"Lunar ada apa denganmu...." Suara itu samar-samar terdengar di telingaku. Aku bersyukur dalam hati, ternyata hal mengerikan itu hanya mimpi.
Aku terbangun dari tidurku dengan keadaan tubuh dibasahi oleh keringat. Pandangan mataku juga masih terlihat buram. Setelah aku menyesuaikan dengan cahaya. Barulah aku sadar jika Serafin sedang ada di kamarku.
Dia menggenggam lembut kedua bahuku. Aku menggeleng, tidak mungkin Serafin ada disini. Ini sudah tengah malam lagipula dia sedang berada di luar kota. Lagipula bagaimana dia bisa masuk kedalam.
Aku menatap kosong dan mencoba mencerna apa yang sedang dia katakan. Dia terlihat sangat panik, aku senang bisa melihatnya. Aku memeluknya erat, lagipula ini kan mimpi.
"Lunar kamu kenapa?" tanyanya lagi. Suara terdengar sa
Keesokan paginya aku sangat panik saat mama mengetuk pintu kamarku. Aku buru-buru membangunkan Serafin dan menyuruhnya sembunyi di kamar mandi."Serafin cepatan. Sembunyi sana!" kataku panis sekali dan buru-buru mendorongnya ke dalam kamar mandi."Iya bentar ma. Maaf Lunar baru saja bangun," kataku setenang mungkin dan mengatur nafasku. Padahal jantungku sudah mau meledak, takut ketahuan kalau aku tidur dengan Serafin semalam.Aku membuka pintu kamarku yang kebetulan kukunci semalam. Memasang senyum manis pada mama. Sesekali mataku melirik kearah kamar mandiku. Tempat Serafin bersembunyi sekarang.Mama menatapku dengan heran, karena terus melirik ke arah kamar mandi. Semoga saja mama tidak mencurigai apapun. Aku benar-benar takut sekarang.
Aku kaget dan melempar paket itu sampai ke balkon kamarku. Isinya adalah boneka yang dipotong-potong dan berlumuran darah. Tangan ku dan tubuhku gemetaran. Aku sampai tidak bisa berdiri. Aku duduk di atas lantai yang dingin.Ternyata terornya masih belum berhenti. Sekarang tidak hanya menggunakan pesan saja. Sekarang bahkan orang itu menerorku di dunia nyata.Aku juga sangat kaget dan berteriak kencang. Saat Serafin dengan mudahnya melompat ke balkon kamarku. Matanya langsung berkilat marah. Saat melihat isi paket yang aku dapatkan.Dia langsung menendang paket itu sehingga tidak bisa dijangkau oleh pandangan mataku. Dia kemudian mendekati aku dan langsung memelukku.Tubuhku masih terasa sangat gemetaran. Serafin dengan lembut mengusap punggungku dan me
Setelah aku memikirkan semuanya. Aku mulai melawan rasa takutku. Akan kupastikan, tidak akan kalah dari peneror itu.Aku mulai mengaktifkan handphone-ku. Menyimpan semua bukti teror dengan rapi. Sehingga nanti aku mudah untuk membawa semua ini kejalur hukum. Walaupun kadang aku masih gemetaran saat mendapat pesan teror."Aku tidak boleh takut lagi," kataku penuh tekat. Mataku masih saja tidak terbiasa saat melihat pesan ancaman dan poto-poto seram yang dikirim oleh orang itu.Serafin juga selalu memberikan dukungan penuh padaku. Walaupun semuanya tidak mudah, tapi kami selalu berjuang. Kami juga mencari tau siapa peneror itu dan apa motifnya.Walaupun aku curiga kalau itu ulah tanteku. Dia pasti akan terus mengusikku. Sampai tujuannya tercapai, yaitu me
