Share

2

Rheyner segera melajukan motornya setelah Nadira duduk di boncengannya. Namun, Rheyner tidak melajukan motornya menuju komplek rumah mereka. Ia sengaja membelokkan motornya menuju restoran yang akan digunakan untuk merayakan kemenangan tim basketnya.

Berkali-kali Nadira protes, tetapi tidak digubris oleh Rheyner. Akhirnya Nadira hanya diam. Sampai beberapa saat kemudian mereka sampai di restoran yang tidak begitu jauh dari sekolah. Rheyner sudah mematikan mesin motornya, tetapi Nadira tak kunjung turun.

“Turun, Nad. Nggak lapar apa?”

“Kata kamu tadi mau ngantar aku pulang, kenapa ke sini?”

“Gue ‘kan nggak bilang langsung pulang tadi.” Rheyner tersenyum penuh kemenangan. Nadira turun dari motor Rheyner dengan wajah cemberut yang selalu terlihat lucu di mata Rheyner. Rheyner mengacak rambut Nadira. 

“Nggak usah manyun gitu deh. Yuk, masuk.” 

Rheyner menggandeng tangan Nadira. Di dalam sudah ada tiga teman Rheyner yang tadi ditugaskan untuk mencari tempat. Rheyner menggandeng Nadira menuju tempat ketiga temannya. Di antara ketiga teman Rheyner, Nadira hanya mengenal satu orang saja, yaitu Panji. Panji adalah sahabat Rheyner dari kecil juga dan menganggap Nadira sebagai adik. Sesampainya di tempat duduk Rheyner tak kunjung melepaskan pegangan tangannya pada Nadira.

“Widiiih, gandengan baru Rhey?” tanya salah satu teman Rheyner. Satu temannya yang memakai topi bersiul menggoda.

“Gandengan ‘pala lo peyang! Adik gue nih,” kata Rheyner yang langsung menyuruh Nadira duduk di antara dirinya dan Panji. “Namanya Nadira.”

Nadira tersenyum ramah dan menganggukkan kepalanya dengan sopan.

“Hai, Nadira, gue Arfa,” kata si cowok yang menyapa Rheyner tadi. “Kalau ini Erga, seangkatan sama lo.” Arfa menunjuk cowok yang memakai topi di sebelahnya. Nadira kembali tersenyum dan memperkenalkan dirinya lagi meski Rheyner sudah mengenalkannya.

“Setahu gue, adik lo ‘kan cowok semua, Rhey. Terus ini adik apa, adik ketemu gede maksudnya?” tanya Arfa kepo.

“Kepo banget deh lo, Fa,” cela Erga. Arfa melirik Erga cuek.

“Ya emang bukan adik kandung sih. Pokoknya dia ini adik gue jadi jangan macam-macam sama dia,” ucap Rheyner sembari membuka buku menu.

“Elah, kedok lo doang kan ini. Sebenarnya dia cewek lo kan, ngaku lo!” Arfa masih tidak percaya.

“Berisik banget deh lo, Fa, ganggu gue aja,” kata Panji sebal seraya menaruh ponsel yang sejak tadi menjadi pusat perhatiannya. “Dira ini sahabat Rheyner dari jaman masih piyik sampai sekarang dan udah kayak adiknya gitu. Rumah Dira ini yang berseberangan sama rumahnya Rheyner. Kamar mereka juga,” jelas Panji berusaha menghentikan kekepoan Arfa. Ia menyapa Nadira sekilas lalu kembali tenggelam bermain game pada ponselnya lagi.

“Oh, jadi lo cewek yang sering duduk di balkon seberang kamar Bang Rheyner sambil baca buku itu ya? Gue pantesan kayak pernah liat lo,” celetuk Erga.

“Iya,” jawab Nadira singkat.

“Wah, kalo kalian cuma sahabatan berarti gue ada kesempatan dong ya, Rhey,” canda Arfa.

“Oh, kalo gitu berarti lo cari mati sama gue,” Rheyner memukulkan buku menu ke kepala Arfa.

“Sama gue juga,” sahut Panji.

“Sewot amat, Mas!” Arfa mengelus kepalanya.

Rheyner tidak menjawab. Dia malah asyik memainkan ponselnya. Sedangkan Nadira hanya bisa diam memperhatikan Arfa dan Erga yang saling mengusili. Tidak lama kemudian anak-anak tim basket berdatangan. Mereka segera larut dalam perayaan sederhana itu. Dan lagi-lagi yang bisa dilakukan oleh Nadira hanyalah diam.

***

“Kenapa sih, Nad, dari tadi diam mulu?” tanya Rheyner sesaat setelah Nadira turun dari motor Rheyner. Saat ini mereka ada di depan rumah Nadira setelah pulang dari perayaan kemenangan tim basket sekolah mereka.

“Siapa suruh kamu ngajak aku ke sana,” Dira berkata sesinis yang ia bisa. Rheyner langsung bisa menangkap arti kata ‘sana’ yang dimaksud oleh Dira.

“Astagaa, Nadira Almira… ya udah sih nggak usah sinis dan ngambek gitu. Gue tahu lo nggak bisa ngomong sinis gitu apalagi sama gue ini.” Rheyner mengerling jahil. “Lagian sekarang lo jadi kenal sama teman-teman basket gue ‘kan. Jadi besok-besok lo nggak usah sembunyi-sembunyi kalo nungguin gue main basket. Terus kalo gue nggak ada buat lindungin lo, seenggaknya sekarang bukan cuma Panji yang gantiin gue karena teman-teman gue juga pasti akan senang hati menggantikan tugas mulia gue itu,” Rheyner berkata panjang lebar.

