"Mau pesan apa, Elang?""Kopi hitam saja, Ilham," jawab Elang sambil meletakkan tas di datas meja. Fahmi memesan dua cangkir kopi hitam, dan kembali duduk di depan sahabatnya. Elang tersenyum menatap Ilham meski mereka bekerja satu pekerjaan namun ia jarang sekali bertemu. Sesaat pramusaji datang membawakan dua cangkir kopi. "Bagaimana, Arum?" tanya Ilham sambil mengambil kopi panas meniup pelan lalu menyesapnya. "Alhamdulillah, kalau dilihat dari luar sih dia baik-baik saja, namun entah jika hatinya.""Kenapa?""Sebenarnya Arum, hamil lagi.""Hah, Bukannya kata kamu?"Elang tersenyum kecut. "Entahlah aku juga kurang paham, padahal dokter sudah wanti-wanti buat, Arum tak hamil lagi."Terlihat kekecewaan dari wajah tampan Elang. "Ya, aku mengerti. Tapi kan semua juga sudah ada yang mengatur," kata Ilham yang tak lain adalah rekan bisnisnya. Elang hanya menarik napas dalam"Kau kecewa? Dukunglah Arum?""Iya kau benar."Elang meraih gelas dan menyesap kopinya. Terkadang, Elang mener
"Terus ...?""Ya cuma ketemu saja, ia ingin bertemu dengan, Ilham sih katanya." Jelas Elang. "Oh.""Oh saja nih. Gimana dengar soal mantan?" tanya Elang menggoda. "Mas, ih."Elang tertawa, melihat Arum cemberut. Berharap jika Arum akan marah namun kali ini Arum tersenyum seraya memukul lengan kekar Elang. Hidup tanpa ada masalah adalah sesuatu yang mustahil. Elang tahu betul hal itu. Selama napas masih berembus, masalah akan selalu mengiringi hidup bukan. "Jadi ...?""Ya begitu lah, coba dekati Naura, Mas. Dia seharian diam. Aku sudah coba sih bicara dengannya namun, ya datar saja ia tak mau cerita."Elang lelaki berwajah tampan juga bertubuh kekar itu menarik napas. "Emm, baiklah tapi janji ya. Jangan dipikirkan. Ingat kandunganmu, Sayang."Arum mengangguk seraya memeluk Elang dengan erat. "Iya, Mas. Aku janji.""Hidup memang selalu beriringan dengan masalah. Namun, tak ada masalah yang hadir tanpa solusi. Jadi aku harap kau sabar ya."Arum mengangguk beberapa kali. "Kau benar, Ma
"Kamu sehat?" tanya Elang berjalan mendekati Arum yang lagi duduk sendiri di balkon kamarnya. Kalimat itu menjadi pertanyaan setiap hari yang dikeluarkan Elang pada sang istri setiap harinya. "Alhamdulillah, sehat. Mas. Lalu sendirinya bagaimana?" tanya Arum balik mencoba membangun rasa nyaman saat bersama sang suami. Elang tersenyum tipis. "Aku juga sehat. Asal kau juga sehat, sayang."Arum menunduk begitu mendengar pengakuan dari suaminya. Seandainya bisa, ingin sekali Arum terbang melayang menganggap bahwa jawaban itu sebatas rayuan gombal saja. Sayangnya, Arum begitu mengenal pria di depannya ini. Sejak awal, dari kecil dia tak pernah berbohong sama sekali."Mas jangan bicara membual begitu, geli aku dengarnya."Elang menatap lekat ke arah Arum. "Aku sudah mencoba, tapi itu langsung keluar begitu saja dari mulut ini, gimana dong." Goda Elang pada istrinya seraya mengelus perut Arumi. Kali ini, Arum mengelus rambut suaminya. "Sejak kapan sih jadi lebay gini kamu, Mas.""Dari a
Hawa sejuk terasa membelai kulit wajah saat Arum masih di depan Levin. Sesekali, kerudung pashmina yang menutupi kepala melambai-lambai diterpa angin sore. Arum masih terpaku oleh pengakuan Levin yang masih berada di dekatnya. "Rum ...."Tangan Levin terulur dan menyentuh tangan Arum yang masih berada di depannya. Levin menelan saliva seiring rasa rindu yang menyeruak. Sementara Arum menjauhkan tangannya dari Levin, ia sedikit terkejut beraninya Levin menyentuh tangannya. "Kami permisi, Levin."Levin menarik napas pelan. "Please sebentar lagi, Rum."Entahlah, kali ini Arum merasakan ketidak nyamanan. Meskipun hati Levin rasanya menjadi ringan dan lebih tenang. Namun tidak dengan Arum dan sang Mama mereka begitu takut. "Jika waktu bisa berputar aku tak akan menyakitimu, Rum." Jelasnya dengan nada serak. Arum menghela napas dalam. Untuk beberapa saat, ia hanya terdiam."Aku enggak akan melepasmu, Rum."Arum tersenyum tak enak sambil menggelengkan kepala. Entah kalimat apa yang tadi
