Napasku terengah setelah mengusir sepasang suami istri tidak tahu diri itu, lalu kututup pintunya dengan keras agar mereka tahu bahwa aku tidak main-main. Sungguh muak melihat mereka datang ke rumah ini. Bukannya merendah, meminta maaf atau mengambil hati, mereka malah ingin merebut apa yang sudah mereka sia-siakan.Aku bersandar di daun pintu yang tertutup rapat. Kepalaku terasa berat, seperti ada beban yang menindihi. Pandanganku terasa berputar-putar, lalu setelahnya aku limbung. Kesadaranku lenyap seketika.Aku mendengar suara bulik berteriak-teriak, tapi aku tidak mampu menjawab ucapannya. Aku tidak apa-apa, hanya saja entah kenapa kepalaku terasa nyeri sekali.Badanku terasa melayang, seperti sedang digendong seseorang. Dibawa kemana aku ini? Bulik sedang berada di sisiku saat aku membuka mata. Raut khawatir terlihat jelas dalam wajahnya yang kini makin banyak dipenuhi garis-garis penuaan. Sesekali, tangan keriputnya itu menyusut air mata yang mengalir dari sudut netranya.Ar
"Bulik, siapa yang pesan taksi ini?" tanyaku sebelum aku malu."Loh, bukannya kamu? Tadi bulik lihat mobilnya berhenti tepat di depan rumah, ya bulik panggil aja mendekat." Bulik bicara dengan santainya, tanpa ada rasa bersalah sedikit pun."Bulik, kita salah taksi. Ini bukan taksi pesanan saya.""Ngga apa-apa. Sudah terlanjur masuk, biar saya antar," ucap pemilik suara yang duduk di depan kemudi. Pak Hamid, ya laki-laki di depan kemudi itu adalah bosku juga pimpinan Mas Rasyid."Tapi ini jauh, Pak. Mau keluar kota."Pak Hamid kembali menoleh seraya tersenyum. "Ngga apa-apa. Biar saya antar.""Tapi, Pak—""Wes to, Nduk. Bapaknya bilang mau ngantar, ya sudah kamu naik saja. Toh kita juga akan bayar nantinya," sela bulik menghentikan ucapanku."Tapi Buli—""Sudah ngga apa-apa. Kamu naik saja," sahut Pak Hamid lagi.Aku jadi serba salah begini. Hendak menolak tapi bulik sudah terlanjur duduk di dalam. Meminta bulik turun juga dicegah sama bapak. Tak punya pilihan lain, aku pun terpaksa
"Berkenalan?" ucap bulik mengulangi ucapan Pak Hamid."Iya. Saya ingin kenal lebih dekat dengan Dik Anita, karena saya berniat untuk menjadikannya istri saya," ujar Pak Hamid dengan mimik serius. Laki-laki itu bahkan tidak mau tahu dengan penolakanku yang begitu keras sejak di dalam mobil tadi."Istri?" ucap bulik mengulangi perkataan Pak Hamid."Iya, istri. Saya serius ingin menjalani biduk rumah tangga dengan dik Anita."Apa-apaan pak bos ini, membuat kepalaku makin terasa nyeri saja. Baru saja selesai menghadapi Mas Rasyid dengan istrinya yang luar biasa itu, kini aku ganti dihadapkan dengan laki-laki yang terlalu ngoyo ini.Bulik tidak berani menjawab. Ia melirikku yang sedang memasang wajah menahan kesal. Saudara orang tuaku itu pun mengendikkan bahunya. Cukup tragedi diam menahan hajat di dalam mobil tadi, sepertinya ia tidak ingin kejadian itu kembali terulang."Kalau begitu, tanya langsung sama orangnya. Saya tidak berani memutuskan." Bulik menjawab setelah melirikku dengan e
Kulempar ponsel ke atas kasur. Rasanya malas sekali untuk menanggapi pesan itu. Terdengar bunyi notifikasi lagi dari ponselku, tapi aku tidak peduli.Aku merebahkan diri di atas kasur, tepat di sebelah Nata yang sedang terlelap. Kupandangi wajah yang masih mulus ini, betapa malang nasibnya. Bayi sekecil ini lahir tanpa ayah yang membersamainya.Derit pintu kamat terdengar beriringan dengan suara langkah kaki. Aku mengangkat kepala untuk melihat siapa pemilik langkah tersebut."Nduk," sapa bulik sambil meletakkan bobot tubuhnya di sampingku, tepat di bibir ranjang tempatku terbaring."Jangan lagi membahas soal laki-laki dengan Anita, Bulik." Aku mendahului bulik dengan ultimatum keras."Tidak. Bulik hanya menyampaikan pesan dari Nak Hamid untuk kamu."Aku diam, membiarkan bulik melanjutkan ucapannya."Nak Hamid itu sudah lama menikah tapi tidak kunjung punya anak. Berobat kemanapun sudah dilakukannya hingga sang istri mendapatkan serangan stroke berat. Apa yang diharapkan dari wanita
