Share

3

Rheyner memarkirkan motornya tepat di depan garasi rumah Nadira. Ia masuk ke rumah Nadira dengan santai seolah rumah itu adalah rumahnya juga. Rheyner tersenyum melihat Nadira tengah menuruni tangga dengan ransel tergantung di bahu. Sementara Nadira langsung manyun begitu matanya bersiborok dengan Rheyner.

"Morning, cewek ngambekan," sapa Rheyner

"Aku nggak mau berangkat sama kamu!" kata Nadira yang masih bertahan dengan sikap ketusnya kemarin. 

"Dan gue bakalan tetap maksa lo buat berangkat bareng gue."

"Kalo aku nggak mau ya nggak mau!" Sejujurnya Nadira bukan masih marah kepada Rheyner, tetapi ia sudah dapat membaca maksud Rheyner. Rheyner sudah tidak ingin menyembunyikan persahabatan mereka lagi.

"Ini ada apa ribut-ribut, ayo sarapan." Rendra, ayah Nadira, yang baru keluar dari ruang kerja menghampiri dan menginterupsi pertengkaran kecil mereka.

"Ayah, Dira berangkat sama Ayah, ya." Dira melingkarkan tangannya pada lengan ayahnya dengan manja.

"Memang kenapa? Biasanya bareng sama Rheyner. Ini juga Masmu udah di sini ‘kan?" Rendra mengernyit heran.

"Tahu nih, Yah, dari kemarin ngambek nggak jelas sama Rheyner," adu Rheyner sembari berjalan menghampiri ibu Nadira. "Pagi, Bu!" sapa Rheyner pada ibu Nadira yang sedang menyiapkan sarapan.

"Pagi, Nak."

"Ibu, aku sarapan sini ya?" pinta Rheyner.

"Ih, gak usah sok imut deh, Rheyn," cibir Nadira ketika mendengar suara manja Rheyner.

"Daripada sok-sokan ngambek," Rheyner menjulurkan lidahnya.

"Kalo sudah di meja makan nggak boleh ribut, ah, Ibu nggak suka. Sekarang duduk dan makan," lerai Dewi, ibu Nadira, yang datang dari dapur membawa piring saji.

"Iya maaf, Bu," jawab Rheyner yang sudah duduk manis tepat di depan Nadira duduk. 

"Ya udah ini makan." Dewi meletakan sepiring besar roti bakar di tengah meja makan. Lalu ia duduk di sebelah Nadira dan menatap suami serta anak-anaknya melahap roti bakar buatannya dengan suka cita.

"Ibu nggak makan?" tanya Nadira menatap ibunya.

"Ibu lihat kalian makan aja udah kenyang rasanya. Padahal cuma roti bakar tapi kalian begitu menikmatinya."

"Yang penting itu kebersamaannya kali, Bu." Rheyner menghentikan kunyahannya.

"Iya. Ibu senang ada kamu sama adik-adikmu yang membuat Ibu merasa punya banyak anak. Ibu berharap kalian terus seperti ini, menganggap Ibu dan Ayah sebagai orang tua kandungmu dan adik-adikmu."

"Itu pasti, Bu. Makasih juga udah menganggap Rheyner sama adik-adik kayak anak sendiri. Kami bahagia, Bu, Yah. Rheyner janji selamanya bakalan tetap kayak gini, tetap jadi anak Ibu sama Ayah.” Rheyner menatap kedua orang tua Nadira sungguh-sungguh, sedangkan Nadira menatap Rheyner tak percaya sekaligus terharu.

“Kok jadi melankolis, mending kalian cepat berangkat nanti malah terlambat.” Rendra mengembalikan keadaan seperti tadi agar suasana tidak mengharu biru.

“Dira ‘kan belum jadi sarapan, Yah,” rengek Nadira. Nadira akan berubah manja jika ayahnya pulang. Maklum, Rendra bekerja di pertambangan sehingga jika tidak ada urusan di kantor pusat hanya akan pulang 3 bulan sekali. 

“Buat bekal aja ya. Ibu siapin, kasihan Rheyner juga kalau harus nunggu lama.” Ibu beranjak dari duduknya untuk mengambil kotak makan.

“Sebenarnya nggak bakal telat juga sih, Yah, masih jam segini. Tapi berhubung adik tercantik ini suka jerit-jerit meski Rheyner baru pakai kecepatan rata-rata motor Rheyner, makanya kami emang harus berangkat pagi, Yah,” kata Rheyner sebelum menyuapkan potongan roti bakar terakhir ke mulutnya.

“Aku nggak selebay itu kali, kamunya aja yang suka ngebut. Bikin jantungan.” Nadira tidak terima.

“Motor Rheyner ‘kan motor sport, Dir, jadi ya tetap kencang,” bela Ayah sembari menyeruput kopi hitamnya.

Rheyner memeletkan lidah ke arah Nadira yang memandangnya kesal.

“Ini bekalnya, satu untuk Dira satu untuk Rheyner.” Dewi menyerahkan kotak bekal kepada Nadira dan Rheyner yang sudah berdiri di samping kursi Nadira.

“Makasih, Bu,” kata Rheyner. “Rhey pamit ya, Bu, sekalian minta izin Nadira pulang sore nanti. Biasa, Rhey basket dulu,” pamit Rheyner pada ibu dan ayah Nadira sembari mencium punggung tangan mereka takzim.

