Aku berjalan ke luar kafe meninggalkan Aisyah yang sedang duduk menunggu Mas Rasyid memesan makanan, mencari udara segar karena telah berhasil membuat Aisyah tak berdaya karena ucapanku.Seharusnya dari dulu saja aku seperti ini agar dia tahu diri, sayangnya semua sudah terlambat.Pemandangan di luar rest area ini sangat indah. Hamparan sawah yang mengelilingi bangunan besar di pinggir jalan tol ini cukup menyejukkan mata. Warna hijau dari tanaman padi ini membuatku tak henti menatap sekeliling dengan penuh rasa syukur.Mataku memejam, sambil menikmati semilir udara yang menerpa wajahku. Sesekali aku mengusap perutku agar bayi yang ada di dalam kandunganku merasa nyaman setelah aku berdebat dengan perempuan tidak tahu malu itu."Jadi anak soleh atau salehah ya, Nak. Sayangi Ibu dan kakakmu nanti," ucapku sambil mengusap-usap perut.Mataku mengitari sekitar, kulihat sepasang suami istri yang sedang berjalan bersama sambil bergandengan tangan. Perut dari perempuan yang digandeng oleh la
Tidak ada obrolan dalam perjalanan, pun Aisyah tidak lagi mengeluh minta istirahat di rest area. Akhirnya perjalanan terasa lebih cepat sampai dan aku bisa kembali lagi berjumpa dengan kasur karena punggungku rasanya sudah tak karuan.Saat mobil sudah berhenti di depan rumahku, Mas Rasyid turun lebih dulu untuk membantuku melangkah keluar.Mas Rasyid berdiri di depan pintu yang terbuka, ia hanya berjaga-jaga di depan pintu untuk mengawasiku yang sedang berusaha turun sendiri. Perut yang sudah buncit ini membuat siapapun yang melihat pasti merasa iba karena kepayahan, kecuali Aisyah. Ucapannya itu terdengar tidak ada rasa iba sedikitpun."Sudah besar, seharusnya bisa turun sendiri," sindir Aisyah saat Mas Rasyid membantuku turun dari mobil. "Jangan khawatir, Mas Rasyid hanya membantuku. Tidak ada sedikitpun dalam hatiku untuk mengambil apa yang sudah kamu rebut." Aku menyindir Aisyah sebelum mengangkat badanku keluar mobil.Tak menyahuti, Aisyah hanya mencebik.Aku tak lagi peduli de
Seorang bayi baru saja keluar dari rahimku. Pipinya gembil, dagunya lancip serta bibirnya yang kemerahan membuat wajah itu bak pinang dibelah dua dengan ayahnya.Tangisnya yang keras itu membuatku tak henti mengucap syukur. Suara nyaring itu bukti bahwa ia lahir dengan sempurna, tanpa kurang satu apapun. Semoga saja."Alhamdulillah, Dik. Anak kedua kita laki-laki," ujar Mas Rasyid dengan air muka bahagia bercampur haru. Ia sedang duduk di sebelahku sambil menggendong bayi mungil yang sudah dibersihkan itu.Aku mengerjapkan mata, merasai sisa-sisa nyeri dari jahitan yang baru saja dilakukan oleh bidan. Akan tetapi, nyeri itu tak lagi terasa ketika mataku melihat bayi mungil dalam gendongan ayahnya sedang membuka mata sambil memainkam bibirnya. Sungguh menggemaskan.Sakitnya kontraksi dan proses jahit jalan lahir yang sobek, seketika hilang ketika aku melihat bayiku dalam kondisi sehat dan sempurna.Betapa Allah menjaga bayi ini sekalipun semasa hamil kondisiku tidak selalu baik. Bahkan
Aku duduk terdiam sambil menyusui bayiku dengan kepala yang tak henti berpikir. Bagaimana mungkin bos di tempatku kerja menaruh rasa padaku. Bahkan berpikir ke sana pun aku tidak pernah.Ingatanku kembali pada saat baru bekerja di konveksi milik Pak Hamid itu. Aku yang tidak tahu caranya mengoperasikan mesin jahit khusus konveksi tetap diterima meskipun Khadijah harus mengajariku lebih dulu.Kembali teringat olehku bagaimana raut dongkol Khadijah karena waktunya tersita untuk mengjariku, di ruangan khusus."Pelan-pelan injak pedal dinamonya!" teriak Khadijak saat aku terlalu bersemangat."Injak pelan sambil pegangi kain bagian ini.""Ini arahnya lewat sini, beda sama mesin jahit yang hitam itu." Khadijah jengkel ketika aku belum terlalu hafal bagaimana rute benang yang tak sengaja terputus.Suara teriakan Khadijah terdengar menyeramkan, tapi karena tekanan keadaan dan kebutuhan membuatku mampu bertahan.Gaji yang kudapat di bulan pertama juga tidak sesuai dengan kesepakatan ketika int
PoV. RasyidSepiring nasi yang telah disiapkan oleh Ibu di meja makan sama sekali tidak membuatku ingin menyentuhnya. Aku sedang duduk berpangku tangan sambil menikmati lamunan.Aku kembali teringat saat telingaku mendengar obrolan Anita bersama temannya di dalam kamar perawatan sebelum aku pergi meninggalkan mereka. Kalau tidak salah aku melihat nama konveksi yang tertera di seragamnya adalah "Khanza Convection"Aku tercenung setelah mendengar obrolan Anita dengan rekannya. Serta tulisan Khanza Convection yang ada di baju perempuan tadi, seperti tidak asing bagiku. "Mungkin Mbak Khadijah yang bilang sama Bapak." Suara Anita menyahuti."Ngga tahu juga. Tapi kalau beneran Bapak naksir sama Mbak Nita, aku akan senang sekali. Bapak tuh wajahnya berkharisma banget, Mbak. Dengar-dengar usianya juga belum genap empat puluh tahun, kalo sama usia Mbak pas banget. Karakternya yang berwibawa dan santun cocok sama Mbak yang kalem gini. Ish kalau beneran begitu, aku dukung pokoknya!""Kamu ini.
