Dua puluh lima tahun Anjeli hidup bersama keluarganya dibawah kendali keluarga besar Prajanata, akhirnya ia bisa merasakan udara bebas setelah meninggalkan kediaman Prajanata yang begitu menyesakkan. Namun bukannya menghirup udara bebas, justru Anjeli ditumpahkan segala masalah oleh keluarganya sendiri. Takdir seolah mempermainkannya, kondisi yang mendesak membuatnya harus menerima kenyataan jika ia akan menikah dengan tuan muda Prajanata demi melunasi utang keluarganya. Ghatan, pewaris tunggal Prajanata Group yang terkenal kejam. Bagaimana Anjeli menjalani hidupnya di sebuah rumah bersama pria yang tak lain adalah bosnya sendiri?
Lihat lebih banyakGhatan pulang ke apartemen dengan panik, begitu masuk ke dalam hal pertama yang dicari adalah keberadaan Anjeli dan sedikit tenang saat melihat Anjeli sedang menonton tv.Dia bernapas lega, memandang lurus punggung itu. Perlahan Ghatan mendekati Anjeli. Duduk di samping Anjeli, meraih tangan Anjeli lalu menggenggamnya.Anjeli tidak merespon, bahkan kedua matanya lurus ke depan tak menoleh ke arah Ghatan. Dia pasrah setiap Ghatan melakukan apa pun kepadanya. Saat Anjeli merasa wajah Ghatan mendekati wajahnya, ia langsung menoleh dan bertanya, "Sudah pulang?" Sambil tersenyum seakan tidak ada berita yang terdengar ke telinganya. Ghatan menjauhkan wajahnya dan menatap Anjeli heran. "Aku ingin menghubungi mu tapi aku lupa menyimpan ponsel, jadi aku menunggumu di sini." Setelah mendengar laporan itu Ghatan merasa tenang. Rupanya Anjeli tidak melihat ponselnya, berarti berita pertunangannya dengan Karina belum Anjeli ketahui.Ghatan tahu Gama menyebar berita pertunangan itu. Menyebar b
"Aku mencintaimu, An." Bayang-bayang wajah Ghatan dan suaranya terngiang di kepala Anjeli. Ungkapan cintanya beberapa waktu lalu pupus begitu saja, seolah hanya sebuah kalimat penenang bagi Anjeli di saat itu. Setelah mendapat kabar bahwa Ghatan akan bertunangan dengan putri pemilik perusahaan TK, semua harapan Anjeli terhadap Ghatan pupus sudah. Anjeli menarik napas dalam dan mengeluarkannya perlahan. Tatapan kosongnya lurus ke depan, perasaannya tak dimengerti sampai-sampai Anjeli tak tahu harus berekspresi seperti apa. "Hah..." Anjeli menaruh ponselnya begitu saja di sofa dan beranjak dari sofa pergi menuju kamar. "Sepertinya aku harus mencari udara segar," gumamnya setelah memakai mantel lantas pergi keluar apartemen.Langkahnya terlihat gontai, tatapannya kosong layaknya orang tak memiliki tujuan hidup. Anjeli terus menunduk selama perjalanan keluar dari apartemen. "Hah, sial..."Entah sudah berapa kali Anjeli menghela napasnya. Saat pintu lift terbuka kepalanya terangkat, t
Pergi ke toilet adalah alasan Karina agar ia bisa mengejar Ghatan. Rupanya Ghatan pun bukan pergi ke toilet, pria itu berbelok ke arah tangga menunju rooftop. Karina tak memanggilnya, ia mengikuti Ghatan dari belakang dan melihat pria itu berhenti di pagar pembatas. Perlahan Karina mendekati Ghatan. "Kenapa anda mengikuti saya?" Suara dingin Ghatan terdengar sebelum Karina sampai di sampingnya. Pria itu mengatakan hal tersebut tanpa membalikan tubuh seakan tahu jika Karina sudah mengikutinya sejak tadi. "Saya menolak pertunangan itu." Karina tersenyum. Sekarang dia sudah berdiri di samping Ghatan sembari menikmati pemandangan kota di malam hari. Angin yang cukup kencang mengombang-ambing rambutnya. Tak menghiraukan perkataan Ghatan perihal pertunangan, justru Karina lebih tertarik memerhatikan ekspresi wajah itu. Raut wajah yang tak bisa menyembunyikan sebanyak apa masalah yang sedang dipikirkan, Ghatan terlalu ketara menunjukkannya. "Bagaimana kalau kau menyetujuinya untuk mala
