Terengah-engah, lelaki berambut panjang yang dikepang tiga di bagian belakang itu berusaha merangkak menuju pintu. Deretan luka di sekujur tubuhnya tak henti-hentinya mengeluarkan darah segar. Rasa panas yang entah datangnya dari mana seakan membakar tubuhnya dari dalam. Rasa nyeri menggerogoti semangatnya untuk terus bertahan hidup. Sambil mengerang kesakitan, Gunawan kembali melirik ke arah pintu yang sesaat lalu terlihat diliputi cahaya. Akankah masih ada harapan? Ia mulai bertanya-tanya.
Gunawan masih ingat betul pada detik-detik terakhir sebelum tubuhnya berakhir menggantung di sebuah bangunan yang ia rasa dijadikan sebagai gudang. Tepat ketika sorot matanya menemukan penampakan mengerikan sekaligus menjijikkan di dalam bangunan besar beratap terbuka. Tatkala ia terlalu terpaku melihat apa yang ada, hingga ia sendiri pun tak sadar, beberapa orang telah mengendap-ngendap di balik punggungnya. Dengan cepat mereka membekap mulut, dan menarik paksa tubuh Gunawa
Sejak memutuskan untuk menjadikan sebuah bangunan tak terkunci sebagai tempat persembunyian, tepat ketika salah satu dari mereka membuka pintu, seketika bau anyir menyergap bagai ucapan selamat datang. Tak ada waktu untuk memilah tempat yang lebih baik. Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, mereka harus terima.Dengan posisi berjongkok di dalam kegelapan, Wrahaspati mulai merasakan mual yang menjadi-jadi. Perutnya seolah diremas kuat-kuat dari dalam.“Di sini bau sekali, aku tak sanggup. Aku pergi saja,” ujar Wrahaspati sembari membekap mulut dengan tangan, bersiap keluar.“Hentikan, dia!” sergah Darangga.Spontan, Tumpak segera mengait erat lengan Wrahaspati. “Tolong jangan keluar, Tuan,” pintanya.“Apa kau tak mencium bau busuk ini. Dasar, Budak tak berguna!” damprat Wrahaspati.“Aku menciumnya. Aku juga mencium aroma busuk, Tuan. Tapi kalau kau keluar sekarang, kita semua bisa keta
Serenceng kunci tak sengaja jatuh ke tanah.“Kenapa kau malah menjatuhkannya? Cepat ambil. Segera buka pintunya,” perintah Ludo kepada seorang lelaki bertubuh gemuk.“Maafkan aku, Kak,” ucap lelaki muda itu. Ini adalah kali pertama dirinya mendapat tugas di dalam sebuah kelompok besar. Walau hanya berperan sebagai juru kunci dadakan, namun tugas itu sudah sangat berarti untuk kelangsungan hidupnya ke depan.Menangkap suara mencurigakan, seketika Ludo mengerling ke arah kanan. Dengan cepat ia beringsut ke sumber suara yang baru saja ia dengar.Tiba di salah satu gudang penyimpanan, hati-hati Ludo melangkah mendekat. Sorot matanya seketika tertumbuk pada sebersit cahaya yang menyembul dari sela-sela pintu kayu. Sekejap, ia menoleh ke belakang. “Kau! Yang membawa kunci! Segera buka pintu ini!”∆Pintu besi berdaun ganda itu memang sengaja tak ditutup rapat. Menyisakan celah yang cukup untuk meny
Persiapan mereka kali ini telah benar-benar matang. Walau perjalanan yang dilakukan beberapa saat ke depan lebih cepat dari yang telah direncanakan, namun semua yang mereka butuhkan sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. Rombongan Penjaga dari desa Podom itu akan meninggalkan desa tepat sebelum pagi datang.Memiliki tenaga paling kuat, Ludo mengangkut sekaligus satu buntelan kain berwarna hitam berukuran cukup besar. Di dalamnya, beberapa kotak mungil berwarna biru tua dan merah menyala tertumpuk menjadi satu.“Aku baru tahu kalau setiap desa punya kotak kerajaan dengan warna yang berbeda,” gumam Ludo“Aku juga,” sahut Pusendo. “Memang sangat disayangkan karena kita tidak berhasil menangkap semua tikus-tikus itu. Tetapi setidaknya kita tidak terlalu rugi. Paling tidak, semua kotak kerajaan milik mereka sudah berhasil kita dapatkan.”“Dan sepertinya, semua kotak kerajaan milik Penjaga desa Jamahitpa, berisikan mendali
Ada gentar yang tiba-tiba hadir di dalam benaknya. Ini adalah kali pertama, sejak terakhir kali Kuja mendekat ke ruangan yang dulu dianggapnya paling menakutkan. Di tempatnya berdiri, sebelum satu kakinya menaiki anak tangga, Kuja menandaskan ludahnya terlebih dahulu. Berusaha membuang jauh-jauh semua ingatan mengerikan tentang tempat itu. Setelah mantap membulatkan tekad, ia pun akhirnya menaiki anak tangga itu satu per satu.Seiring langkah kakinya yang terus menapaki setiap anak tangga menuju ke lantai dua, putaran lamunan justru menggiring Kuja untuk kembali ke masa lalu. Masa kanak-kanaknya dulu. Kala itu, Kuja kecil yang tak kunjung menemukan Marca—yang tengah bersembunyi entah di mana—celingak-celinguk mencari sambil terus-terusan menyerukan satu nama. “Marca … Marca ….”Tak ada jawaban, Marca masih belum ditemukan. Lekas-lekas Kuja mengangkat kepala. “Marca ... apa kau ada di atas sana?”Perlahan, anak pe
