Setiap ibu hamil pasti memiliki ngidam yang berbeda-beda terkadang melaluinya dengan biasa saja atau bahkan sampai tidak mau menyentuh makanan. Naura membolak-balikkan buku yang ada banyak sekali gambar bayi mulai dari merangkak bahkan cara memandikan bayi. sampai memberi makan juga mengompres bayi saat deman. "Ma, lihatlah buku ini, semua komplit lo dari memandikan adik juga memberinya makan." "Mana? Dapat dari mana bukunya, sayang?" tanya Arum mendekati Naura. "Ini, Ma. Entahlah ada di meja, mungkin punya papa, ma," jawab Naura sambil menunjukkan bukunya. "Oh, itu buku mama, Nak. Buat periksa dede yang ada dalam perut, mama.""Oh begitu, Ma."Arum mengusap perutnya dengan pelan. "Iya, sayang."Arum sangat senang bisa mengandung merasakan menjadi seorang wanita hamil tak tahu anaknya nanti cowok atau cewek ia lebih berharap jika kandungannya baik-baik saja. Dan sangat berharap anaknya tumbuh menjadi anak yang baik cantik atau tampan seperti papanya. Segelas susu hangat berada di
Apakah Zhia kuat menjalani hidupnya yang penuh kepura-puraan? Apakah ia sanggup bertahan? Atau ia akhiri saja hidupnya, karena ia tak bisa hidup tanpa Elang. Pikiran-pikiran itu selalu menghantuinya Meski lelah, akankah Zhia bertahan. Apakah ia terlalu bodoh bila memilih berjuang mendapatkan Naura dan juga Elang. Walau ambisi Zhia masih sangat menggebu. Setelah Levin dan sang Mama pergi, ia pun ikut pergi ke apartment yang selama ini ia tempati. Rasa itu sangat sulit. Ia rebahkan tubuhnya di atas ranjang apartmentnya, mencoba memejamkan mata. Tapi bayang-bayang Elang sedang bermesraan dengan Arum juga Naura menari-nari di benak Zhia. Tiap kali ia menututup mata, bayangan itu selalu hadir menghantuinya. Jarum jam sudah menunjukkan angka dua pagi, namun mata Zhia tetap saja enggan terpejam. Sesekali tangannya menutup mulut saat menguap. Mata Zhia sepertinya tak bisa untuk terpejam. Tak peduli jika pagi nanti Zhia ada jadwal pemotretan, tak begitu ia perdulikan pekerjaan yang ada di de
Bahkan rasa itu masih sama serapi dulu. Hanya saja jika dulu hal paling membahagiakan, sekarang terasa makin membuat perih. Terlebih saat menyadari rasanya masih sama dan tak pernah berkurang."Mas, Rum ke toilet dulu ya." Arum pamit pada suaminya. "Iya, sayang. Hati-hati ya, apa perlu aku antar?"Arum tersenyum. "Tidak, Mas, sebentar saja kok.""Baiklah."Levin menatap Arum yang beranjak pergi ke toilet. 'Aku takkan bisa melupakannya jika aku sendiri tidak ingin meminta maaf, aku akan menyelesaikan masalahku agar hidupku tenang.' Batin Levin. "Aku ke toilet sebentar." Pamit Levin pada asistennya. "Baik, Pak."Tak bisa dipungkiri, rasanya masih tetap sama. Sesungging senyum miris terukir dari sudut bibir Levin, Setelah berbagai pertimbangan akhirnya ia melangkah juga mengikuti Arum. Levin bersandar di tembok. Menatap Arum yang tengah berada di toilet, saat Arum keluar Levin pura-pura berjalan. Arum terbelalak langkahnya semakin pelan saat menatap Levin berjalan ke arahnya, Arum me
Elang menepikan mobilnya di pinggir jalan, lalu mengajak turun istrinya dan berjalan menuju warung rawon yang diinginkan Arum. Tak butuh waktu lama pramusaji datang membawakan dua mangkuk Rawon daging dengan sambal terasi juga kerupuk udang. "Wah, kayaknya enak ini, Mas."Elang tersenyum. "Iya makanlah, sayang."Arum mengangguk dan menghabiskan satu mangkuk rawon, rasanya sangat enak sekali. Elang hanya tersenyum menatap istrinya sesekali Arum mengelap keringat dipelipisnya. Membuat Elang tertawa geli melihat tingkah Arum yang tidak seperti biasanya. Arum mengaduk jeruk hangat lalu meneguknya, ia tersenyum menatap suaminya yang sedari tadi memperhatikannya. "Mas, maaf ya. Habisnya ini enak," seru Arum malu. Elang menggangguk. "Enggak papa, sayang. Mau pulang sekarang, apa mau tambah lagi di bungkus?""Iya boleh, buat Naura dan Bibi, Mas.""Baiklah."Selesai mereka pulang, mobil membawa mereka melaju membelah jalan raya menuju rumah mereka. mobul membelah jalan raya menuju rumah m
