"Ibu pikir kamu sudah bertemu ajalmu," sindir Ibu. Wajah sinis melengkapi ucapannya yang menyakitkan itu. Tangannya bersidekap, enggan beranjak dari tempatnya berdiri."Maafkan Rasyid, Bu. Rasyid baru sempat datang mengunjungi Ibu, sebab keadaan Aisyah beberapa waktu lalu masih drop." Mas Rasyid berujar sambil sesekali melirik ke arahku yang ada di belakang Ibu. "Ibu pikir kamu tidak datang karena sudah lupa." Lagi, Ibu menjawab dengan nada sinis."Tidak, Bu. Maafkan Rasyid. Tidak bisa Rasyid lupa pada Ibu," balas Mas Rasyid sambil meraih tangan Ibu untuk diciumnya.Ibu pun membiarkan tangannya dicium oleh putra tunggalnya itu. Perlahan tapi pasti, api yang sedang membara di wajahnya surut karena perlakuan Mas Rasyid itu."Ibu sehat-sehat kah?"Ibu tidak menjawab. Bibirnya mengatup rapat sambil berusaha mengatur napasnya yang sedikit berubah lebih cepat karena perubahan perasaannya.Setelah beberapa saat terdiam, Ibu baru memberi jalan pada Mas Rasyid untuk mendorong kursi roda Aisya
"Kembalilah pada Mas, Dik. Mas masih sayang padamu. Apalagi anak kita setelah ini akan lahir," ucap Mas Rasyid yang seketika membuatku urung membuka pintu.Aku tersenyum sumbang. Mudah sekali dia berkata demikian setelah sekian lama menyembunyikan hubungan terlarangnya itu, ditambah dengan beberapa bulan ini dia abai pada tanggung jawab atas kedua anaknya."Sebenarnya itu bisa dipertimbangkan, sayangnya apa yang Mas lakukan beberapa bulan ini makin membuatku yakin bahwa keputusanku tidak salah.""Beberapa bulan ini aku tidak melakukan apapun padamu, Dik," sergah Mas Rasyid."Justru itu, kemana rasa bersalah Mas padaku dan anak-anak setelah proses cerai usai? Seharusnya, Mas sigap memberikan nafkah untuk anak-anak tanpa kuminta.""Maafkan Mas, Dik. Mas kesulitan ekonomi untuk biaya rumah sakit Aisyah. Uang sertifikasi yang rencananya akan Mas berikan padamu juga sudah terpakai untuk biaya berobat Aisyah. Mas sungguh minta maaf." Mas Rasyid berujar sambil menunduk. "Bukankah itu sudah
"Mbak Anita makin cantik saat hamil," ucap Aisyah membuka obrolan saat dalam perjalanan. Wajah yang tidak sesegar saat pertama kali datang itu sesekali melihat ke arahku sambil tersenyum."Makasih." Aku menjawab sekenanya, sebab aku sendiri masih kepayahan mengatur hatiku yang kadang masih panas dingin berada diantara mereka berdua.Kebersamaan kami selama bertahun-tahun ini mencipta banyak kenangan dan itu tidak akan mudah lenyap begitu saja, butuh waktu."Bawaan bayi mungkin. Seingatku waktu hamil Naila dulu juga begini, ya Dik ya? Kamu makin cantik." Mas Rasyid turut menyahuti. Ekor matanya membingkai wajahku yang terlihat dari kaca spion di depannya. Bibir itu mengulum senyum padaku, masih terlihat penuh cinta."Aku sudah lupa." Aku sengaja menjawab demikian agar Mas Rasyid tak lagi mengungkit kenangan yang sudah susah payah kukemasi.Seolah tidak kehabisan pembicaraan, Aisyah terus saja mencari bahan obrolan lainnya, padahal ia tahu aku tidak menanggapi pertanyaan dengan pertanya
Aku berjalan ke luar kafe meninggalkan Aisyah yang sedang duduk menunggu Mas Rasyid memesan makanan, mencari udara segar karena telah berhasil membuat Aisyah tak berdaya karena ucapanku.Seharusnya dari dulu saja aku seperti ini agar dia tahu diri, sayangnya semua sudah terlambat.Pemandangan di luar rest area ini sangat indah. Hamparan sawah yang mengelilingi bangunan besar di pinggir jalan tol ini cukup menyejukkan mata. Warna hijau dari tanaman padi ini membuatku tak henti menatap sekeliling dengan penuh rasa syukur.Mataku memejam, sambil menikmati semilir udara yang menerpa wajahku. Sesekali aku mengusap perutku agar bayi yang ada di dalam kandunganku merasa nyaman setelah aku berdebat dengan perempuan tidak tahu malu itu."Jadi anak soleh atau salehah ya, Nak. Sayangi Ibu dan kakakmu nanti," ucapku sambil mengusap-usap perut.Mataku mengitari sekitar, kulihat sepasang suami istri yang sedang berjalan bersama sambil bergandengan tangan. Perut dari perempuan yang digandeng oleh la
