"Eh, Mbak Zira." Ruma tersenyum mendapati adiknya memergokinya. Jadi malu sendiri gegara Raja ngode-ngode. "Apa Ra? Anda kepo ya," kata Raja menanggapi dengan guyonan. "Habisnya kalian berdua mencurigakan," sahut Zira berlalu menghampiri Zava yang tengah dikerubungi kakek neneknya. Sementara Ruma santai sejenak. Mumpung Zava ada yang momong. Kebetulan juga sudah masuk waktu sholat. Raja dan Ruma menepi sejenak. "Sholat di kamar saja yuk Dek, nanti aku ambilin mukena yang bersih," ajak Raja menginterupsi istrinya agar mengekornya. "Ya udah, kamarnya yang mana?" Raja mengantar istrinya ke kamar pribadinya yang sudah cukup lama ditinggalkan pemiliknya. Semenjak tinggal di rumahnya sendiri, Raja memang jarang pulang ke rumah ibunya. "Ayo masuk!" Pria itu mempersilahkan istrinya. Ia langsung menutup pintunya begitu Ruma masuk. "Kok dikunci? Kan cuma sholat doang." "Hahaha ... iya, kamu kan mau lepas kerudung. Nanti kalau ada yang tiba-tiba masuk gimana?" "Nggak Mas, sana
Ruma terjaga pertengahan malam ketika Zava merengek meminta susu. Wanita itu kaget sendiri dan sekaligus merasa bersalah melihat suaminya yang sudah lelap tanpa sapaan manis darinya semalam.Ruma langsung mengASIhi bayinya, dua tidak berani mengusik suaminya yang nampak lelap. Usai putri kecilnya tidur lagi, Ruma kembali merapat di dekat suaminya.Pagi-pagi sekali, giliran Raja yang terjaga lebih dulu. Karena waktunya sholat subuh, pria itu mau tidak mau membangunkan istrinya lebih dulu."Sayang, udah subuh," bisik pria itu sembari mengelus pipinya."Mas, kamu udah bangun?" tanya Ruma membuka matanya."Iya, ini kan sudah subuh. Maaf ya, semalam nggak ikut bangun ngurusin Zava," ucap Raja merasa begitu lelah."Kayaknya aku deh yang harusnya minta maaf, semalam aku ketiduran. Kenapa nggak bangunin?"Padahal sudah menyusun agenda malam yang indah. Eh, malah bablas ketiduran. Mau bagaimana lagi, rasa ngantuk mengalahkan semuanya."Nggak apa, aku nggak tega, kamu kelihatannya lelap banget.
Ruma langsung berhenti lalu menoleh ke arah sumber suara begitu ada yang memanggil namanya. "Tante Maria," sahut Ruma agak kaget mendapati mantan mertuanya ada di tempat yang sama. Sepertinya perempuan itu juga kaget melihat dirinya untuk yang pertama kali setelah perpisahan dengan anaknya. "Ini anak kamu? Apakah ini cucu mami juga?" tanya wanita itu mendekat. Ada penyesalan dari sorot matanya. Berharap kalau bayi dalam gendongan Ruma anak Rasya. "Tante di sini sama siapa?" tanya Ruma mengalihkan topik. Menatap sekitaran yang sepertinya tidak ada orang yang membersamai beliau. "Rasya Rum, mami baru saja chek kesehatan," jawab perempuan itu terus menatap bayi dalam gendongan Ruma. "Owh ... dianterin Mas Rasya." Ruma manggut-manggut. Mau cepat-cepat beranjak tetapi tidak enak kalau berlalu begitu saja. "Kamu lagi apa di sini? Maafkan mami, Rum," ucap Nyonya Maria tiba-tiba. "Kebetulan Ruma mau imunisasi bayi Ruma, Tante," jawab Ruma tak serta merta langsung menjawabnya pertanyaan
Raja tersenyum saat keluar dari kamar mandi sudah disiapkan ganti. Istrinya tidak ada di kamarnya, mungkin sedang sibuk di ruang lainnya. Sementara Saya dibiarkan sendiri di box bayinya karena memang tengah tidur. Pria itu mendekat sejenak, mengecup keningnya dengan lembut, lalu keluar kamar tanpa menutupnya. Sewaktu-waktu Zava bangun bisa mendengar dari luar. "Bikin apa, Dek?" tanya Raja menghampiri. Pria itu berdiri tepat di samping Rumah yang tengah sibuk menyiapkan makan malam. "Spesial ala aku dan Bik Lastri tadi. Ayo makan Mas!" seru perempuan itu menarik kursinya. "Mm ... kayaknya enak sayang."Indahnya berumah tangga itu seperti ini. Saling menghangatkan di setiap kesempatan. Di ruang makan, di dapur, dan tentunya di kamar tidur. Hal yang sepertinya dulu mustahil bagi Ruma dan Raja, kini mereka benar-benar mewujudkannya dalam satu atap. "Segini cukup Mas?""Iya, jangan banyak-banyak.""Kamu udah makan di luar?" tanya Ruma mengambilkan sesuai permintaan suaminya. "Belum,
