***"Di sini lokas-"Arka menghentikan ucapannya ketika pandangan yang semula tertuju pada ponsel beralih ke arah mobil mercedes benz yang terparkir tak jauh dari mobilnya berhenti sekarang."Alula."Arka beringsut lalu melepas safetybeltnya dan bergegas turun. Mengedarkan pandangan, dia berjalan menuju mobil tersebut dan tentunya Arka cukup terkejut melihat Aileen berbaring sendirian di jok belakang."Ya ampun, Ai."Membuka pintu mobil yang ternyata tak dikunci, Arka mencondongkan badan lalu meletakkan dua jarinya di depan hidung sang keponakan.Hembusan napas lega terdengar ketika Arka masih bisa merasakan embusan napas Aileen yang masih teratur. Sepertinya Aileen tidur, begitulah pikiran Arka sekarang.Tak mau mengganggu sang keponakan, dengan sangat hati-hati Arka meraih tubuh mungil Aileen lalu mengangkatnya. Namun, persis ketika dia hampir saja berdiri dan keluar, pandangan Arka tertuju pada tas selempang yang tergeletak di bawah jok."Tasnya Lulu," kata Arka sambil meraih tas i
***"Mas Arka kamu bertahan ya, Mas. Kamu pasti kuat."Duduk di jok belakang sambil menopang kepala Arka yang kini terbaring tak sadarkan diri, Aludra tak henti merapalkan doa juga memberi kekuatan untuk Arka agar terus bertahan untuknya.Dibantu Damar yang suka rela menggendong Arka ke mobil, kini mereka dalam perjalanan menuju rumah sakit—sementara Aksa mengantar Aileen pulang ke rumah agar gadis mungil tersebut bisa aman di sana."Arka pasti bertahan buat kamu," kata Damar di sela-sela kegiatan mengemudinya.Meskipun menyetir dengan kecepatan yang tinggi, sesekali Damar mencuri pandang di kaca spion untuk melihat Aludra dan selama perjalanan, hanya raut wajah khawatir yang nampak di wajah gadis itu.Aludra sepertinya memang benar-benar sudah jatuh cinta pada Arka, begitupun sebaliknya. Demi Aludra, Arka rela mengorbankan nyawanya. Dia rela menahan sakit ketika peluru yang ditembakkan Rania menembus bahkan merobek permukaan kulitnya dan sekarang? Peluru tersebut masih bersarah di tu
***"Ra, minum dulu."Aludra yang sejak tadi duduk sambil menundukkan kepalanya seketika mendongak ketika Damar menyodorkan sebotol air mineral.Dua jam sudah berlalu semenjak dokter berkata akan memulai operas, pintu ruangan di depan Aludra itu tak kunjung terbuka—membuat rasa gelisah semakin menjalar di seluruh tubuh Aludra.Menunggu bersama Damar, raut khawatir tak kunjung menghilang dari wajah Aludra. Tentu saja. Mana bisa dia tenang ketika di dalam sana Arka harus berjuang hidup setelah menyelamatkan dirinya."Dam, Mas Arka pasti baik-baik aja, kan?"Aludra mendongak. Alih-alih mengambil minuman yang diberikan Damar, dia justru melayangkan pertanyaan tersebut pada sahabatnya itu."Pasti, Ra. Arka pasti baik-baik aja," kata Damar. "Pelurunya sekarang lagi dikeluarin dan nanti setelah operasi selesai, dia pasti langsung bangun."Aludra mendesah sementara kedua tangannya yang bahkan masih dipenuhi bercak darah mengusap kasar wajahnya yang sembab karena menangis sejak tadi.Namun, s
***Pagi ini, di bawah langit Bandung yang mendung. Seorang perempuan terlihat menangis di dekat gundukkan tanah merah bertabur bunga yang masih baru bahkan basah.Menutupi kepalanya dengan selendang hitam juga kacamata berwarna senada, perempuan tersebut tak kuasa menahan air matanya untuk tak jatuh melihat orang yang paling berarti dalam hidupnya pergi menghadap Tuhan untuk selama-lamanya.Sejak sepuluh menit yang lalu bahkan tangannya tak berhenti mengusap nisan bertuliskan nama orang yang paling dia sayang. Tak percaya. Begitulah yang dirasakannya sekarang.Waktu berlalu begitu cepat. Padahal, baru kemarin rasanya dia menelepon orang yang kini berbaring di bawah gundukkan tanah tersebut.Hancur? Tentu saja. Perempuan itu bahkan merasa jika hidup terlalu kejam untuknya. Setelah kedua orang tua juga kakak laki-lakinya, sekarang dia harus kehilangan kakak perempuannya yang meninggal karena sebuah kecelakaan tragis kemarin siang.Raina. Perempuan itu tentu saja Raina. Terbang langsung
