“Duuuh, aku capek, Bu.”Nesi mencari ibunya ke halaman depan sambil membawa sapu.“Loh, kamu belum selesai nyapu di dalem, Nes?”“Aku capek, Bu.”“Pura-pura bentar apa susahnya, sih? Si kep4rat itu belum keluar rumah,” ucap Bu Sulis pada anaknya. Sedangkan netranya terus mengawasi Lingga yang masih asik menyantap nasi goreng buatannya.“Kenapa Ibu gak lawan aja, sih? Tumben banget Ibu mau ngalah.”“Ssst. Jangan keras-keras! Pokoknya ikutin aja apa kata Ibu! Kita gak selamanya mengalah, kok. Ibu punya rencana lain. Sudah, sana! Pura-pura nyapu dulu!”Nesi terpaksa masuk kembali ke dalam rumah dan menyapu ruangan. Tapi wajahnya tak bisa bohong. Wajahnya cemberut saat mengerjakan semua ini. Maklum, sejak dulu dia selalu malas mengerjakan pekerjaan rumah. “Aku berangkat dulu. Semoga hari ini keterima kerja,” ucap Lingga pada sang istri.“Iya, Mas. Hati-hati. Aku selalu mendoakan yang terbaik buat kita. Semangat, ya,” balas Agnes dengan wajah penuh kepura-puraan.Selepas Lingga dan Bu Ine
“Jadi … selain buka usaha bengkel, kamu juga usaha jual beli motor bekas, No?” tanya Lingga keheranan. Dia tak menyangka kalau orang yang dulu dia remehkan, kini bangkit menjadi pengusaha sukses.“Iya, Ngga. Puji syukur Tuhan menitipkan semua ini padaku. Akan kurawat baik-baik.”Lingga menggeleng-gelengkan kepala. Dia begitu kagum dengan sosok Yono. Di saat dirinya menjalani hidup dengan penuh kesombongan dan kebohongan, Yono justru terus berlari mengejar mimpi dengan penuh ketulusan. Itu lah yang menyebabkan Lingga tertinggal begitu jauh. Tuhan dan semesta tak berpihak pada orang-orang sombong dan angkuh seperti dirinya. Tapi kini, saat dia baru meninggalkan semua sifat-sifat buruk itu, Lingga langsung dilimpahkan rejeki untuk memulai hidup yang baru. Tuhan begitu baik. Hanya kita yang terkadang terlalu bodoh untuk mengartikan maksud-Nya.“Jadi gimana? Apa kamu mau bekerja sama denganku, Ngga? Aku tak akan menjadi bos-mu, tapi rekan kerjamu.”Lagi-lagi, perkataan Yono membuat Lingga
“Loh, Mas. Mana pesenanku?” “Aku gak beli,” jawab Lingga dengan singkat. Dia hendak masuk ke kamarnya namun dicegah oleh Agnes. “Apa, Mas? Gak beli? Kamu gak denger aku ngomong apa di telpon? Beliin kami seblak dan cendol,” ucap Agnes dengan penuh penekanan. Dia berharap sang suami akan takut dan gegas kembali keluar rumah untuk membelikan apa yang dia mau. “Tolong sopan sama suami! Kamu gak boleh bentak-bentak aku seperti ini. Suami pulang, bukannya disediain makanan dan minuman, ini malah dimarahi. Kamu kan bisa beli sendiri.”“Ya uangnya mana?”“Aku kan udah kasi kamu uang tadi pagi. Dimana uang itu? Kamu habiskan?”Iya. Tadi pagi, sebelum Lingga keluar rumah, dia telah memberi istrinya uang sebesar dua puluh ribu. Itu untuk jajan Agnes pribadi. Walaupun sang istri tak terima dengan jumlah uang itu, Lingga tak peduli. Dia harus bisa mendidik sang istri untuk hemat. Dia dan ibunya mat1-mat1an banting tulang untuk mencari nafkah, sang istri justru menghambur-hamburkannya bersama d
Jam 4 pagi, Lingga sudah bangun dari tidurnya dan bersiap hendak kerja. Iya. Hari pertama masuk kerja, dia mendapatkan bagian shift pagi. Jam kerjanya dimulai jari jam 6 pagi hingga jam 2 siang. Di rumah Nyonya Sandra, terdapat 3 orang security, yang dibagi ke dalam 3 shift. Yang mendapat bagian shift malam, juga akan ditemani oleh tukang kebun di sana. Tukang kebun di rumah itu memang senang berjaga dan tidur di pos security. “Duuuh, dingin banget ….”Sehabis mandi, Lingga kembali masuk ke kamarnya. Dia melihat sang istri masih tertidur pulas. Padahal tadi malam, Lingga sempat memberi pesan pada istrinya untuk membuatkan dia sarapan. Dia harus berangkat kerja pagi-pagi buta.Tanpa menghiraukan sang istri, dia pun bersiap-siap untuk bekerja. Ibadah pagi juga telah dilakukan oleh Lingga sebelum memulai aktivitasnya. Sekitar 30 menit berada di kamar, Lingga kini pun keluar dari kamarnya dengan pakaian lengkap seorang security. Dia merasa, hidupnya kembali berwarna. Sempat terbersit ken