Raja terkekeh gemas melihat Ruma menghindar di dekati. Pria itu berlalu ke kamar mandi setelah puas menggodanya."Sayang, ini ganti buat aku?" tanya pria itu setelah mandi."Huum, Mas," jawab Ruma tanpa menoleh. Perempuan itu tengah sibuk di depan meja rias mengeringkan rambutnya.Raja langsung memakai kausnya. Dia berjalan menghampiri istrinya yang masih sibuk."Sini aku bantuin," pinta Raja mengambil alih.Ruma pun membiarkan saja suaminya bersikap demikian. Menikmati perhatian darinya."Kamu pakai sampo aku ya," kata pria itu hafal sekali."Iya, aku lupa belum beli. Padahal kemarin udah mampir dan udah diinget-inget juga. Malah punyaku yang nggak keambil.""Nggak apa kok, cuma takutnya nanti di kepala kamu nggak aman. Nanti kalau rambutnya rusak gimana?""Semoga nggak, wanginya enak kok."Belum juga menyelesaikan urusannya, Zava merengek. Untung baby comelnya terbangun setelah mereka selesai melewati ritual suami istri.Ruma langsung beranjak menghampiri bayinya. Sementara Raja men
Setelah berhasil ngacak-ngacak sprei pagi ini, Raja masih enggan melepas pelukannya. Menikmati waktu berdua yang langka sebab rutinitas mereka yang kadang tidak bisa ditunda. Apalagi pekerjaan Raja yang kadang menyita waktunya tiba-tiba.Mumpung hari libur, kapan lagi bisa bermanja-manja dengan sang istri tercinta. Bulan madunya di rumah dulu. Moment langka ini harus dia gunakan sebaik mungkin."Mas, lepas, berat ini," keluh Ruma saat Raja masih menindihnya posesif. Pria itu memang jahil sekali, bukannya cepat beranjak malah mengurungnya begini.Raja terkekeh sembari bergeser hingga tiduran di dekatnya. Dia merasa puas dan bahagia setelah merusuh istrinya."Mandi Mas," ucap Ruma bangkit dari pembaringan. Saat hendak turun, pria itu ikut bangun lalu menarik tubuh istrinya hingga kembali terguling tiduran ke ranjang."Nanti sayang, buru-buru amat. Zava juga masih bobok.""Iya, makanya mumpung Zava masih bobok, aku mau buat sarapan.""Kayaknya mandi dulu deh. Bareng Dek," ujar Raja menge
"Aku nggak berharap dia datang, tapi kalau Mas mau ngundang ya nggak apa," ujar Ruma santai. "Udah move on, 'kan Dek? Aman berarti?" goda Raja tersenyum. "Aman sembilan puluh sembilan persen, Mas," jawab Ruma yakin. "Lah kok nggak seratus aja. Satu persennya berarti nggak aman dong." "Satu persennya silaturahmi. Biar bagaimanapun ada orang tuanya yang pernah baik banget sama Ruma. Mas Rasya juga, jadi ya harus disisain walau cuma satu," jawab Ruma benar adanya. "Semoga mereka juga aman kalau tahu aku yang menikahi kamu," ucap Raja penuh harap. Takdir telah membawa kisah mereka bermuara. Walau awalnya terlihat mustahil, tetapi atas kehendak-Nya, semua dilancarkan hingga di titik sekarang. "Aamiin ...," sahut Ruma mengaminkan. "Nanti kita pakai konsep yang bagaimana, Dek?" tanya Raja menyesuaikan selera istrinya. "Apa tidak sebaiknya kita musyawarah dulu sama keluarga. Ummi sama abi kasih tahu dulu, terus mau gimana? Aku ngikut aja Mas, ini kan acaranya di sini." "Iya
"Rasya, ada undangan buat kamu, mami taruh di kamar!" seru Mami Maria begitu putranya masuk rumah. Pria itu memang memutuskan tinggal bersama ibunya sejak bercerai, ditambah Bu Maria sering sakit-sakitan. Jadi, sekalian jagain ibunya. "Iya Mi, dari siapa?" tanya Rasya sembari melepas sepatu yang membelenggunya dari pagi. Pria itu terlihat lelah. "Kayaknya sih teman kamu yang dokter itu, siapalah namanya. Mami nggak baca, cuma sekilas aja tadi," jawab perempuan paruh baya itu sembari sibuk menyiapkan hidangan makan malam. "Owh ... Raja mungkin? Yang dulu tetanggaan sama Rasya," tebak pria itu menduga-duga saja. "Mungkin, mami kurang paham." Pernah beberapa kali bertemu di rumah sakit dan juga di luar, tetapi perempuan sepuh itu tidak begitu jelas dengan dokter Raja. "Rasya ke kamar dulu, Mi," pamit pria itu beranjak. Rasya langsung ke kamar, menaruh tas kerjanya serta handphone tepat di sebelah kertas jasmin yang sudah dipres cantik berbentuk undangan pernikahan. Pria itu hanya