Bulik berjalan ke depan sambil membawa kardus yang berisi barang-barang untuk Naila. Ia tampak bersemangat sekali. Tapi siapa yang bulik maksud, sementara aku baru saja menolak tawaran Mas Hasbi.Tak mau penasaran, aku pun bergegas keluar sambil menggendong Nata. Sebuah tas berisi kebutuhan Nata selama di perjalanan juga tak lupa kubawa."Sayangnya tante mau jalan-jalan ya?" ucap Rosi sambil mencium Nata. Ia menghampiriku yang sudah berada di ruang tamu. "Siapa yang sudah nunggu? Mbak mau pergi naik bus tapi kata bulik ada yang mau antar. Siapa memang?" tanyaku sambil mencuri pandang ke luar rumah. Sayangnya jendela yang tertutup kelambu putih membuat pandanganku tak dapat menembus jendela kaca., hanya terlihat bayangan seorang laki-laki dan seorang perempuan sedang berdiri di belakang mobil."Iya ada. Bosnya Mbak yang kemarin." Rosi menjawab sambil menahan senyuman."Bos?" tanyaku kaget. Aku menatap Rosi dengan tatapan serius bercampur rasa tak percaya.Rosi mengangguk disertai seny
"Belajar yang rajin, ya, Nak? Ibu pulang dulu," ujarku setelah mengecup pipi Naila. Anak gadisku sudah beranjak remaja sekarang. Tak terasa, aku sudah membersamainya hingga ia sudah sebesar ini."Iya, Ibu. Bulan depan jemput Naila ya? Kan liburan. Nanti Naila bantu jagain adik biar ibu ngga capek-capek." "Harus dong. Kan sudah jadi kakak sekarang," sahut Pak Hamid sambil tersenyum hangat.Lagi-lagi aku hanya bisa menghela napas dalam dan panjang. Rasanya lidahku kelu untuk mencegah Pak Hamid berbicara sok dekat dan sok akrab dengan anakku. Tapi apa daya, aku tidak ingin merusak suasana."Insyaallah. Makasih ya, Pak, sudah mau antar ibu saya datang kemari.""Ngga usah makasih, doain aja yang terbaik buat mereka," sela bulik seraya menimang Nata dalam gendongannya.Astaghfirullah. Rasanya aku ingin berteriak."Iya. Doakan semoga jadi yang terbaik." Pak Hamid turut menimpali."Aamiinn," seru Naila semangat."Kalian apaan sih!" ketusku sebab aku sudah tak sanggup lagi untuk diam. Jika ku
Aku terhenyak dengan gambar yang dikirim oleh Pak Hamid. Separah itu kah?Seharusnya sebagai orang yang berada, istri sakit bisa dibawa berobat kemanapun. Bahkan membayar dokter yang terbaik bisa ia lakukan, tapi mengapa istrinya dibiarkan seperti itu?Aku tak habis pikir. Sudah tahu kondisi istrinya seperti itu, kenapa malah dia sibuk cari istri baru? Sebegitu kerasnya niatnya mendekatiku hingga rela membuang waktunya demi mengantarku ke pondok?[Dik Nita jangan berpikiran yang buruk-buruk dulu. Ada cerita dibalik semua ini. Saya sebenarnya kepengen ngobrol banyak dengan Dik Nita. Tapi reaksinya selalu begitu kalau ketemu.]Pesan yang dikirim Pak Hamid membuatku merasa tak enak hati. Aku terlalu keras mementingkan egoku sendiri tanpa mau peduli dengan apa yang ada dibalik niat dan tujuannya itu.Namun aku bisa apa. Pak Hamid sendiri juga tidak mengatakan dengan jelas bagaimana kondisi istrinya yang sebenarnya.Tak kubalas pesannya, panggilan dari Pak Hamid masuk ke dalam ponselku.Ak
Laki-laki itu memandangku dengan tatapan hangat, lalu dua sudut bibirnya terangkat ke atas. Tersirat sebuah rasa bahagia saat dua manik hitamnya itu mendapatiku ada di depannya.Ah laki-laki ini. Sebegitu kerasnya mengejarku hingga lagi-lagi tanpa pertanda tiba-tiba ada di depanku. Bahkan ia tak risih menimang bayi yang bukan siapa-siapanya.Hatiku gerimis seketika. Hatiku yang bak tanah gersang, bahkan hampir longsor, tiba-tiba bertemu dengan dia layaknya hujan di musim kemarau.Mendapatkan perhatian yang tanpa diminta, wajita mana yang tak tersentuh hatinya?Tidak. Aku tidak boleh lemah. Harus kubangun benteng yang kokoh agar aku tak lagi menajdi budak cinta, seperti yang aku rasakan terhadap Mas Rasyid. Yang ujung-ujungnya memberiku kecewa tak terlupakan."Kok sama Mas-nya ini? Tadi kata ibu pergi sama Dik Rosi?" tanya laki-laki itu sopan. Ia berjalan beberapa langkah mendekatiku yang masih tertegun karena mendapatinya berada di sini."Iya, Rosi harus jaga toko sebentar. Saya takut