Aku dan Serafin mulai mengumpulkan bukti untuk menjerat penerorku. Serafin juga tentunya meminta bantuan si dingin Alaska.Alaska Sempat protes dan mengatakan jika dia bukanlah ahli IT. Walaupun begitu dia benar-benar mau membantu. Akhirnya dia menyuruh salah satu anak IT yang memang punya kemampuan untuk melacak nomor itu.Semuanya berjalan alot, karena orang ini ternyata cukup lihai. Walaupun begitu aku tidak mau menyerah. Akhirnya kami mulai merancang jebakan untuk orang itu."Mulai sekarang aku akan sering keluar sendiri," kataku pada Serafin dan Alaska."Bukan keluar sendiri, tapi kelihatan keluar sendiri. Gue nemenin lo kok," kata Serafin meralat ucapanku. "Diam-diam pastinya dari penerornya.""Kerjaan
Saat aku keluar dari ruangan B. Naral masih mengikuti aku. Dia benar-benar tidak melepaskan aku. Dia seperti lem instan yang menempel kuat. Bahkan tadi dia duduk di sebelahku.Sepanjang jam mata kuliah. Naral terus menatapku secara intens. Benar-benar membuatku tidak nyaman. Namun aku mencoba untuk mengabaikannya."Jangan ngikutin gue terus," kataku kesal. Naral hanya tersenyum dan terus mengikuti aku dari belakang."Gue gak ikutin lo kok," kata Naral, tapi ucapannya tidak sesuai dengan perilakunya. Dia tetap mengekori layaknya anak ayam."Naral," kataku kesal di hanya tersenyum saja.Akhirnya aku membiarkan Naral mengikuti aku. Aku memilih untuk ke kantin kampus. Di kantin kampus aku memesan mie ayam
Selama jam mata kuliah aku benar-benar deg-degan. Takut ketahuan jika Serafin adalah murid gelap. Untung saja tidak ada yang sadar jika dia bukanlah mahasiswa disini.Kesadaran mereka malah tersedot pada ketampanan Serafin. Banyak dari mereka yang bertanya-tanya. Kenapa baru melihat mahasiswa setampan ini sekarang.Bahkan ada yang menghampiri kami. Dia mengamati Serafin dengan seksama. Lalu kemudian mengambil kursi di depan kami dan menyeretnya ke depan meja kami berdua."Kok baru lihat kamu di kelas ini?" tanyanya dengan penasaran. "Pasti sering titip absen ya," katanya lagi ramah."Iya kak. Sering titip absen," kata Serafin polos. Dia benar-benar seperti maba (mahasiswa baru) yang sedang didekati oleh senior. Sopan dan terlihat berakhlak mulia.
Walaupun peneror itu tidak tertangkap, tapi Serafin berhasil membuat kehebohan di kampusku. Dia kembali dengan wajah senang dan tersenyum padaku.Serafin kemudian merebahkan kepalanya di bahuku. Orang-orang yang ikut mengejar sekarang sudah bubar.Wajah Serafin yang memerah dan nafasnya yang sedikit ngos-ngosan. Membuatku merasa kasihan. Aku menyeka keringat yang ada di pelipisnya."Capek juga lari ngejar orang yang gak kita suka. Kalau ngejar Lunar, ke ujung dunia pun, gue kejar," katanya pelan dengan kepala masih di sandarkan di bahuku."Gue gak bakal lari sejauh itu juga Serafin," kataku mengelus rambut lebat Serafin.Serafin mendongakkan kepalanya dan mata kami bertemu. Dia tersenyum dan meng
Pagi ini aku sudah terbangun karena ulah tetangga sebelah. Dia masih melanjutkan aksi menjadi alarm hidup untukku.Kali ini juga tidak kalah luar biasa. Dia membangunkan aku. Dengan menerbangkan drone yang ditempel mp3.Lagu indah mengalun dengan merdu. Sementara sang pemilik drone duduk di kursi balkon nya. Melambaikan tangan dengan senang saat melihat aku keluar menuju balkon."Selamat pagi calon ibu anak-anakku," katanya dengan senyum manis tiada duanya.Di meja milik Serafin, tersaji teko yang aku yakin berisi teh. Cangkirnya juga diisi penuh teh. Serafin minum dengan anggun. Dia mengangkat tehnya ke arahku."Lunar bagaimana tidurmu? Nyenyak?""Ny