Beberapa tahun kemudian, Levin menyeret koper di tangan menuju kamar apartment milik Zhia adiknya. Dengan langkah tegak Levin berjalan ke luar lift setelah pintu besi itu terbuka. Setelah yakin telah berada di kamar yang tepat, Levin mengetuk pintu. Lalu sapaan hangat Zhia menyambut Levin. "Sudah sampai juga akhirnya, Mas." Zhia meraih tangan Levin dan menuntun masuk setelah mereka saling berpelukan karena lama tak berjumpa. "Iya, tadi agak macet soalnya. Gimana kerjaannya lancar?" "Alhamdulillah, Mas."Levin memeluk dan menguatkan Zhia. Membuatnya merasa benar-benar ada dan dihargai. Ya, ternyata memang hanya Levin yang selalu memberikan dukungan untuknya. Seketika Zhia merasa beruntung bisa memiliki kakak sebaik Levin. Karena kebaikan Arum makanya ia tak menuntutapapun dari Zhia dan membebaskannya. Zhia pernah benar-benar berada pada titik terendah. Di mana ia merasa begitu terpuruk saat berada di penjara beberapa hari. Sesaat Zhia menatap diri sendiri, merasa begitu buruk. Di
"Apa, hamil, astaga Rum. Ini bahaya lo? Kamu ini ada-ada saja ya." Kata sang Mama mengomel dihadapan Arum. "Bukan begitu, Ma. Rum hanya ingin keluarga kita tambah banyak," sergah Arum, mencoba menenagkan sang Mama. "Astaga Rum, Kamu ini ya. Ga kapok melahirkan Arsha waktu itu? Ga main-main lo nyawa kamu taruhannya."Wanita paruh baya itu merasa kesal terhadap Arum. "Sudahlah, Ma. Tenang saja."Semua orang menghakimi Arum, membuat Arum begitu bersedih tak ada yang mendukungnya kali ini. Wanita itu terdiam merasakan sakit yang mendalam dalam hatinya. "Ma sudahlah. Itu juga pasti sudah dipikirkan oleh Arum." Jelas Angga kakaknya. "Tapi, Mama ...!""Ya, Angga tahu Mama khawatir, tapi sudahlah. Ma. Kita bantu doa dan dukung Arum."Wanita paruh baya itu menggeleng lalu berjalan mendekati Arum dan memeluknya erat. "Mama ga mau tahu kamu harus hati-hati tidak boleh kecapekan dan harus dengar apa kata Mama."Arum tersenyum. "Iya, Ma."Hati Arum lega karena kehamilannya datang di saat yang
Naura pulang ke rumah dengan muka kusut. Dia mengucap salam dengan tak semangat. Arum yang sedang duduk di sofa ruang tamu segera membuka pintu."Baru pulang, sayang?" tanya Arum. Sebenarnya dia ingin menanyakan kenapa Naura pulang terlambat, tapi wajah lelah itu membuat Arum hanya tersenyum. "Iya, Ma. Cape sekali." Naura menjawab dengan malas.Arum tersenyum, mengikuti Naura duduk di sofa. "Kenapa?"Naura menarik nafas lalu memeluk Arum dengan erat. "Naura hanya cape saja, Ma.""Ya sudah mandi dan makan ya.""Baik, Ma."Setelah mandi dan berpakaian, Naura membaringkan tubuh yang lelah. Ada perasaan tak enak mengingat sikapnya pada sang Mama tadi. Namun, moodnya benar-benar sedang buruk. Wanita itu, Ibunya Zhia habis menemuinya, membuat Naura merasa tertekan.Bahkan Naura sudah puluhan tahun diasuh oleh Arum. Selama ini bahkan sang Mama sambungnya itu tak pernah bersikap buruk padanya. Sang Mama selalu menyempatkan diri dekat dengan Naura. Bahkan Arum tak pernah berkata kasar juga t
Rumah terlihat masih sangat sepi, sepertinya Bibi belum pulang. Setelah hari beranjak siang, Arum merasakan tubuhnya yang sedikit enakan. Sepertinya mual membuatnya enggan untuk berdiri, mulut yang pahit, kepala yang tidak lagi sakit, dengan perut dan kepala yang terasa lebih nyaman. Arum meraih ponsel, memeriksa deretan pesan yang masuk sejak tadi pagi, setelah pulang dari menjemput Ardha, tadi pagi Arum selesai mengantar ke sekolah langsung kerumah sakit memeriksakan kandungannya bersama sang Mama. "Mama lagi apa?" tanya Ardha yang baru saja menganti pakaian seragam sekolah. "Ardha, sebentar lagi punya adek!" "Mama enggak lagi bercanda 'kan? Ini serius, Ma?" tanya Ardha tidak percaya.Ardha terlihat tersenyum dan memeluk Arum, anak seusia Ardha bukankah belum faham soal kehidupan. "Selamat ya, Ma!" "Iya, Sayang."Diraihnya ponsel diatas nakas, Arum ingin membuat kejutan untuk sang suami, Matanya terpaku pada deretan pesan, dari sang suami. [Mas, dimana? kenapa belum juga pulan