Tidak ada obrolan dalam perjalanan, pun Aisyah tidak lagi mengeluh minta istirahat di rest area. Akhirnya perjalanan terasa lebih cepat sampai dan aku bisa kembali lagi berjumpa dengan kasur karena punggungku rasanya sudah tak karuan.Saat mobil sudah berhenti di depan rumahku, Mas Rasyid turun lebih dulu untuk membantuku melangkah keluar.Mas Rasyid berdiri di depan pintu yang terbuka, ia hanya berjaga-jaga di depan pintu untuk mengawasiku yang sedang berusaha turun sendiri. Perut yang sudah buncit ini membuat siapapun yang melihat pasti merasa iba karena kepayahan, kecuali Aisyah. Ucapannya itu terdengar tidak ada rasa iba sedikitpun."Sudah besar, seharusnya bisa turun sendiri," sindir Aisyah saat Mas Rasyid membantuku turun dari mobil. "Jangan khawatir, Mas Rasyid hanya membantuku. Tidak ada sedikitpun dalam hatiku untuk mengambil apa yang sudah kamu rebut." Aku menyindir Aisyah sebelum mengangkat badanku keluar mobil.Tak menyahuti, Aisyah hanya mencebik.Aku tak lagi peduli de
Seorang bayi baru saja keluar dari rahimku. Pipinya gembil, dagunya lancip serta bibirnya yang kemerahan membuat wajah itu bak pinang dibelah dua dengan ayahnya.Tangisnya yang keras itu membuatku tak henti mengucap syukur. Suara nyaring itu bukti bahwa ia lahir dengan sempurna, tanpa kurang satu apapun. Semoga saja."Alhamdulillah, Dik. Anak kedua kita laki-laki," ujar Mas Rasyid dengan air muka bahagia bercampur haru. Ia sedang duduk di sebelahku sambil menggendong bayi mungil yang sudah dibersihkan itu.Aku mengerjapkan mata, merasai sisa-sisa nyeri dari jahitan yang baru saja dilakukan oleh bidan. Akan tetapi, nyeri itu tak lagi terasa ketika mataku melihat bayi mungil dalam gendongan ayahnya sedang membuka mata sambil memainkam bibirnya. Sungguh menggemaskan.Sakitnya kontraksi dan proses jahit jalan lahir yang sobek, seketika hilang ketika aku melihat bayiku dalam kondisi sehat dan sempurna.Betapa Allah menjaga bayi ini sekalipun semasa hamil kondisiku tidak selalu baik. Bahkan
Aku duduk terdiam sambil menyusui bayiku dengan kepala yang tak henti berpikir. Bagaimana mungkin bos di tempatku kerja menaruh rasa padaku. Bahkan berpikir ke sana pun aku tidak pernah.Ingatanku kembali pada saat baru bekerja di konveksi milik Pak Hamid itu. Aku yang tidak tahu caranya mengoperasikan mesin jahit khusus konveksi tetap diterima meskipun Khadijah harus mengajariku lebih dulu.Kembali teringat olehku bagaimana raut dongkol Khadijah karena waktunya tersita untuk mengjariku, di ruangan khusus."Pelan-pelan injak pedal dinamonya!" teriak Khadijak saat aku terlalu bersemangat."Injak pelan sambil pegangi kain bagian ini.""Ini arahnya lewat sini, beda sama mesin jahit yang hitam itu." Khadijah jengkel ketika aku belum terlalu hafal bagaimana rute benang yang tak sengaja terputus.Suara teriakan Khadijah terdengar menyeramkan, tapi karena tekanan keadaan dan kebutuhan membuatku mampu bertahan.Gaji yang kudapat di bulan pertama juga tidak sesuai dengan kesepakatan ketika int
PoV. RasyidSepiring nasi yang telah disiapkan oleh Ibu di meja makan sama sekali tidak membuatku ingin menyentuhnya. Aku sedang duduk berpangku tangan sambil menikmati lamunan.Aku kembali teringat saat telingaku mendengar obrolan Anita bersama temannya di dalam kamar perawatan sebelum aku pergi meninggalkan mereka. Kalau tidak salah aku melihat nama konveksi yang tertera di seragamnya adalah "Khanza Convection"Aku tercenung setelah mendengar obrolan Anita dengan rekannya. Serta tulisan Khanza Convection yang ada di baju perempuan tadi, seperti tidak asing bagiku. "Mungkin Mbak Khadijah yang bilang sama Bapak." Suara Anita menyahuti."Ngga tahu juga. Tapi kalau beneran Bapak naksir sama Mbak Nita, aku akan senang sekali. Bapak tuh wajahnya berkharisma banget, Mbak. Dengar-dengar usianya juga belum genap empat puluh tahun, kalo sama usia Mbak pas banget. Karakternya yang berwibawa dan santun cocok sama Mbak yang kalem gini. Ish kalau beneran begitu, aku dukung pokoknya!""Kamu ini.