“Iya nggak papa asal nanti jangan lupa makan dan hati-hati,” pesan Dewi yang diangguki oleh Rheyner.

“Dira berangkat, Bu, Yah,” ganti Nadira yang mencium tangan kedua orang tuanya.

Selanjutnya Nadira melangkahkan kakinya keluar rumah menyusul Rheyner yang sudah keluar terlebih dulu. Rheyner sudah duduk manis di motornya menunggu Nadira yang berjalan ke arahnya lengkap dengan muka manyun. Rheyner mengangsurkan helm yang ia beli khusus untuk Nadira. Nadira menerima helm itu dan memakainya asal. 

“Kaitin dululah, Nad.” Tangan Rheyner terulur untuk mengaitkan tali pengaman pada helm yang dipakai Nadira bersamaan dengan ucapannya barusan.

Nadira mengabaikan perlakuan manis Rheyner tersebut dan langsung mendudukan dirinya di jok motor Rheyner. Rheyner segera melajukan motornya tanpa Nadira mengomando. Tak sampai 20 menit motor Rheyner sudah berada di halaman parkir sekolahnya seperti biasa. Namun, suasana di tempat parkir itu tidak biasa karena berpasang-pasang mata tanpa canggung memandang Rheyner sejak memasuki gerbang sekolah. Ya, bukan hal baru sebenarnya kalau Rheyner menjadi pusat perhatian murid di sekolah khususnya kalangan murid perempuan. Lagian siapa sih murid di sekolah ini yang tidak tahu Rheyner, si kapten basket sekaligus atlet karateka terbaik tingkat provinsi dengan kegantengan tanpa cela dan kerendahan hati di atas rata-rata yang kalau marah bisa menjadi mengerikan itu? Asingkan sajalah orang yang tidak tahu siapa itu Rheyner. 

Oke, sejenak lupakan fakta itu karena kali ini bukan Rheyner yang menjadi pusat pemandangan hampir seluruh murid yang dilewati Rheyner tadi. Perhatian murid-murid itu terpusat pada sosok yang berada di boncengan motor Rheyner. Pagi ini Rheyner benar-benar nekat membawa Nadira masuk sekolah bersamanya. Meskipun setiap hari mereka berangkat bersama, mereka tidak pernah sekalipun memasuki gerbang sekolah bersamaan karena alasan Nadira yang menurut Rheyner tidak masuk akal. Nadira tidak ingin diketahui memiliki hubungan dekat dengan Rheyner.

Nadira menginjakkan kakinya di tanah dengan perasaan campur aduk. Kesal, malu, takut, gugup juga khawatir menjadi satu. Namun, sepertinya perasaan khawatir lebih mendominasi. Nadira menyodorkan helm yang tadi ia pakai pada Rheyner.

“Cuek aja. Mereka kayak gitu karena belum terbiasa lihat lo sama gue,” kata Rheyner saat menerima helm yang disodorkan Nadira.

“Aku bukan kamu yang bisa bersikap kayak gitu, Rheyn. Taruhan sama aku kalo habis ini pasti bakalan banyak cewek yang ngelabrak aku kayak—”

“Jangan pernah ungkit hal yang bikin lo takut!” potong Rheyner cepat.

“Rheyner, kamu tahu pasti berapa banyak cewek populer di sini yang berusaha dapatin perhatian kamu dan kamu berusaha cuekin mereka,” ucap Nadira yang diangguki Rheyner. “Terus kamu pikir apa mereka akan tinggal diam lihat kamu bareng aku yang bukan siapa-siapa ini?” tanya Nadira cemas.

“Nad, gue rasa saat ini lo cuma terlalu takut untuk berpikir positif karena lo pernah ngalamin hal buruk. Percaya sama gue kalo semua itu nggak bakal terjadi lagi. Gue bakal jagain lo. Dan mereka juga nggak akan berani macam-macam sama lo.” Rheyner berusaha meyakinkan Nadira.

“Tapi gimana kalo setelah ini kamu digosipin macam-macam yang bakal merusak image baik kamu selama ini?”

“Yang lo takutin kena gosip tuh lo apa gue? Gue sih biasa digosipin. Lagian lo tuh aneh, cewek-cewek di sini bakalan senang kalo digosipin sama gue nggak kayak lo.” Rheyner sedikit merapikan rambutnya yang acak-acakan sebelum turun dari motornya.

Nadira masih berdiri di samping motor Rheyner dan memperhatikan sekelilingnya yang masih dengan terang-terangan meliriknya.

“Ck, udah yuk gue anterin ke kelas.” Rheyner meraih pergelangan tangan Nadira. “Eh, bentar. Poni lo berantakan nih. Udah kepanjangan ini, Nad.” Rheyner menyelipkan beberapa anak rambut ke belakang telinga Nadira. 

Setelahnya Rheyner dan Nadira berjalan menuju kelas Nadira di lantai 2. Rheyner menggandeng Nadira dengan santai dan Nadira berusaha bersikap cuek dengan setiap tatapan iri, benci, dan menyelidik dari para murid khususnya perempuan. 

Tanpa Rheyner dan Nadira sadari ada dua pasang mata yang menatap mereka dari spot berbeda, tetapi dengan pandangan yang sama, iri.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Junai Edy Edy
cerita ny bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status