Mendapati sosok tiga penunggang hewan berbulu di depan mata, sekejap nyali Wakaru menciut. Ekor matanya tak mungkin salah mengenali lelaki bertubuh gemuk bernama Mormo yang kini tengah memandangnya dengan seringai mengancam. Di samping Mormo, ada lelaki berbadan tegap bernama Muriel yang hanya menatapnya dengan mulut terkatup. Terus membisu di atas hewan tunggangan, air muka Muriel seolah tak menunjukkan ekspresi apa pun. Sementara itu, berada hanya satu langkah di depan, seorang lelaki bertubuh kurus terus membelalak seram. Mengintimidasi, sekaligus mengancam. “Apa yang sudah kau lakukan? Berani sekali kau mengambil jatah makanan kami!” bentak Behemoth di atas punggung hewan berbulu abu-abu. Air mukanya tampak sedang marah besar. Wakaru hanya tertunduk dengan bibir tertutup. Mau bagaimana pun, jelas ia tak kan mungkin menang jika berhadapan dengan Tiga Kanibal. Pertemuan tak terduga dengan Tiga Kanibal sama sekali tak masuk dalam rencana yang telah ia susun. N
Setelah menerima perintah dari Wakaru lekas-lekas Katan melakukan pergerakan. Perlahan, langkah kakinya terhitung satu demi satu. Kedua matanya begitu awas memperhatikan setiap gerakan yang mencurigakan. Seolah hendak menjerat hewan buruan. Jika tak ingin sasaran kabur karena suara berlebih, ia harus melakukan pergerakan setenang mungkin. Lembut. Pelan. Menyaru dengan suara alam. Baru beberapa langkah dari tempatnya semula, di ujung penglihatan, dari balik batang pohon, Katan menangkap sekelebat pergerakan. Sigap, senjata andalannya segera dipersiapkan, tergenggam erat menggunakan kedua tangan. Hati-hati, ia pun berjalan menuju ke salah satu pohon besar berdaun rindang. Dengan penuh kewaspadaan, Katan mengendap-ngendap, mendekat. Setelah jaraknya hanya tinggal terpaut satu langkah, dengan lincah ia melompat sambil mengayunkan pedangnya ke balik batang pohon. Celingak-celinguk, kedua bola mata Katan langsung memindai keberadaan seseorang. Kosong. Ternyata tak ada siap
Sehelai kain kotor kembali dimasukkan ke dalam kuali kecil berisikan air. Kain polos yang sejatinya berwarna putih resik itu kini telah berubah warna. Menjadi merah. Pekat. Bercampur darah.Bersebelahan dengan kuali kecil berisikan beberapa helai kain kotor, tergeletak seonggok tubuh manusia berperawakan tinggi besar. Bibir manusia itu tampak membiru. Wajahnya pucat pasi. Pergerakan napasnya terlihat samar-samar.“Lelaki ini sudah tak mungkin lagi terselamatkan.” Seorang perempuan separuh baya bangkit berdiri. Di sebelahnya, seorang pria bertubuh bungkuk menghela napas. Begitu jelas, ada rona kesedihan terpancar dari air mukanya.“Kalau begitu, kita tunggu sampai dia mengembuskan napas terakhir,” ucap pria bertubuh bungkuk, lirih.Orang-orang yang berdiri di sekitar tubuh lelaki berperawakan tinggi besar itu memandang dengan penuh rasa iba. Walau bukan bagian dari mereka, namun menyaksikan proses kematian secara langsung selalu men
“Dan namaku sendiri adalah Lesayu,” pria separuh baya bertubuh bungkuk itu memperkenalkan diri. Ia palingkan wajah, melihat ke arah perempuan muda di dekatnya. “Keluarlah dulu. Biar aku yang menjaganya.”“Baik, Ayah.” Eshal bangkit berdiri. “Oh, iya. Ayah,” langkahnya sesaat tertunda, ia telengkan kepala, “jangan lupa, manusia itu harus segera meminum ramuannya.”Lesayu mengangguk halus, lalu melirik ke arah pintu. Memberikan kode agar anaknya segera keluar dari ruangan.Setelah menyaksikan punggung Eshal menghilang di balik pintu kayu, lekas-lekas Lesayu mengalihkan perhatian ke arah Marca. “Tenangkan dulu dirimu. Kau harus banyak-banyak beristirahat. Lukamu cukup parah.”“Apa yang sudah kau lakukan kepadaku? Di mana ini?”“Kami membawa kalian ke desa kami. Desa Sikmatu.” Lesayu beringsut mendekat ke arah Marca. “Ini. Minumlah,” ucapnya semb