PoV RasyidMobil yang kukendarai melaju dengan kencang menuju tempat tinggal Aisyah. Sebenarnya aku enggan untuk menjemputnya dan membawanya bertemu Nata, tapi dia selalu memaksakan kehendaknya padaku.Aku bisa apa ketika Aisyah sudah mengeluarkan senjatanya, yaitu air mata. Mendengar suara tangisannya menjadikanku tak mampu berkutik apalagi menolak.Diriku seperti sedang dililit keadaan yang menyulitkan kedua tanganku untuk bergerak bebas. Aku hanya mampu melangkah mengikuti jalan yang sudah terpampang nyata di depan mataku, dengan kedua kaki."Mas, mengapa lama sekali?" ujar Aisyah ketika aku baru saja sampai di depan rumah. Ia menyambutku dengan wajah yang cemberut karena aku datang tidak tepat waktu."Iya, jalanan macet." Aku beralasan. Sebenarnya aku hanya menunda keberangkatan saja. Aku hanya menunggu moodku baik untuk kembali mengahadapi Aisyah dengan segala kemanjaannya."Pasti capek ya?" tanyanya saat melihat wajahku yang kusut.Kepalaku mengangguk."Mas istirahat sebentar ya
PoV Rasyid Napas Anita terengah-engah, merasai hati yang panas akan ucapan Aisyah. Ah Aisyah, sudah ku bilang jangan memantik pertikaian, tapi tak dihiraukannya. Emosi Anita ini, adalah respon yang wajar setelah mendengar ucapan Aisyah. Sayangnya semua sudah terlanjur terjadi."Pergi kalian!" usir Anita lagi dengan lantang. Matanya membelalak menatap kami sambil tangannya menunjuk arah pintu yang terbuka.Aku bingung harus bagaimana. Di sebelahku ada Aisyah yang sedang menangis karena bentakan Anita, sementara di depanku ada Nata yang tampak tak nyaman dalam gendongan Anita."Dik, jangan begini. Kami baru saja datang, apa iya langsung diusir begini," ujarku seraya berjalan mendekati Anita. Kasihan Nata jika terus dalam gendongannya yang sedang emosi. Bahkan aku khawatir mamanya Nata itu terkena baby blues karena emosi yang berlebihan."Untuk apa datang jika kalian hanya membuat kami tidak nyaman? Pergi, Mas! Pergi!" usir Anita lagi. Teriakannya yang lantang itu bahkan sampai membuat
Napasku terengah setelah mengusir sepasang suami istri tidak tahu diri itu, lalu kututup pintunya dengan keras agar mereka tahu bahwa aku tidak main-main. Sungguh muak melihat mereka datang ke rumah ini. Bukannya merendah, meminta maaf atau mengambil hati, mereka malah ingin merebut apa yang sudah mereka sia-siakan.Aku bersandar di daun pintu yang tertutup rapat. Kepalaku terasa berat, seperti ada beban yang menindihi. Pandanganku terasa berputar-putar, lalu setelahnya aku limbung. Kesadaranku lenyap seketika.Aku mendengar suara bulik berteriak-teriak, tapi aku tidak mampu menjawab ucapannya. Aku tidak apa-apa, hanya saja entah kenapa kepalaku terasa nyeri sekali.Badanku terasa melayang, seperti sedang digendong seseorang. Dibawa kemana aku ini? Bulik sedang berada di sisiku saat aku membuka mata. Raut khawatir terlihat jelas dalam wajahnya yang kini makin banyak dipenuhi garis-garis penuaan. Sesekali, tangan keriputnya itu menyusut air mata yang mengalir dari sudut netranya.Ar