"Apa yang kamu pikirkan, Dek! Mas kan sudah bilang untuk tidak membawa masalah ini kepihak sekolah! Ini bisa merusak semuanya! Mengapa tidak kau pikirkan ucapnku tempo hari?!" sungut Mas Rasyid dengan kilatan amarah di dalam kelopak matanya.Aku terdiam tak menjawab. Mataku hanya sibuk menikmati kilatan amarah yang tertuju padaku itu. kugigit bibirku bagian bawah, betapa luapan amarah di depanku ini demi melindungi wanita itu dari apa yang sudah kupinta pada kepala sekolah. Mas Rasyid bahkan lupa bahwa aku juga tersakiti atas apa yang mereka perbuat padaku. Astagfirullah."Aisyah kena sanksi gara-gara aduan kamu ke kepala sekolah. Dia sedih bukan kepalang. Mengapa tidak kamu pikirkan dahulu dampak dan akibatnya sebelum mengadu?""Astagaaa!!!" sungutnya keras sambil meraup wajahnya dengan kasar. Sesekali mata yang penuh kilatan amarah itu menatapku dengan tajam lalu kembali melengos.Sementara aku, tanganku mencengkeram ujung blouse yang kukenakan. Rasanya lelah untuk meladeni Mas Ras
"Kenapa, Nak? Mengapa menangis? Siapa yang menyakitimu?" tanyaku panik. Aku membalas pelukannya lalu mengusap punggung gadis kecilku dengan lembut. Kurasakan jantungnya berdebar kencang sekali hingga menyalur ke dadaku. Ini membuatku makin merasa bersalah. Melihat bahu Naila yang bergerak tak beraturan membuatku urung meminta penjelasan. Terpaksa kubiarkan ia menyelesaikan tangisnya dulu hingga napasnya kembali seperti biasa."Katakan pada Ibu, apa yang membuat Naila sedih? Siapa yang menyakiti Naila?" tanyaku saat Naila sudah tenang. Napasnya kembali normal."Sudah cukup Ibu berbuat baik pada Ayah. Naila ngga mau punya ayah lagi! Naila marah sama ayah! Naila benci ayah!""Hei, Sayang. Tenang dulu. Ada apa dengan ayah? Ayah baik kok. Ayah sayang sama Naila." Aku berusaha membujuk Naila."Tidak Ibu! Ayah jahat!" teriak Naila dalam tangisnya."Ayah baik, Nak. Ayah sayang sama Naila!""Ayah jahat sama Naila." Naila kembali terisak. Hatinya seperti terdapat sebuah gumpalan amarah tentan
Seorang petugas menjelaskan aturan untuk menjadi reseller dari produk yang mereka hasilkan. Ada berbagai keuntungan yang didapatkan jika bergabung menjadi bagian dari tim mereka. diantaranya mendapatkan bonus yang menarik juga akan dihadiahi logam mulia jika bisa mencapai target tertentu. "Bagaimana, Bu?" tanya si mbak itu. Setelah menjelaskan banyak hal tentunya si mbak karyawan mengharapkan kesediaanku bergabung bersama mereka tapi aku harus kembali berpikir untuk ini semua."Saya tidak bisa memberikan keputusan sekarang. Saya juga minta waktu untuk berpikir dengan matang sebelum benar-benar bergabung besama tim ini.""Baiklah, Bu. Tidak apa-apa. Semua memang harus berdasarkan pertimbangan yang matang. Tapi kalau untuk sekedar bergabung bersama tim di grup silahkan saja. Silahkan isi nomor ponselnya di sini nanti akan dimasukkan grup."Aku menggeleng. "Baik, Mbak saya isi. Tapi untuk dimasukkan ke grup nanti saja jika saya sudah memutuskan untuk benar-benar bergabung saya akan meng
"Bagaimana dengan Naila jika saya menerima tawaran itu, Bu? Ah Anita asal menjawab, lupa ngga berpikir jauh sebelum mengiyakan." Aku mendesah. Antara butuh tapi juga ada Naila di sisi yang menjadi pertimbangan."Ngapain kok kamu pusing. Naila sudah besar, sudah kelas enam. Bisa apa-apa sendiri. Kamu tinggal masak terus kasih jatah jajan baru bisa ditinggal kerja. Kalau ada apa-apa biar ke sini, nemenin ibu.""Beneran boleh, Bu?" sahutku senang."Ya boleh, to. Gimanapun Naila juga cucuku. Bagaimana pun kelakuan Rasyid padamu, Ibu harap tidak memutus hubungan ibu denganmu atau ibu dengan Naila."Aku menatap wajah Ibu dengan mata menghangat. Lagi-lagi terbersit rasa bersalah dalam diriku. Sungguh ini pelajaran buatku, sebelum berbicara banyak jangan menjudge orang lain dengan sangkaan yang belum tentu benar adanya.Usai berbicara banyak dengan ibu, aku kembali pulang ke rumah. Mengistirahatkan badan dan pikiran yang terasa menyita waktu dan hatiku. Alhamdulillah, satu persatu masalah mul