Arum tak menggubris pertanyaan maaf Levin. laki-laki itu diam seribu bahasa. Arum malah menghindar saat Levin mencoba menatapnya. Bukan apa-apa, hanya sekedar memastikan. Bukankah tatapan mata tak pernah bisa berbohong? Sayangnya Levin tak mendapatkan apa pun, laki-laki itu hanya menggeleng. Seperti yang sudah ia bayangkan sebelumnya. Arum tidak berani membalas tatapan Levin. Levin makin yakin, pasti Arum tak akan pernah memaafkannya. Levin melangkah keluar dan membating pintu tempat kerjanya, serta membawa mobilnya, ia menginjak gas pikirannya kalut. Karma kah ini jika hidupnya sekarang dikendalikan oleh egonya sendiri. Rasa sesal di dalam hatinya masih hinggap dan tak kunjung pergi. Levin memarkirkan mobilnya di pinggir jalan yang sepi dan keluar mobil. Tubuhnya lunglai ke aspal yang berselimut kan debu. Hujan air mata membasahi pipinya, ia tak sanggup menahan beban yang menghimpit hidupnya. "Aghhh ... tidak. Arum maafkan aku ... kumohon kembalilah." Teriak Levin histeris. Tang
Levin berjalan mendekati jenasah Bu Lastri yang terbujur kaku, ia menangis histeris bersama Simbok. Entah kenapa takdir bisa bicara seperti ini, entah kenapa takdir merenggut nyawa mamanya dari sisi mereka, tubuh yang sudah terbujur kaku, Levin memeluk jenazah sang mama dengan perasaan entah. 'Maafkan Levin, Ma.'Zhia yang baru datang menangis histeris, padahal baru kemarin mama memintanya untuk makan bersama. "Tidak, mas itu tidak mungkin." Sesaat Zhia terjatuh dan pingsan. "Aduh, Tuan bagaimana ini, Non Zhia pingsan, Tuan."Simbok mencoba memberi minyak pada hidung, tengkuk, dan kening Zhia. Levin mengangkat tubuh Zhia di sofa rumah sakit. "Tuan, Nyonya...?""Iya, Mbok Nyonya sudah tiada."Simbok menutup mulutnya dan terkejut, "Innalillahiwainnaillahiroji'un, Nyonya." Si Mbok ikut menangis. Zhia menggerakkan tangannya lalu menangis, dan memeluk erat tubuh kakaknya Levin. "Zhia belum minta maaf, Mas, Zhia banyak salah, Zhi enggak rela.""Sabar, Zhi sudahlah."Zhia mengoyang-goya
Tatapan Levin memindai beberapa kotak besar dalam kardus juga beberapa travel bag, yang diletakkan di depan teras rumah, serta sebuah mobil pick up yang berhenti tepat di depan halaman rumah sederhana namun begitu indah, almarhum sang mama membelinya kala itu dan ini di berikan kepada Levin juga Zhia. Dua orang laki-laki tampak menurunkan beberapa barang lainnya dari mobil ke halaman. Lalu memindahkannya ke dalam ruangan rumah. Sekitar sepuluh menit kemudian, mobil pick up tersebut kemudian berlalu pergi. Levin, si Mbok dan Zhia memutuskan keluar dari mobil dan berjalan menuju rumah yang sangat indah juga. "Emm, lumayan bagus, Mas.""Iya, kau suka?""Iya, Mas, suka."Senja merona telah tiba Levin bersiap ke rumah pak Dibyo, Levin mendapat amanah dari almarhum sang mama untuk menyerahkan perusahaan milik pak Dibyo lagi, entah nanti beliau akan mencaci makinya atau memukulnya sekalipun namun Levin akan berusaha menerima semua hukuman apapun itu. "Zhi, Mas keluar senbentar ya, tolong
Elang yang melihat kondisi Arum, berdiri dan langsung mendorong tubuh Zhia hingga membentur dinding dan mencekik lehernya. "Jangan main-main denganku, jika terjadi apa-apa dengan Arum. Aku tak akan melepasmu." ucap Elang kasar. "Aghh, lepaskan...." teriak Zhia. "Jangan pernah berurusan denganku, kau pernah menjebakku dan kini kau berusaha menyakiti istriku. Hah.""Lepaskan, sakit," pekik Zhia. "Mas, sudahlah. Ini sakit sekali." Rintih Arum kesakitan. Elang panik dan langsung menyuruh satpam menangkap Zhia, dan menggendong tubuh Arum ke dalam mobil. "Ya, Allah ini sakit, tolong selamatkan anakku ya Allah."Elang tak tahan melihat istrinya menjerit kesakitan, abu anyir darah mulai menyeruak di dalam mobil, sepertinya darah banyak keluar, terlihat baju berwarna cokelat muda berubah menjadi merah darah. Dengan cepat Elang menancap gas mobilnya menuju rumah sakit bersalin terdekat. "Aku mohon bertahanlah, sayang.""Aghhh sakit."Bau anyir semakin pekat, membuat Elang bernafsu untuk