“Kok Ibu belum ke sini juga, ya?” Lingga mulai gelisah. Pasalnya, sang Ibu belum juga menampakkan batang hidungnya di rumah Nyonya Sandra. Dia khawatir dan terus bertanya-tanya. “Aku harus telepon Ibu,” ucap Lingga sambil memencet nomor di ponselnya.Teleponnya tersambung, namun tak kunjung diterima. Kemana sang Ibu? Lingga terus bertanya-tanya.“Apa Ibu mendadak gak enak badan, ya? Tapi biasanya Ibu akan selalu mengabariku. Coba aku telpon Agnes, deh.”Lingga begitu sibuk mengkhawatirkan kondisi sang Ibu sampai tak menghiraukan kedatangan mobil Nyonya Sandra. Merasa pegawainya asik sendiri, Nyonya Sandra yang baru datang sehabis mengantar cucunya ke sekolah, lantas mendatangi pos security.“Lingga … Lingga,” panggil Nyonya Sandra. Saking sibuknya, Lingga sampai tak mendengar panggilan itu. Sampai akhirnya supir pribadi Nyonya Sandra menepuk bahu Lingga dan menyuruhnya menjawab sapaan majikannya. Tentu Lingga merasa terkejut. Dia terperanjat.“Maaf, Bu,” ucap pria itu sembari menund
“Kita mau kemana, Bu? Iiish … aku kesel banget sama Mas Lingga,” gerutu Nesi.Kini, ibu dan anak itu harus berjalan kaki di tengah teriknya mentari sembari membawa tas besar dan juga koper mereka. Bu Sulis hanya mengantongi uang sebesar 50 ribu yang diberikan oleh Lingga kemarin. Sebenarnya itu jatah makan untuk satu keluarga hari ini, tapi dia tak memasak atau membelanjakan uang itu tadi pagi. Hingga saat dia diusir oleh Lingga, uang itu masih terlipat di dompetnya.“Coba kamu hubungi Husein!” titah Bu Sulis pada anaknya.Nesi terkejut hingga mulutnya terbuka lebar. Mau apa lagi sang Ibu menyuruhnya menelpon Husein? Bukankah mereka pindah ke kontrakan Lingga karena kabur dari Husein? Setelah berhasil pergi, kenapa sang Ibu justru ingin menyerahkan diri kembali?“Husein? Mau ngapain, Bu? A … aku gak mau.”“Ya, mau gimana lagi. Hanya dia yang kita punya. Lagipula, dia cinta m4ti sama kamu. Pasti tak akan masalah jika kita memanfaatkannya lagi.”“Aku gak mau, Bu. Aku gak mau sama pria b
“Silahkan, Mas! Nyonya sudah menunggu di dalam.”Sampai di rumah majikannya, Lingga tak langsung kembali ke pos security. Tapi dia diminta masuk ke dalam rumah mewah itu oleh seorang ART.Baru kali ini, Lingga bisa masuk ke dalam rumah mewah milik Nyonya Sandra. Setiap barang yang terpajang di sana terlihat mewah dan tentunya memiliki harga yang mahal. Sempat terbersit angan-angan untuk memiliki rumah semegah itu. Tapi itu tak akan mungkin terjadi. Dia tak memiliki apapun yang dibanggakan selain rasa syukur dan tekad yang kuat untuk bekerja dengan rajin.TokTokTokART yang bernama Mbak Sarni terlihat mengetuk pintu salah satu kamar yang ada di lantai dua.“Ini kamar siapa, Mbak?” bisik Lingga, sebelum pintu itu terbuka dari dalam.“Nona Clarissa.”Nama itu. Nama yang membuat Lingga datang kembali ke rumah majikannya dalam waktu cepat. Nama yang membuat dia penasaran sejak tadi. Siapakah pemilik nama itu?CeklekPintu pun terbuka. Terlihat sosok Nyonya Sandra yang tersenyum ramah ke
“Terserah apa katamu! Toh, aku juga gak bakal menerima tawaran itu,” ucap Lingga tak peduli.“Apa, Mas? Kamu gak mau menikahi anak orang kaya itu?” tanya Agnes, penuh keheranan. Lingga menggeleng, menjawab pertanyaan istrinya.“Bod0h kamu, Mas. Benar-benar, bod0h. Kesempatan emas seperti ini malah dilewatkan begitu saja. Ini satu-satunya cara untuk keluar dari garis kemiskinan. Memangnya kamu betah jadi orang misk1n terus?”Mendengar perkataan Agnes, Lingga dan ibunya menggelengkan kepala pelan. Tak habis pikir dengan isi kepala Agnes. Baru kali ini mereka mendengar seorang istri begitu mendukung suaminya untuk menikah lagi. Apakah Agnes ingin mengejar surga dengan mengambil keputusan berbagi suami? Ataukah ini hanya tentang hart4 dan status sosial? Jika mendengar setiap kata yang diucapkan oleh Agnes, sepertinya wanita itu menginginkan suaminya menikah lagi hanya karena calon madunya adalah anak orang kaya. Dia berharap mendapatkan bagian hart4 dari keluarga Nyonya Sandra.“Pikirkan,