Arum tak menggubris pertanyaan maaf Levin. laki-laki itu diam seribu bahasa. Arum malah menghindar saat Levin mencoba menatapnya. Bukan apa-apa, hanya sekedar memastikan. Bukankah tatapan mata tak pernah bisa berbohong? Sayangnya Levin tak mendapatkan apa pun, laki-laki itu hanya menggeleng. Seperti yang sudah ia bayangkan sebelumnya. Arum tidak berani membalas tatapan Levin. Levin makin yakin, pasti Arum tak akan pernah memaafkannya. Levin melangkah keluar dan membating pintu tempat kerjanya, serta membawa mobilnya, ia menginjak gas pikirannya kalut. Karma kah ini jika hidupnya sekarang dikendalikan oleh egonya sendiri. Rasa sesal di dalam hatinya masih hinggap dan tak kunjung pergi. Levin memarkirkan mobilnya di pinggir jalan yang sepi dan keluar mobil. Tubuhnya lunglai ke aspal yang berselimut kan debu. Hujan air mata membasahi pipinya, ia tak sanggup menahan beban yang menghimpit hidupnya. "Aghhh ... tidak. Arum maafkan aku ... kumohon kembalilah." Teriak Levin histeris. Tang
Levin berjalan mendekati jenasah Bu Lastri yang terbujur kaku, ia menangis histeris bersama Simbok. Entah kenapa takdir bisa bicara seperti ini, entah kenapa takdir merenggut nyawa mamanya dari sisi mereka, tubuh yang sudah terbujur kaku, Levin memeluk jenazah sang mama dengan perasaan entah. 'Maafkan Levin, Ma.'Zhia yang baru datang menangis histeris, padahal baru kemarin mama memintanya untuk makan bersama. "Tidak, mas itu tidak mungkin." Sesaat Zhia terjatuh dan pingsan. "Aduh, Tuan bagaimana ini, Non Zhia pingsan, Tuan."Simbok mencoba memberi minyak pada hidung, tengkuk, dan kening Zhia. Levin mengangkat tubuh Zhia di sofa rumah sakit. "Tuan, Nyonya...?""Iya, Mbok Nyonya sudah tiada."Simbok menutup mulutnya dan terkejut, "Innalillahiwainnaillahiroji'un, Nyonya." Si Mbok ikut menangis. Zhia menggerakkan tangannya lalu menangis, dan memeluk erat tubuh kakaknya Levin. "Zhia belum minta maaf, Mas, Zhia banyak salah, Zhi enggak rela.""Sabar, Zhi sudahlah."Zhia mengoyang-goya
Tatapan Levin memindai beberapa kotak besar dalam kardus juga beberapa travel bag, yang diletakkan di depan teras rumah, serta sebuah mobil pick up yang berhenti tepat di depan halaman rumah sederhana namun begitu indah, almarhum sang mama membelinya kala itu dan ini di berikan kepada Levin juga Zhia. Dua orang laki-laki tampak menurunkan beberapa barang lainnya dari mobil ke halaman. Lalu memindahkannya ke dalam ruangan rumah. Sekitar sepuluh menit kemudian, mobil pick up tersebut kemudian berlalu pergi. Levin, si Mbok dan Zhia memutuskan keluar dari mobil dan berjalan menuju rumah yang sangat indah juga. "Emm, lumayan bagus, Mas.""Iya, kau suka?""Iya, Mas, suka."Senja merona telah tiba Levin bersiap ke rumah pak Dibyo, Levin mendapat amanah dari almarhum sang mama untuk menyerahkan perusahaan milik pak Dibyo lagi, entah nanti beliau akan mencaci makinya atau memukulnya sekalipun namun Levin akan berusaha menerima semua hukuman apapun itu. "Zhi, Mas keluar senbentar ya, tolong
Elang yang melihat kondisi Arum, berdiri dan langsung mendorong tubuh Zhia hingga membentur dinding dan mencekik lehernya. "Jangan main-main denganku, jika terjadi apa-apa dengan Arum. Aku tak akan melepasmu." ucap Elang kasar. "Aghh, lepaskan...." teriak Zhia. "Jangan pernah berurusan denganku, kau pernah menjebakku dan kini kau berusaha menyakiti istriku. Hah.""Lepaskan, sakit," pekik Zhia. "Mas, sudahlah. Ini sakit sekali." Rintih Arum kesakitan. Elang panik dan langsung menyuruh satpam menangkap Zhia, dan menggendong tubuh Arum ke dalam mobil. "Ya, Allah ini sakit, tolong selamatkan anakku ya Allah."Elang tak tahan melihat istrinya menjerit kesakitan, abu anyir darah mulai menyeruak di dalam mobil, sepertinya darah banyak keluar, terlihat baju berwarna cokelat muda berubah menjadi merah darah. Dengan cepat Elang menancap gas mobilnya menuju rumah sakit bersalin terdekat. "Aku mohon bertahanlah, sayang.""Aghhh sakit."Bau anyir semakin pekat, membuat Elang bernafsu untuk