Khadijah menatapku dengan pandangan penuh tanya. Bibirnya mengatup rapat menunggu aku menjawab pertanyaannya."Pak Hamid?" dahiku mengernyit. "Pak Hamid siapa?" Aku tak paham siapa yang dia maksud. Tidak ada orang bernama Hamid di sekitarku."Pak Hamid Karzai." Khadijah menjawab dengan tegas. Ada nada kesal dari suaranya itu.Kepalaku kembali berpikir, lalu sinyal-sinyal dalam kepalaku saling menyahut. "Pak Hamid Karzai yang jadi kepala sekolah?"Khadijah mengangguk. "Iya. Mengapa dia seantusias itu meminta kami untuk menerima kamu di sini, sementara kamu tidak pandai mengoperasikan mesin besar ini." Tangan Khadijah menunjuk mesin di depan kami."Ini konveksi besar, yang butuh tenaga ahli untuk bisa mengoperasikannya. Minimal kerja di sini duah lihai pegang mesin jahit. Lah kamu?" Aku mengalihkan pandangan dari wajah Khadijah, kemudian mataku melihat ujung jarum yang menancap di bagian depan mesin jahit ini. Mengapa tanya demikian, aku juga tak tahu jawabannya.Kepalaku kembali mengi
Sehari setelah permintaan Naila untuk pindah rumah, aku pun menurutinya. Kupakai uang tabungan yang selama ini kusimpan untuk biaya kontrak rumah yang kini kutempati. Sebuah rumah di perumahan yang jauh dari kata bagus, tapi cukup sederhana dan layak tinggal. Terlebih rumah ini membuat kami nyaman berada di dalamnya.Tinggal di tempat yang baru tanpa memberi kabar pada siapapun ternyata lumayan memberikan ketenangan. Bahkan ibu mertua pun tidak kuberi tahu kalau kami telah pindah rumah. Beruntung pemilik rumah ini sudah menyediakan semua perabotan rumah tangga sehingga aku tidak perlu membawa barang-barang yang banyak dan pasti membuat orang lain penasaran untuk bertanya.Panggilan dari Mas Rasyid masih kuabaikan. Salah sendiri menyakitiku dengan cara yang tidak beradab. Terserah mau kebingungan mencari keberadaanku atau bagaimana aku tak lagi peduli. Terbiasa dengan rasa sakit rupanya membuat tingkat ketidakpedulianku terhadap Mas Rasyid makin meningkat. Biarlah, terserah dia mau b
Akhirnya aku menyerah. Kubiarkan Mas Rasyid membawaku ke tempat dimana Aisyah dirawat. Biarlah, sekali saja menuruti keinginan calon mantan suami untuk bisa lepas darinya dan perempuan perebut laki-laki orang lain. Lagi pula hatiku sudah kebas akan perbuatan keduanya. Meskipun seringkali aku malas berbicara dengannya tapi tak mengapa. Toh ini yang terakhir."Mengapa tidak berbicara denganku dulu sebelum memutuskan untuk berpisah?" tanya Mas Rasyid setelah mobil mulai melaju dengan tenang.Aku menoleh sekilas, kemudian tersenyum sumbang. Pertanyaan macam apa itu?"Buat apa? Selalu begitu jawaban Mas Rasyid. Mana pernah berusaha berpikir bagaimana ketika Mas Rasyid berada di posisiku? Selalu saja aku yang diminta untuk mengalah." Aku menjawab tanpa menoleh. Cukup menunjukkan keseriusanku dengan ucapan, tak perlu menunjukkan ekspresi wajahku padanya."Bukan begitu, Dek. Mas mau yang terbaik untuk kita semua!""Sayangnya yang terbaik untuk Mas tidak menjadi yang terbaik untukku. Seringka
PoV AisyahAku duduk merenung di sudut ruang guru, kebetulan meja untukku berada di bagian paling ujung. Beberapa hari ini rasanya aku tak bersemangat. Sakit di anggota tubuh bagian dada ini rasanya mengganggu sekali."Kenapa, Bu? Kok murung terus dari tadi?" tanya Pak Rasyid, rekan sejawat. Beliau baik sekali. Sering mengantarku pulang saat tak sengaja bertemu di depan sekolahan ketika menunggu kang ojek tak juga datang. Ia juga ramah dan peduli. Tidak seperti Mas Angga yang cuek padaku. "Ngga apa-apa, Pak. Dada saya sakit, makanya duduk diem aja dari tadi." Aku memaksa bibirku untuk tersenyum menyambut sapaannya. Jam mengajar sedang berlangsung dan kami sama-sama tidak ada jam mengajar kali ini sehingga ruang guru ini kosong."Izin pulang saja, dari pada kenapa-kenapa," usul Pak Rasyid memberi saran."Enggak, Pak. Kang ojek langganan masih belum bisa jemput kalau jam segini, nunggu satu jam lagi," tolakku halus setelah melihat jam di pergelangan tangan."Kok nunggu ojek? Ya sudah b