Cekrek! Ghatan menoleh dengan cepat ke arah suara kamera yang didengarnya. Menyadari itu Anjeli menatap Ghatan bingung, ia mengernyitkan kening dan ikut mengarahkan pandangan kemana arah mata Ghatan."Ada apa?" tanya Anjeli setelah memastikan bahwa tidak ada hal aneh di sana. "Apa ada sesuatu? Atau kau ingin kembali ke ruangan tuan Prajanata?" Ghatan diam sejenak, mata datarnya menatap Anjeli beberapa detik sampai Anjeli merasa suhu disekitarnya sedikit panas. Kala Anjeli mulai salah tingkah ia baru membuka mulutnya. "Tidak ada, sekarang kau pulanglah tanpaku." "Baiklah," jawabnya tanpa bertanya mengapa Ghatan tak pergi bersamanya. Ketika Anjeli akan melangkah, kakinya kembali terhenti karena melihat Ghatan hanya diam sembari memperlihatkannya. "Kenapa kau diam?" "Aku akan menyusul mu nanti," jawab Ghatan. "Jangan pergi kemanapun, kau harus tetap di rumah." Mendengar itu Anjeli sedikit kesal. "Baiklah," sahutnya dengan setengah hati. Lantas ia pergi tanpa berpamitan pada Ghatan.
"Maksudmu?" Anjeli terdiam beberapa saat karena tidak bisa mencerna kata-kata Ghatan dengan baik. 'Tunggu ... Bukannya bagus jika kontrak pernikahan dengannya dibatalkan?' Banyak kemungkinan yang mulai berkumpul di kepala Anjeli. Jika dilihat dari kepribadian Ghatan dan sifat pria ini sebelumnya, tidak mungkin dia mau membatalkan kontrak pernikahannya begitu aja. "Sebenarnya apa maumu?" tanya Anjeli langsung pada intinya. Dia tahu pasti apa isi kepala pria ini, tidak mungkin Ghatan membatalkannya begitu saja tanpa ada syarat tertentu. "Jika pembatalan kontrak nantinya membuatku sulit, lebih baik kita lakukan saja sampai masa kontrak itu habis." Ghatan tersenyum. "Kau pintar," ujarnya santai. "Lupakan saja ucapanku tadi, anggap aku tidak pernah mengatakannya." Ghatan bangkit dari duduknya, dia pergi lebih dulu ke dalam mobil. "Tapi jangan lupa, kita besok akan menemui kakek untuk membahas pesta pernikahan." "Pak!" Anjeli merenggut, berdiri dan menyusul Ghatan ke mobil. "Aku belum
Cahaya matahari membuatnya terbangun dari tidur nyenyaknya, Anjeli mengerjapkan matanya berkali-kali dan mengernyit karena merasa pening. Saat ia menggerakkan tubuh, rasanya sangat sakit. Begitu Anjeli melirik ke samping, wajah tenang Ghatan menyambut paginya. Anjeli menatap lamat wajah itu, ia berusaha menggerakkan tubuhnya tetapi rasa sakit membuatnya berhenti bergerak dan menatap kosong ke arah langit-langit kamar. "Ini kamarku..." Anjeli mengedipkan mata. Sedetik kemudian matanya membulat sempurna dan langsung memeriksa tubuhnya yang diselimuti.'Mati aku...' Pagi ini Anjeli terbangun di samping Ghatan dengan tubuh tak mengenakan sehelai benang pun. Menyadari hal itu Anjeli hanya bisa pasrah, ia tak berdaya setelah mengingat kejadian malam itu. Namun entah apa yang membuatnya tiba-tiba mentesekan air mata, Anjeli berusaha menahan suara isak tangisnya agar tak mengganggu tidur Ghatan. Dan usahanya sia-sia, suara isak tangisnya membuat Ghatan terbangun."Kau baik-baik saja?"