Bara kecemburuan seketika berkobar menjadi api, saat Zhia melihat kemesraan Arum dan sang mantan suami membuat emosi Zhia berada di tingkat tinggi. Panas dan sesak bersamaan menyeruak, mendesak berebut ingin segera ditumpahkan. Semakin tersiksa karena bisa melampiaskannya, dengan mendorong tubuh Arum tadi. "Zhia, kau ini. ada apa denganmu, bukankah tadi kamu bilang akan di rumah saja. Hah." Levin memarahi Zhia kali ini kelakuan Zhia benar-benar diluar batas. Diam. Seketika suasana mejadi hening sampai Satpam menelepon pihak yang berwajib. Sejenak Levin memejamkan mata untuk meredam amarah. "Apa yang adikku lakukan, Pak?" tanya Levin pada satpam. "Wanita ini, mendorong tubuh wanita hamil, hingga wanita itu pendarahan hebat, Pak." jelas lelaki yang menyqndang gelar sebagai Satpam itu. "Astaqfirullah. Zhia kenapa kau menjadi liar dan bar-bar begini, hah. Jangan bilang wanita itu adalah Arum?" tanya Levin curiga. Sorot mata Zhia tajam menghujam setelah teriakan sang kakak, Zhia ter
Elang terbangun, saat mencium aroma minyak kayu putih di hidung. Perlahan matanya terbuka. Kepalanya terasa berat dengan samar-samar ia melihat Angga dan pak Dibyo mertuanya menemainya ia tetidur di bangkar. Elang merasakan kepalanya berdenyut luar biasa, ia berusaha beranjak, tapi badan terasa sangat lemas. Elang pegangi kepala yang luar biasa pusing. Sesaat ia sadar bahwa bagaimana keadaan sang istri. "Astaqfirullah, Arum.... " teriak Elang saat sudah kembali tersadar dari pingsannya. "Syukurlah kamu sudah bangun, Lang," ucap Angga, seraya menutup tutup minyak kayu putih. Aroma minyak kayu putih menguar dipenciuman Elang. "Bagaimana, Arum, Mas?" tanya Elang lirih, merasakan denyutan kepala yang belum membaik.Pak Dibyo tersenyum. "Arum dan anakmu baik-baik saja, Lang.""Alhamdulillah ... apa papa serius?" tanya Elang bahagia. "Iya, selamat ya sudah menjadi papa lagi." Jelas Pak Dibyo. Elang memeluk tubuh papa mertuanya. "Iya, Pa.""Sabar-sabar, karena sabar juga do'amu yang me
Beberapa tahun kemudian, Levin menyeret koper di tangan menuju kamar apartment milik Zhia adiknya. Dengan langkah tegak Levin berjalan ke luar lift setelah pintu besi itu terbuka. Setelah yakin telah berada di kamar yang tepat, Levin mengetuk pintu. Lalu sapaan hangat Zhia menyambut Levin. "Sudah sampai juga akhirnya, Mas." Zhia meraih tangan Levin dan menuntun masuk setelah mereka saling berpelukan karena lama tak berjumpa. "Iya, tadi agak macet soalnya. Gimana kerjaannya lancar?" "Alhamdulillah, Mas."Levin memeluk dan menguatkan Zhia. Membuatnya merasa benar-benar ada dan dihargai. Ya, ternyata memang hanya Levin yang selalu memberikan dukungan untuknya. Seketika Zhia merasa beruntung bisa memiliki kakak sebaik Levin. Karena kebaikan Arum makanya ia tak menuntutapapun dari Zhia dan membebaskannya. Zhia pernah benar-benar berada pada titik terendah. Di mana ia merasa begitu terpuruk saat berada di penjara beberapa hari. Sesaat Zhia menatap diri sendiri, merasa begitu buruk. Di
"Apa, hamil, astaga Rum. Ini bahaya lo? Kamu ini ada-ada saja ya." Kata sang Mama mengomel dihadapan Arum. "Bukan begitu, Ma. Rum hanya ingin keluarga kita tambah banyak," sergah Arum, mencoba menenagkan sang Mama. "Astaga Rum, Kamu ini ya. Ga kapok melahirkan Arsha waktu itu? Ga main-main lo nyawa kamu taruhannya."Wanita paruh baya itu merasa kesal terhadap Arum. "Sudahlah, Ma. Tenang saja."Semua orang menghakimi Arum, membuat Arum begitu bersedih tak ada yang mendukungnya kali ini. Wanita itu terdiam merasakan sakit yang mendalam dalam hatinya. "Ma sudahlah. Itu juga pasti sudah dipikirkan oleh Arum." Jelas Angga kakaknya. "Tapi, Mama ...!""Ya, Angga tahu Mama khawatir, tapi sudahlah. Ma. Kita bantu doa dan dukung Arum."Wanita paruh baya itu menggeleng lalu berjalan mendekati Arum dan memeluknya erat. "Mama ga mau tahu kamu harus hati-hati tidak boleh kecapekan dan harus dengar apa kata Mama."Arum tersenyum. "Iya, Ma."Hati Arum lega karena kehamilannya datang di saat yang