“Dih, bisa banget ngebela dirinya! Udah sana pulang, aku mau masuk.” Nadira bergegas meninggalkan Rheyner setelah mengucapkan terima kasih dengan ketus. Namun, Rheyner dengan cekatan menarik pergelangan tangan Nadira. Nadira menatap Rheyner dengan tatapan ‘apa lagi sih?’.

“Jangan marah sama gue, Nad, please,” mohon Rheyner.

Nadira menatap sorot mata Rheyner lekat dan mengembuskan napas. “Aku pikir-pikir dulu deh,” kata Nadira yang langsung disambut senyuman lebar oleh Rheyner. Rheyner tahu Nadira tidak mungkin bisa marah lama kepadanya.

“Ya udah gih masuk. Jangan lupa mandi pakai air hangat.” Rheyner melepas tangan Nadira dan beralih menepuk kepala Nadira lembut. Nadira hanya menggumam seadanya dan berlalu dari hadapan Rheyner.

Rheyner masih memperhatikan punggung Nadira sampai tidak terlihat lagi. Kemudian ia mengarahkan motornya menuju rumahnya yang berada tepat di depan rumah Nadira dan hanya dibatasi jalan selebar 5 meter.

Rheyner dan Nadira memang sangat dekat. Kedua orang tuanya bersahabat sedari duduk di bangku kuliah. Ibu mereka bahkan masih bersaudara meskipun saudara jauh. Jadilah dua keluarga ini sangat dekat. Rheyner bahkan memanggil orang tua Nadira seperti Nadira memanggil orang tuanya, begitupun sebaliknya. Kedua adik Rheyner pun cenderung lebih dekat dengan Nadira meskipun keduanya laki-laki. Adik bungsu Rheyner saja dulu tidak tahu kalau ternyata Nadira bukan kakak kandungnya, karena sejak ia lahir Nadira sudah jadi bagian keluarganya.

Rheyner menyayangi Nadira sebagaimana ia menyayangi adik-adiknya. Bagi Rheyner, Nadira adalah adik perempuan satu-satunya yang harus ia jaga dan lindungi dari apa pun sehingga terkadang ia over protective terhadap Nadira. Selain sebagai adik, Nadira adalah sahabat perempuan satu-satunya yang mengerti Rheyner lebih dari siapa pun sejak kecil. Nadira itu sangat special untuk Rheyner.

***

Waktu menunjukkan pukul 21.00 saat Nadira membuka pintu kaca menuju balkon kamarnya. Nadira duduk di ayunan kayu yang sengaja diletakkan di sana. Matanya menerawang langit tanpa bintang. Hanya ada awan kelabu yang menghiasi langit membuat suasana malam sedikit mencekam. Sesekali Nadira mengusap lengannya untuk memberi efek hangat saat angin malam menerpa.

Nadira mengalihkan pandangan pada sekeliling dan berhenti pada sosok yang tengah berdiri menatapnya dengan kedua tangan di depan dada tepat di balkon yang letaknya di seberang. Nadira buru-buru mengalihkan pandangan ke arah langit lagi. Tiba-tiba smartphone miliknya berbunyi. Rheyn calling.

“Ngapain jam segini masih di luar?” cerocos Rheyner begitu Nadira menslide answer.

“Ngelihat bintang.”

Alasan, bintangnya nggak keliatan juga. Buruan masuk terus tidur!”

“Ya ampun, Rheyn, ini baru jam 9 dan aku udah bukan anak kecil lagi!” protes Nadira

Mau nurut dan ngelakuin sendiri atau mau gue yang seret lo masuk dan ngunciin kamar lo?” ancam Rheyner.

“Iya-iya, aku masuk.” Nadira berdiri. Kemudian Nadira menutup pintu kacanya dan menyibakkan gorden. Tidak lupa sebelum menuju ke ranjang Nadira meredupkankan lampu kamar agar Rheyner percaya ia akan segera tidur. “Ya udah, aku mau tidur.”

Oke, besok jangan telat bangun. Gue nggak mau kalo harus nungguin lo.”

 “Siapa yang mau berangkat bareng kamu? Aku ‘kan masih tahap mikir-mikir maafin kamu.”

Ya, ya, terserah lo yang jelas besok lo tetap harus bareng gue. Cepat tidur, sweet dream, Dek.” Rheyner langsung memutuskan percakapan.

Nadira menghempaskan tubuhnya dengan sebal kemudian segera menarik selimut untuk menutupi tubuh dan memejamkan mata. Sementara di luar sana Rheyner masih memandangi kamar milik Nadira yang sudah remang. Ia sudah bertekad bahwa mulai besok tidak akan menyembunyikan kedekatannya dengan Nadira lagi. Ia ingin memanfaatkan waktunya sebelum lulus untuk menjaga Nadira. Rheyner tidak ingin siapa pun mengganggu Nadira. Rheyner yakin orang yang akan menganggu Nadira pasti akan berpikir dua kali setelah mereka tahu Nadira dekat dengan Rheyner mengingat reputasi bela diri Rheyner yang tidak perlu diragukan lagi.

Setelah merasa yakin Nadira sudah tidur, Rheyner pun segera masuk ke kamarnya untuk tidur juga.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status