POV RastiAir mataku menetes mendengar bentakan Mas Damar di seberang sana. Walau hanya lewat telepon, tapi bentakan Mas Damar sukses meremukkan hatiku yang memang sudah rapuh.Setelah memberi perintah, tanpa menunggu persetujuan dariku, Mas Damar langsung mematikan teleponnya sepihak.Segera kukembalikan ponsel pada Bella yang berdiri di depanku dengan pandangan meremehkan."Cepat pergi! Jangan sampai waktu berhargaku dengan Mas Damar hari ini jadi sia-sia karena kau tak mau menggantikannya!"Aku terkejut mendengar perkataan Bella. Pasalnya baru kali ini aku mendengar Bella berucap kasar begitu. Sebelum-sebelumnya jika ada Mas Damar, ia pasti selalu berucap dengan lemah lembut pada siapapun.Usai berkata begitu, Bella langsung keluar dari kamarku begitu saja. Berulang kali aku menghela napas untuk meringankan sesak yang terasa begitu menghimpit dada. Kuusap air mata yang masih membasahi pipi sejak tadi.Kenapa Mas Damar begitu tega denganku sekarang? Aku tahu aku dulu salah. Tapi ap
"Kenapa dokter bertanya begitu, Dok?" Tanyaku dengan hati berdebar."Begini, Mbak ... Setelah hasil tes darah keluar, ternyata di sini tertera bahwa Pak Danis terinfeksi virus HIV."Duaarr!Serasa ada bom yang meledak di sekitarku mendengar penjelasan dokter tersebut. Walau Mas Danis tak begitu dekat denganku, tapi mendengar ia terinfeksi virus seperti itu jelas aku syok.Pikiranku langsung berkelana pada Mbak Diana yang selama ini jadi pasangan Mas Danis. Aku juga tahu bahwa Mbak Diana adalah PSK via aplikasi. Jangan-jangan dari dialah Mas Danis terinfeksi virus tersebut."Tapi hasil tes darah biasa ini belum tentu akurat, Mbak. Kami akan melakukan tes ELISA lagi untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Dan paling lama akan memakan waktu tiga hari," tambah dokter itu lagi.Aku hanya bisa mengangguk saja menyetujui. Sumpah aku syok dan bingung sekali saat ini. Harusnya berita sepenting ini didengar langsung oleh keluarga inti Mas Danis, bukan aku yang hanya ipar.Usai berbincang beb
"Yakin Mbak ikhlas?" Tanya Mas Rasyid penuh selidik.Aku hanya terdiam, tak sanggup menjawab. Sebenarnya tanpa ditanya pun mungkin orang sudah tahu kalau hatiku tak ikhlas dimadu. Tapi apa boleh buat? Aku terlalu takut pisah dari Mas Damar.Mas Rasyid menatapku penuh arti, seolah tahu apa yang ada di dalam hatiku."Kalau tak ikhlas, kenapa Mbak bertahan?" Tanyanya makin kepo. "Aku terlalu takut pisah dari Mas Damar, Mas," jawabku dengan pandangan menerawang."Kenapa begitu? Apa Mbak sangat mencintainya?"Aku menggeleng lemah."Ada sesuatu yang memberatkanku untuk berpisah darinya, Mas."Hanya itu jawaban yang dapat kuberikan untuk Mas Rasyid. Ia yang seolah paham bahwa aku tak ingin membahasnya pun langsung terdiam.Braak!Kami yang sedang saling diam langsung terlonjak kaget saat pintu kamar dibuka dengan keras. Dan di ambang pintu tersebut sudah muncul Mas Damar dengan raut wajah merah padam menahan amarah."Oh, begini rupanya kelakuanmu ya? Enak-enakan berduaan dengan lelaki lain,
"Bella, kamu ngapain lagi balik ke sini sih?" Pembicaraan kami terhenti saat tiba-tiba Mas Damar muncul kembali di ambang pintu. Ia menatap ke arahku dan Bella dengan raut tak suka."Aku cuma kasihan sama Rasti, Mas, dia pasti kesepian sendirian begini," sahut Bella kembali berlemah lembut. Membuat aku ingin muntah. Ternyata benar-benar wanita di hadapanku ini adalah wanita bermuka dua. Ia hanya bersikap lembut saat ada Mas Damar saja. Tapi harusnya aku paham itu, karena rata-rata begitulah sifat seorang madu."Aku sudah bilang, aku bisa sendiri dan sedang ingin sendiri. Kenapa kalian harus datang lagi kemari?" Ucapku sembari menatap mereka dengan datar."Hei, dasar tak tahu terima kasih kau! Harusnya kau berterima kasih dengan Bella yang selalu perhatian. Ini malah begini sambutanmu padanya!" Sentak Mas Damar kembali membela Bella."Terserah Mas lah! Yang penting aku ingin sendiri. Jadi lebih baik kalian pergi. Lagipula besok juga paling aku sudah pulang, seperti keinginanmu kan, B