***"Enggak usah lari-lari, jalannya biasa aja. Kata Arka kamu ceroboh."Aludra yang baru saja melepas safetybelt lantas menoleh ketika peringatan tersebut diucapkan Aksa sesaat sebelum dirinya turun dari mobil.Pemakaman tak jauh dari rumah sakit, Aludra dan Aksa hanya perlu menempuh perjalanan lima belas menit saja sebelum akhirnya sampai di rumah sakit.Antusias. Aludra melangkah turun dari mobil lalu membiarkan Aksa memarkirkan mobilnya ke basemant sendiri.Melangkahkan kaki dengan sangat cepat, Aludra bergegas menuju lift. Mendengar Arka sadar tentunya angin segar bagi Aludra yang sempat merasa frustasi ketika semalaman penuh suaminya itu tak kunjung bangun."Mas Arka," gumam Aludra ketika pintu lift terbuka di lantai dua. Menarik napas pelan, dia akhirnya melangkahkan kaki menyusuri koridor menuju ruangan rawat Arka yang sedikit berada di ujung.Masih dengan senyumannya, Aludra menarik handle lalu membuka pintu dengan sangat hati-hati. Namun, senyuman yang sejak tadi terukir itu
***"Perempuan sialan!"Sudah hampir setengah jam lebih—semenjak pulang dari pemakaman sang kakak, Raina mengamuk di apartemen. Guci, pajangan, bahkan semua benda yang ada di meja kini hancur berantakan setelah disapu oleh kedua tangannya.Raina marah. Tentu saja. Seolah tak cukup kehilangan kedua orang tuanya dulu lalu kehilangan Reyhan si kakak sulung, Raina kembali harus kehilangan kakak keduanya.Shit! Demi apapun Raina tak rela. Semuanya tak bisa dibiarkan dan dia pun tak akan tinggal diam setelah semua yang terjadi pada kedua kakaknya.Bukannya berusaha menerima kepergian sang kakak dengan ikhlas, dendam Rania pada Alula justru semakin menggebu. Bagaimanapun caranya, dia harus balas dendam untuk kematian kedua kakaknya.Ya, Raina tak akan bisa hidup tenang sebelum dendamnya terbalaskan. Nyawa dibalas nyawa, Raina harus menghabisi perempuan yang sudah menghilangkan nyawa dua kakaknya."Alula sialan, aku akan menghabisimu dengan tanganku sendiri, jalang!"Lelah mengamuk, Raina men
***"Gimana udah enakkan?"Pertanyaan tersebut langsung dilontarkan Aludra ketika Arka mencoba untuk buang air kecil setelah kateternya dibenarkan oleh perawat belasan menit yang lalu."Lumayan," kata Arka."Syukurlah," jawab Aludra. "Kamu enggak marah, kan?" tanya Arka.Aludra mengerutkan keningnya. "Marah kenapa?" tanyanya."Marah karena yang benerinnya perempuan," ungkap Arka. "Sebenarnya kalau kamu ngerasa enggak suka, bisa nungu besok aja Lu. Aku juga enggak enak soalnya sama kamu.""Nunggu besok dan semalaman kamu nahan pipis gitu?" tanya Aludra. "Tau enggak nahan pipis itu bahaya? Bisa kena infeksi saluran kemih kamu nanti. Cukup sekali aja aku buat kamu menderita, Mas. Jangan ada yang kedua apalagi ketiga.""Aku enggak menderita, Lu." Arka memandang Aludra yang duduk di sisi kirinya lalu memegang tangan perempuan itu. "Aku emang sempat down waktu sadar kaki aku enggak bisa digerakkin, tapi setelah tahu kamu mau nerima aku apa adanya, down itu hilang seketika.""Yang terpentin
***"Udah tenang, sekarang?"Aludra mendongak—menatap wajah Arka yang sedikit berada di atasnya. Setelah berhasil menetralisirkan rasa panik yang melanda, dia akhirnya kembali berbaring bersama Arka dan tentunya di dalam pelukan pria itu."Udah," jawabnya. "Tapi masih deg-degan dikit. Takut juga.""Enggak usah takut, ada aku," kata Arka. "Meskipun aku enggak bisa jalan, kalau ada apa-apa aku pasti lindungin kamu."Untuk beberapa detik, Aludra memandang Arka tanpa berkedip sedikit pun. Meskipun, kondisinya sudah lebih baik daripada kemarin, pria itu masih terlihat sedikit pucat."Makasih ya, Mas. Maaf juga selama jadi istri kamu, aku selalu ngerepoti," ungkap Aludra."Enggak usah ngomong gitu," ujar Arka sambil mengusap pucuk kepala Aludra dengan tangan kanannya yang dibalut infus. Setelah itu dia melirik jam dinding yang ternyata baru menunjukkan pukul sembilan lebih. "Sekarang tidur lagi. Pelukannya jangan dilepas kaya tadi supaya enggak mimpi buruk.""Iya, Mas."Aludra memajukkan po