8 tahun yang lalu. Malam itu hujan turun begitu deras, dua pria turun dari mobil sambil melindungi kepalanya dari hujan dengan tas. Tampak salah satu darinya berhenti di depan pintu, membuat sang teman sedikit mengernyitkan keningnya. "Ada apa?" tanya pria yang memakai kaos polos dan sedikit basah karena hujan. "Kenapa berhenti dan tidak masuk?" "Aku tidak enak pada bibi dan paman," jawabnya dengan suara dingin beserta wajah tanpa ekspresi. "Sudah tiga hari aku menginap di rumah ini, apa sebaiknya aku pulang saja?" "Ey~" Pria itu—Baskara langsung merangkul Ghatan dengan wajah mencibir. "Kau pikir aku ini siapa? Orang tuaku pasti selalu menyambut mu setiap kali datang ke sini." Baskara sedikit menyeret Ghatan masuk ke dalam. "Jangan sungkan, anggap saja ini rumahmu..." Bas melepaskan rangkulannya dan menatap Ghatan memicing. "Tapi ini kan memang rumah orang tuamu, hahaha." "Kalian sudah datang." Seorang wanita datang dengan wajah sedikit panik begitu mendengar suara pintu terbuka
Ghatan menarik napas panjang, memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana karena udara semakin terasa dingin ditambah gerimis yang mulai membesar. "Hujan mulai turun, An." Ghatan berusaha untuk tidak meluapkan emosinya. Melihat Anjeli masih duduk dan tak berdiri, Ghatan memilih untuk membalikan tubuh dan berjalan membiarkan Anjeli melakukan apa pun yang dia inginkan. "Pria jahat," ketus Anjeli dengan suara bergetar. Hidungnya memerah, Anjeli tidak ingin mati kedinginan di sini. Setelah Ghatan berjalan jauh, Anjeli baru bangkit dan mengikuti pria itu dari belakang. Tidak ada tempat untuk pulang selain apartemen milik Ghatan, mau tidak mau Anjeli kembali ke apartemen ini dengan perasaan yang masih belum baik-baik saja. Malam yang melelahkan, Anjeli memilih untuk masuk ke dalam kamarnya daripada membahas hal yang tak juga Ghatan katakan kebenarannya. "An," panggil Ghatan begitu melihat Anjeli. "Aku ingin menjelaskan—" Brak! Pintu tertutup. "Baiklah, kau pasti lelah." Ghatan ta
Anjeli tidak bisa dipermainkan seperti ini. Melihat Ghatan hanya diam seribu bahasa tanpa mengatakan apa pun, membuat dada Anjeli semakin sesak. Bahkan pria itu tak menyangkal sama sekali, tak berusaha memberi alasan kepada Anjeli meski hanya sekedar untuk menenangkannya. Ghatan hanya diam menatap Anjeli datar. "Ayo sudahi saja," kata Anjeli setelah berusaha mengeluarkan suara. Setelah mengatakan hal itu ia keluar dari mobil, meninggalkan Ghatan yang masih diam tak berkutik di tempatnya. Rasanya benar-benar menyakitkan. "Jadi seperti ini rasanya disakiti..." Anjeli terisak. Berjalan tanpa tujuan setelah keluar dari mobil Ghatan dan pria itu tak mengejar atau menahannya seakan tak peduli. Entah apa yang sedang Ghatan pikirkan hingga tak bersuara di hadapan Anjeli. Atau mungkin pria itu memang tak bisa mengelak lagi karena semua kejadian yang Anjeli lihat memang benar apa adanya. "Dia benar-benar pria bajingan," gumam Anjeli ditelusuri oleh rasa sesak yang semakin menyayat. "Hiks
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.