pucuk kepala Bela dengan
Permintaan maaf "Maaf, Bela. Bukan maksud aku untuk-" Sebelum Imam menyelesaikan ucapannya. Bela sudah lebih dulu menjawab."Ada perlu apa Mas Imam datang kemari? Siapa yang memberitahumu tentang alamat rumah ini?""Itu semua gak penting, Bel. Maksud tujuanku kesini cuma mau meminta maaf kepadamu. Maafkan aku yang dulu pernah menyakitimu. Andai saja kamu belum menikah, aku akan memintamu kembali," ucap Imam dengan mata berkaca-kaca. Hatinya mungkin terlambat menyadari. Betapa baiknya wanita yang kini dihadapannya."Sudahlah, Mas. Aku sudah memaafkan. Sekarang biarkan aku bahagia dengan keluargaku. Jangan kau ganggu aku. Apalagi meminta sesuatu yang tidak akan pernah aku lakukan!""Aku mengerti, Bel. Aku mengerti hatimu sudah terlalu sakit.""Kalau Mas Imam sudah tau. Pergilah! Aku tidak bisa berbicara banyak dengan lelaki yang bukan mahramnya. Apalagi suamiku sedang tidak ada di rumah.""Baiklah, Bel. Aku harap kamu akan bahagia bersama suamimu sekarang. Tapi hanya perlu kau tahu Ibu
karmaPOV Imam"Lia, apa-apaan ini?"Lia melempar semua pakaianku. Hingga berhamburan di teras. Entah set*an apa yang merasukinya? Setelah melahirkan beberapa Minggu yang lalu. Sikapnya berubah. Dia tak lagi ramah dan juga sering melarangku menggendong putri semata wayang kami."Pergi dari rumah ini!" Aku membelalak mendengar perintah Lia. Rumah yang aku tinggali ini adalah rumahku. Kenapa aku yang harus pergi?"Bawa ibumu dan kita akan bercerai!""Maksud kamu apa? Ini rumahku! Kamu tidak berhak mengusir kami!""Hahahaha, rumahmu? Enak saja, ini semua sudah menjadi miliki. Kamu sendiri yang menyerahkan semua surat berharga itu. Apa kamu lupa?""Lia, kenapa baju Imam ada di lantai? Kalau nanti kotor ibu tidak mau mencucinya!" Seketika ibu terkejut. Setelah kedatangannya dari warung mendapati pakaianku sudah berserakan di lantai teras."Silahkan ibu pergi dari rumah ini!""Eh kamu apa-apaan Lia? Ini rumah Imam! Jangan bercanda kamu mengusir kami. Seharusnya yang pergi dari rumah ini itu
Tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan. Aku pergi ke kota meninggalkan Ibu di rumah sakit. Aku menitipkan Ibu kepada salah satu suster yang ada di rumah sakit tersebut.Aku terpaksa keluar dari pekerjaanku satu-satunya. Sumber dari pendapatan ku. Karena Ibu tidak ada yang merawatnya. Mana mungkin aku tega membiarkannya sendiri. Ini seolah sebuah hukuman untukku. Aku kehilangan satu demi satu harta lalu istri. Sungguh menyedihkan perjalanan hidupku. Aku terlalu congkak akan kehidupanku. Sehingga aku diberi pelajaran oleh Tuhan. Maafkan aku Bela. Jika saja aku bisa memutar waktu. Aku akan mengembalikan semuanya seperti dulu lagi.**"Aku berjalan mencari alamat rumah di tangan. Hingga aku akhirnya menemukan satu bangunan rumah yang nomornya sama dengan alamat ditangan. Aku berjalan mendekati. Alangkah bahagianya aku ketika mendapati sosok Bela di halaman rumah sedang menyirami tanaman. Dia masih sama justru terlihat begitu menawan.Astaghfirullahaladzim, sadar Imam dia sudah bukan lagi
Karma 2Seorang wanita yang tak aku kenal. Menawarkan bantuan tanpa bertanya dulu kepadaku."Anda siapa?" Meskipun dalam hati berucap syukur jika nanti dia benar adanya akan membantu membayar semua biaya rumah sakit."Anda tidak perlu tau siapa saya! Saya akan melunasi semuanya tapi dengan satu syarat!""Apa itu?" Aku takut jika aku harus membun** seseorang atau melukainya sebagai imbalan."Kembalilah kepada Bela. Buat dia bercerai dengan suaminya. Aku akan berikan uang berapapun yang kamu mau?!" Wanita ini sepertinya memiliki dendam dengan Bela. Atau jangan-jangan dia bermain api dengan suaminya? Ah, rasanya tidak mungkin. Dia lebih terlihat seperti wanita yang sedang terobsesi."Merusak rumah tangga Bela?" "Iya, mudahkan? Bukannya dia mantan istri kamu? Bukannya kamu sekarang juga sedang sendiri? Sedang proses cerai dengan istri kamu? Sedangkan kamu tidak memiliki tempat tinggal, setelah diusir oleh istri sendiri?"Darimana wanita ini tau semua kehidupanku? Atau jangan-jangan selam
Bela ngidamHari ini Maura gagal mempengaruhi Imam untuk menghancurkan rumah tangga Bela.Maura harus bekerja ekstra keras agar meruntuhkan cinta mereka.Maura melihat dari kejauhan. Melihat Pandu dan juga Bela membantu mengurus jenazah mantan mertuanya itu. Bibir Maura mencebik. Wanita itu tidak habis pikir. Jika Pandu dan juga Bela mau masih mau memberi bantuan kepada orang yang pernah menyakitinya.Maura masuk ke dalam mobil. Menempelkan benda pipih itu di daun telinganya."Ya, nanti saya bayar kok tenang aja!" Maura memutus sambungan teleponnya lalu melempar benda pipih itu di kursi bagian belakang."Sial, rentenir itu bikin pusing kepala saja. Apa aku harus membongkar kebusukan Anton? Agar dia mau memberiku beberapa harta yang dimilikinya? Atau meminta anaknya untuk menikahi ku? Haist," Maura segera melajukan mobil merahnya. Membelah jalan raya yang cukup ramai. Wanita itu benar-benar mempunyai nyali besar. Jika semua ucapannya kemarin terbukti salah. Dia bisa saja dipenjara. H