"Mau pesan apa, Elang?""Kopi hitam saja, Ilham," jawab Elang sambil meletakkan tas di datas meja. Fahmi memesan dua cangkir kopi hitam, dan kembali duduk di depan sahabatnya. Elang tersenyum menatap Ilham meski mereka bekerja satu pekerjaan namun ia jarang sekali bertemu. Sesaat pramusaji datang membawakan dua cangkir kopi. "Bagaimana, Arum?" tanya Ilham sambil mengambil kopi panas meniup pelan lalu menyesapnya. "Alhamdulillah, kalau dilihat dari luar sih dia baik-baik saja, namun entah jika hatinya.""Kenapa?""Sebenarnya Arum, hamil lagi.""Hah, Bukannya kata kamu?"Elang tersenyum kecut. "Entahlah aku juga kurang paham, padahal dokter sudah wanti-wanti buat, Arum tak hamil lagi."Terlihat kekecewaan dari wajah tampan Elang. "Ya, aku mengerti. Tapi kan semua juga sudah ada yang mengatur," kata Ilham yang tak lain adalah rekan bisnisnya. Elang hanya menarik napas dalam"Kau kecewa? Dukunglah Arum?""Iya kau benar."Elang meraih gelas dan menyesap kopinya. Terkadang, Elang mener
"Terus ...?""Ya cuma ketemu saja, ia ingin bertemu dengan, Ilham sih katanya." Jelas Elang. "Oh.""Oh saja nih. Gimana dengar soal mantan?" tanya Elang menggoda. "Mas, ih."Elang tertawa, melihat Arum cemberut. Berharap jika Arum akan marah namun kali ini Arum tersenyum seraya memukul lengan kekar Elang. Hidup tanpa ada masalah adalah sesuatu yang mustahil. Elang tahu betul hal itu. Selama napas masih berembus, masalah akan selalu mengiringi hidup bukan. "Jadi ...?""Ya begitu lah, coba dekati Naura, Mas. Dia seharian diam. Aku sudah coba sih bicara dengannya namun, ya datar saja ia tak mau cerita."Elang lelaki berwajah tampan juga bertubuh kekar itu menarik napas. "Emm, baiklah tapi janji ya. Jangan dipikirkan. Ingat kandunganmu, Sayang."Arum mengangguk seraya memeluk Elang dengan erat. "Iya, Mas. Aku janji.""Hidup memang selalu beriringan dengan masalah. Namun, tak ada masalah yang hadir tanpa solusi. Jadi aku harap kau sabar ya."Arum mengangguk beberapa kali. "Kau benar, Ma
"Kamu sehat?" tanya Elang berjalan mendekati Arum yang lagi duduk sendiri di balkon kamarnya. Kalimat itu menjadi pertanyaan setiap hari yang dikeluarkan Elang pada sang istri setiap harinya. "Alhamdulillah, sehat. Mas. Lalu sendirinya bagaimana?" tanya Arum balik mencoba membangun rasa nyaman saat bersama sang suami. Elang tersenyum tipis. "Aku juga sehat. Asal kau juga sehat, sayang."Arum menunduk begitu mendengar pengakuan dari suaminya. Seandainya bisa, ingin sekali Arum terbang melayang menganggap bahwa jawaban itu sebatas rayuan gombal saja. Sayangnya, Arum begitu mengenal pria di depannya ini. Sejak awal, dari kecil dia tak pernah berbohong sama sekali."Mas jangan bicara membual begitu, geli aku dengarnya."Elang menatap lekat ke arah Arum. "Aku sudah mencoba, tapi itu langsung keluar begitu saja dari mulut ini, gimana dong." Goda Elang pada istrinya seraya mengelus perut Arumi. Kali ini, Arum mengelus rambut suaminya. "Sejak kapan sih jadi lebay gini kamu, Mas.""Dari a
Hawa sejuk terasa membelai kulit wajah saat Arum masih di depan Levin. Sesekali, kerudung pashmina yang menutupi kepala melambai-lambai diterpa angin sore. Arum masih terpaku oleh pengakuan Levin yang masih berada di dekatnya. "Rum ...."Tangan Levin terulur dan menyentuh tangan Arum yang masih berada di depannya. Levin menelan saliva seiring rasa rindu yang menyeruak. Sementara Arum menjauhkan tangannya dari Levin, ia sedikit terkejut beraninya Levin menyentuh tangannya. "Kami permisi, Levin."Levin menarik napas pelan. "Please sebentar lagi, Rum."Entahlah, kali ini Arum merasakan ketidak nyamanan. Meskipun hati Levin rasanya menjadi ringan dan lebih tenang. Namun tidak dengan Arum dan sang Mama mereka begitu takut. "Jika waktu bisa berputar aku tak akan menyakitimu, Rum." Jelasnya dengan nada serak. Arum menghela napas dalam. Untuk beberapa saat, ia hanya terdiam."Aku enggak akan melepasmu, Rum."Arum tersenyum tak enak sambil menggelengkan kepala. Entah kalimat apa yang tadi