"Kasihan Rasti dong, Mas. Dia juga perlu istirahat lho," ujar Bella membuat aku ingin sekali menonjok wajahnya yang dimanis-maniskan itu."Kamu jangan terlalu baik juga, Sayang. Nanti dia ngelunjak."Dadaku sesak kembali mendengar penuturan Mas Damar. Aku memilih mengabaikan mereka, dan menyibukkan diri memasak bubur yang baru untuk Ibu.Entah apa lagi lah yang suami-istri itu perbincangkan. Mungkin lebih baik aku tak perlu tahu, dari pada harus sakit hati mendengar kemesraan mereka.Tak perlu menunggu lama, bubur untuk Ibu pun matang. Aku langsung membawanya ke kamar hendak menyuapinya kembali.Bella sudah tak terlihat lagi di luar kamar. Mungkin ia sudah selesai video call dengan Mas Damar."Makan lagi ya, Bu? Aku sudah buat bubur yang baru," tawarku pada Ibu yang terlihat begitu menderita di atas ranjangnya. Membuat aku begitu iba.Ibu hanya mengangguk samar menanggapi tawaranku. Perlahan, aku menyuapi Ibu yang terlihat begitu lahap kini. Membuat air mataku menetes mengingat soal b
Tanpa memperdulikan raut kecewa yang terpampang di wajahku, Mas Damar keluar begitu saja sembari menggandeng Bella yang terlihat begitu cantik dengan riasan tipis di wajahnya.Siapapun yang melihat Bella sekilas, pasti tak menyangka bahwa wanita itu punya sifat yang kejam.Setelah kepergian mereka, aku memilih masuk ke kamar Ibu dan mengurusi beliau.Selesai mengurus Ibu, aku lanjut ke aktivitas seperti hari-hari biasanya, memasak dan mengurus rumah.Tengah sibuk menjemur pakaian, aku dibuat heran saat sebuah mobil berhenti di depan rumah Ibu. Itu bukan mobil Mas Damar, dan tak mungkin juga Mas Damar yang baru saja berangkat sudah pulang lagi.Kutinggalkan begitu saja pakaian yang belum selesai kujemur itu. Lalu beralih ke arah mobil tersebut.Lagi-lagi aku dibuat terkejut saat melihat Mas Danis dan perawat yang waktu itu menjaganya turun dari mobil tersebut.Mas Danis terlihat terhuyung turun dari mobil, wajahnya pun begitu pucat. Dengan sigap, aku menyongsong mereka dan ikut membant
"Oh ya, jatah Ibu untuk terapi dan yang lainnya juga sudah aku berikan pada Bella ya," ujarnya lagi pada Ibu.Raut wajah Ibu langsung berubah, seolah tak setuju dengan keputusan Mas Damar. Melihat itu, Mas Damar pun langsung peka dan mencecar Ibu."Kenapa, Bu? Ibu gak terima?" Tanyanya angkuh."Harusnya Ibu bersyukur, aku selalu memberi nafkah ke Ibu dengan begitu melimpah. Jadi sekarang biarkan Bella dululah yang merasakan bahagia bersamaku. Ibu kan sudah puas selama ini dapat nafkah yang lebih-lebih dari aku dan Mas Danis--.""Damar, cukup!" Mas Danis yang sudah tak tahan lagi pun membentak Mas Damar yang terus saja mencerocos."Apa, Mas? Apa aku salah? Enggak kan? Memang selama ini kenyataannya begitu kan? Rumah tangga kita hancur karena apa kalau bukan karena Ibu? Karena Ibu yang selalu mengatur jatah uang untuk istri-istri kita. Harusnya Mas sadar itu!" Sahut Mas Damar dengan nada yang tak kalah tinggi.Ibu yang mendengar perdebatan dua putranya itu langsung menangis tergugu. Mun
"Astaghfirullah, Mas ... Itu gak benar. Aku berani sumpah kalau Bella memang hanya memberiku uang seratus ribu," bantahku tak terima dengan segala tuduhan Bella."Ya, itu benar, Mar. Mas sendirilah yang menyaksikan kalau Bella memberi Rasti uang segitu. Bahkan Mas yang tambahin uang belanja untuk Rasti, karena kasihan liat Rasti yang kebingungan dengan uang belanja yang begitu minim itu." Mas Danis tiba-tiba keluar dari kamar dan menimpali perkataanku.Mas Damar terlihat dilema saat ini. Ia pasti bingung harus percaya yang mana. Satu lawan dua orang, tentu lebih bisa dipercaya yang dua orang. Tapi itu sepertinya tak berlaku untuk Mas Damar, yang langsung iba saat melihat Bella berurai air mata dan sesenggukan."Aku tahu kalian tak suka denganku. Tapi tolong jangan seperti ini. Aku tahu dan mendengar pembicaraan kalian tadi pagi saat bersekongkol ingin mencatut uang belanja itu lho," lirih Bella dengan perkataan penuh dusta.Aku dan Mas Danis yang mendengarnya langsung menggretakkan g