Share

Bagian tujuh

Happy Reading

Naya Pov

Aku menatap wajahku sekali lagi di depan cermin, dengan pita rambut berwarna pink dan baju casual seadanya aku akan berkunjung ke darat untuk melaksanakan niatku.

Tekatku sudah bulat untuk pergi dari sini, aku akan membeli rumah kecil di perdesaan sana dan tinggal bahagia bersama anakku. Soal Aska-- entah lah mungkin pilihan yang paling mudah adalah pergi dari kehidupan lelaki ini.

Dengam mengambil tas ransel kecil yang berisi ponsel dan kartu kartu penting aku berjalan keluar. Sembari sarapan aku akan meminta izin pada Aska untuk pergi dengan Mbak Hana.

Perjanjian dan rencana pergiku ini sudah aku bicarakan baik baik dengan kakak iparku itu. Dia awalnya memang menolak dan tidak mau menggabulkan permintaanku, tapi dengan segala bujuk rayu dan sedikit paksaan akhirnya Mbak Hana mau juga.

Sulit sekali membujuk wanita itu, dia sama keras kepalanya seperti Aska. Memang sesama adik kakak itu tidak ada bedanya, mungkin sifat itu sudah turun temurun dari ibu mereka. Merujuk pada ibu mertuaku yang juga sangat keras kepala, fakta itu aku ketahui saat beliau menceritakan masa mudanya padaku beberapa bulan yang lalu.

Kami sangat dekat, tentu saja beliau juga sangat suka bercerita. Dia seakan punya banyak kosa kata untuk menyalurkan betapa bahagianya dia dulu bersama ayah Aska, masa muda yang indah sekali. Aku bahkan sedikit iri saat mendengar kisah mereka, tentu saja hal itu bersangkutan dengan masa mudaku yang benar benar sangat buruk.

"Pagi semua," sapaku dan duduk di meja makan.

Aska dan kak Ahra duduk berdampingan layaknya suami istri, ibu dan ayahku juga berdampingan. Sedangkan aku duduk di samping mbak Hana yang menatapku dengan sorot wajah meminta maaf.

Mungkin dia merasa bersalah karena posisi dudukku sekarang. Bukannya berada di samping Aska, aku malah duduk di depannya. Seakan aku hanyalah adik ipar suamiku itu, demi tuhan Naya kau kuat kan? Tidak mungkin hanya begini saja kau ingin menagis.

Aku membalas tatapan Mbak Hana dengan senyum maklum, aku harus terbiasa tanpa Aska. Dia akan segera menikah dengan Kak Ahra, maka otimatis semuanya harus sesuai dengan tugasnya yang 24 jam harus bersama wanita itu. Naya tenang lah jangan terlalu berfikir sempit dan membuatmu sendiri sakit hati.

"Untuk apa kau berpakaian rapi? Kau mau pergi?" tanya ibuku sinis.

Dia menatapku dengan tatapan tajam dan sinis. Aku berusaha maklum, bukankah ibuku memang suka begitu. Anaknya kan hanya Ahra, lalu kenapa kamu tidak juga terbiasa Naya. Selama ini kan kau memang sudah sering di perlakukan seperti itu, lalu apa masalahnya dengan ini.

"Apakah salah jika Naya ingin pergi keluar bersamaku Nyonya?"

Bukan aku yang menjawab, tapi Mbak Hana. Dia sama sinisnya menatap tatapan tajam ibuku, siapa yang percaya jika di balik senyum manis dan wajah imut Mbak Hana, dia itu adalah wanita yang sinis dan misterius.

Dia tidak suka mengusik kehidupan orang lain, tapi jika ada yang mengusik daerah tutorialnya dia tidak akan pernah tinggal diam.

Ibuku kicap, siapa yang berani dengan Mbak Hana memangnya. Tatapan tajam dan mengintimidasinya benar benar menyeramkan, apa lagi dengan adanya Mas Andre di sampingnya. Ah aku pasti lupa menggenalkan dengan kalian, Mas Andre itu suami Mbak Hana. Mereka menikah beberapa tahun sebelum aku, mereka bahkan sudah memiliki dua buah hati yang sangat cantik dan tampan.

"Aaah hahaha tentu saja tidak. Saya hanya bertanya saja tadi," ucap ibuku canggung.

Sudah di bilangkan kalau Mbak Hana itu memang sedikit menyeramkan, aku kembali bersyukur karena ada di belah pihaknya.

"Mau kemana?"

Sekarang gantian Mas Aska yang bertanya padaku, tatapannya masih sama seperti sebelumnya. Tajam dan penuh intimidasi jika bicara denganku, apakah dia benar benar berfikir kalau aku ini egois karena melarangnya menikah dengan Kak Ahra.

"Jalan jalan Mas," jawabku pelan.

Mungkin jawaban sibgkat dan terkesan sopan itu jauh lebih penting dari pada menjelaskan panjang lebara pada suamiku itu. Kalau dia perduli dia akan bertanya lebih atau bahkan melarang, tapi kalau tidak ya udah diam diam saja.