"Cerai...?" tanya Arum dengan muka seolah tak percaya. "Iya.""Kamu yakin, Mila?" tanyanya lagi Arum pada sahabatnya semasa SMA dulu, mereka bertemu setelah beberapa tahun lamanya dipertemukan di rumah sakit saat Arum memeriksakan kandungannya. "Ya.""Ini aku tak salah dengar? Sudah kamu pikirkan baik-baik."Kerongkongan Kamila begitu kering, ia menelan saliva yang begitu pahit. Tak pernah terpikirkan akan seperti ini pernikahannya. "Nyatanya sampai sekarang aku hanya ia jadikan pelampiasan lelahnya saja, Hati Mas Erlan hanya untuk wanita itu saja kan, sejak saat acara reuni itu mungkin saja hatinya sudah beralih untuk wanita itu. Rasanya begitu sakit jika menginggat selama dua tahun suaminya tak peduli dengannya bahkan suaminya lebih sering ke luar kota atau mungkin singgah di rumah wanita itu. "Kalian punya Alifa lo, Mila. Kau tau kan bahkan kau pernah diposisi itu 'bukan?" tanya Arum. Kamila tercengang mendengar itu dari mulut Arum, begitu jelas bahwa dirinya pun korban broke
Kamila terus mengguyur tubuhnya dengan shower hingga air itu bisa menghapus sudut matanya yang terasa basah. Runtuh sudah ketegaran Kamila saat menginggat vidio yang dikirim oleh nomor yang gak ia kenal. Kamila mugkin saja murka atas kebodohannya yang telah salah menilai mempertahankan pernikahannya. Setelah mandi basah, Kamila menunaikan ibadah salat subuh. Kamila merasa begitu lelah, tentang hidupnya yang separuh dari hatinya telah menghilang. Suaminya baru kembali dari urusannya bersama bosnya ke luar kota. Tak lupa Kamila memulai rutinitas bersih-bersih senbari membuat sarapan buat suami juga anaknya. Selesai membuat darapan Kamila menyuapi Alifa dengan nasi goreng sosis requestnya semalam. Terakhir memberikan satu gelas susu, dan bersiap mengantarkan Alifa ke sekolah. Toh ... di rumah hanya semakin membuat Kamila menjadi gila karena mengingat foto-foto itu. Senyum lembut dan kehangatan serta cinta suaminya dulu yang selalu menatapnya dengan binar rindu yang sama. Kamila rindu
Terkadang enggak mudah buat bersikap seolah enggak pernah terjadi apa-apa di antara Kamila dan Erlan. Ada jarak yang tercekat antara keduanya, ada wanita itu yang menjadi penggoda di tengah pernikahan mereka. Namun Kamila harus kuat demi sang buah hati. Bahkan Kamila bisa kuat bertahan dan melaluinya juga sampai saat ini hanya karena Alifa putrinya. "Kamila.... ""Aku mau tidur, Mas.""Mila, pliss," tangan Erlan memegang bahu Kamila, namun segera di tepis olehnya. "Sudah ya, Mas. Aku enggak mau bahas soal ini lagi, urus saja wanitamu itu.""Mila, kita perlu bicara?"Kamila duduk bersandarkan sofa dan mengambil posisi paling ujung sofa dan Erlan berjalan dan ikut duduk mendekati Kamila. "Silahkan bicara, Mas."Rongga dada Kamila mulai sesak. "Ya, aku salah, Mila. Aku sering mengabaikamu beberapa tahun terakhir ini, aku akan perbaiki ini semua."Erlan berusaha mengenggam tangan Kamila, Kamila mencoba tersenyum meskipun hatinya perih. "Aku sudah berusaha untuk kuat, Mas. Namun aku s
Dada Kamila berdetak lebih cepat, sesaat ia menatap ke arah cermin dan bergetar mengoles bibir dengan lipstik warna natural, membubuhkan bedak padat tipis-tipis, lalu mengambil jilbab pashmina. Dan berjalan menuju ruang depan. Karena Alifa sudah menunggu untuk diantarkan mengaji, Alifa sudah siap dengan pakaian syar'inya. "Sudah siap, sayang?""Sudah, Ma.""Baiklah, kita berangkat ya?""Iya, Ma."Meski jarak untuk mengaji dengan rumahnya tak terlalu jauh, namun Kamila tidak tega karena girimis membasahi bumi. Kamila dan Alifa berjalan menggunakan payung untuk sampai di tempat mengaji. Kamila berharap Alifa mempunyai ilmu yang bermanfaat agar bisa buat bekal saat menjalani kehidupan. Kehidupan terus berjalan dengan segala aktifitas dunia. Aktifitas yang tidak ada habisnya. Sederet panjang kegiatan dua puluh empat jam sehari membuat Kamila terus menerus melakukan aktivitas tersebut berulang. Kamila ingin memberi bekal Alifa menuntut ilmu agama. Tak terasa mereka sudah sampai di TPQ