"Kenapa tidak meminta izinku dulu?" tanya Mas Aska tidak suka. Dia meletakkan sendok dan garpu di atas piring, tanda kalau dia tidak suka dengan apa yang baru saja aku lakukan.

Aku berusaha maklum, cara kerjanya memang seperti itu Naya. Dia boleh memerintah dan melarangku ini itu dan kau tidak, dia bisa menyudutkanmu sedangkan tugasmu hanya pasrah akan semua itu. Hal seperti ini sudah sering aku alami, tapi entah kenapa aku masih saja tidak terbiasa dengan ketidak sukaan mas Aska atau pun penolakkannya atas permintaanku.

"Maaf aku tidak ada waktu untuk membicarakannya dengan Mas Aska, bukan kah Mas sibuk dengan Kak Ahra. Aku mana sempat untuk bicara walau cuma sebentar," ucapku pelan.

Aku tidak menyidir, aku hanya bicara fakta. Melihat perubahan wajah Mas Aska yang merasa bersalah dan tatapan canggung kak Ahra sedikit mengurangi kegugubanku. Aku tidak salahkan? Dua hari ini Mas Aska memang sibuk dengan calon istrinya itu, bahkan tidur saja aku tidak tau dia jam berapa. Mungkin saja dia malah tidur di kamar Kak Ahra.

"Ak---"

"Sudahlah Naya juga perginya denganku, apakah kamu tidak percaya dengan kakakmu ini? Jadi berhentilah bertanya pada adik iparku seakan dia ingin selingkuh dan menikah lagi dengan lelaki lain seperti yang ingin kau lakukan sekarang," sela Mbak Hana angkat bicara.

Dia menatap tidak suka pada Mas Aska, nafasnya sedikit tidak beraturan yang menandakan kalau dia sedang di landa emosi. Mungkin kalau tidak ada Mas Andre di sampingnya, Mbak Hana akan semakin emosi dan meledak-ledak.

"Bukannya aku tidak percaya dengan mbak Hana, tapi Naya istriku mbak. Apakah dia tidak bisa sedikit saja meluangkan waktu untuk bertanya dulu denganku,mau bagaimanakan aku ini suaminya. Apakah dia tidak bisa memghargai itu?" tanya Mas Aska masih tidak mau kalah.

Aku tertawa miris mendengar ucapannya itu, menghargai suamiku? Apakah Mas Aska tidak berfikir kalau sebenarnya dia lah yang tidak menghargai aku? Memangnya bagaimana caranya aku bisa meminta izin dan berbicara padanya kalau dia saja 24 jam bersama Kak Ahra dan tidak bisa aku ngangu.

Bagaimana caranya aku berbicara padanya? Bagaimana? Setidaknya tolong jelaskan padaku bagaimana caranya aku melakukan hal itu.

"Tidak menghargaimu sebagai suami?" tanya Mbak Hana sinis. "Kalau kau cukup pintar, coba berfikir dengan sedikit saja otakmu itu di bagian mana Naya tidak menghargaimu sebagai suami?" desis Mbak Ahra sinis dan menarikku untuk ikut dengannya.

"Mas kami pergi dulu sepertinya helepkoternya sudah datang," ucap Mbak Hana sebelum menarikku pergi untuk ikut dengannya.

Mungkin dia terlalu marah dan kesal dengan Mas Aska makannya melakukan hal itu. Sekali lagi aku berusaha mengabaikan wajah keras Mas Aska yang menahan amarah, aku yakin dia pasti kesal sekali karena aku pergi tanpa pamit dengannya.

Dulu pernah sekali aku melakukan hal ini, tapi saat itu posisiku masih wanita yang dia cintai atau lebih tepatnya tanpa ada Kak Ahra di sini. Aska marah besar padaku karena pergi tanpa seizinnya, dia bahkan mendiamku seminggu lebih. Sejak saat itu aku tidak pernah pergi tanpa meminta izin dulu pada Aska.

Tapi mungkin hari ini pengecualian lagi, setelah sekian lama aku tidak pernah membuat kesalahan aku kembali mengulang masa lalu sekarang. Aku bahkan berani oergi dari hadapan Aldreas tanpa meminta izin dulu padanya, demi Tuhan aku benar benar sangat merasa bersalah pada suamiku itu.

Tapi melihat betapa eratnya ngengaman tangan mbak Hana pada lenganku membuat aku tersadar, bahwa dari pada ngengaman itu lebih sakit lagi saat Mas Aska sama sekali tidak menahanku untuk pergi. Jadi untuk semua alasan itu, apakah aku pantas merasa sakit hati dengan ketidak perdulian Mas Aska padaku?

Hola hola selesai guys, jangan lupa like, comen and share ya makasih atas partisipasi kalian semua.

Salam Sayang

Mrs Tulalit

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status