Kulempar ponsel ke atas kasur. Rasanya malas sekali untuk menanggapi pesan itu. Terdengar bunyi notifikasi lagi dari ponselku, tapi aku tidak peduli.Aku merebahkan diri di atas kasur, tepat di sebelah Nata yang sedang terlelap. Kupandangi wajah yang masih mulus ini, betapa malang nasibnya. Bayi sekecil ini lahir tanpa ayah yang membersamainya.Derit pintu kamat terdengar beriringan dengan suara langkah kaki. Aku mengangkat kepala untuk melihat siapa pemilik langkah tersebut."Nduk," sapa bulik sambil meletakkan bobot tubuhnya di sampingku, tepat di bibir ranjang tempatku terbaring."Jangan lagi membahas soal laki-laki dengan Anita, Bulik." Aku mendahului bulik dengan ultimatum keras."Tidak. Bulik hanya menyampaikan pesan dari Nak Hamid untuk kamu."Aku diam, membiarkan bulik melanjutkan ucapannya."Nak Hamid itu sudah lama menikah tapi tidak kunjung punya anak. Berobat kemanapun sudah dilakukannya hingga sang istri mendapatkan serangan stroke berat. Apa yang diharapkan dari wanita
Bulik berjalan ke depan sambil membawa kardus yang berisi barang-barang untuk Naila. Ia tampak bersemangat sekali. Tapi siapa yang bulik maksud, sementara aku baru saja menolak tawaran Mas Hasbi.Tak mau penasaran, aku pun bergegas keluar sambil menggendong Nata. Sebuah tas berisi kebutuhan Nata selama di perjalanan juga tak lupa kubawa."Sayangnya tante mau jalan-jalan ya?" ucap Rosi sambil mencium Nata. Ia menghampiriku yang sudah berada di ruang tamu. "Siapa yang sudah nunggu? Mbak mau pergi naik bus tapi kata bulik ada yang mau antar. Siapa memang?" tanyaku sambil mencuri pandang ke luar rumah. Sayangnya jendela yang tertutup kelambu putih membuat pandanganku tak dapat menembus jendela kaca., hanya terlihat bayangan seorang laki-laki dan seorang perempuan sedang berdiri di belakang mobil."Iya ada. Bosnya Mbak yang kemarin." Rosi menjawab sambil menahan senyuman."Bos?" tanyaku kaget. Aku menatap Rosi dengan tatapan serius bercampur rasa tak percaya.Rosi mengangguk disertai seny
"Belajar yang rajin, ya, Nak? Ibu pulang dulu," ujarku setelah mengecup pipi Naila. Anak gadisku sudah beranjak remaja sekarang. Tak terasa, aku sudah membersamainya hingga ia sudah sebesar ini."Iya, Ibu. Bulan depan jemput Naila ya? Kan liburan. Nanti Naila bantu jagain adik biar ibu ngga capek-capek." "Harus dong. Kan sudah jadi kakak sekarang," sahut Pak Hamid sambil tersenyum hangat.Lagi-lagi aku hanya bisa menghela napas dalam dan panjang. Rasanya lidahku kelu untuk mencegah Pak Hamid berbicara sok dekat dan sok akrab dengan anakku. Tapi apa daya, aku tidak ingin merusak suasana."Insyaallah. Makasih ya, Pak, sudah mau antar ibu saya datang kemari.""Ngga usah makasih, doain aja yang terbaik buat mereka," sela bulik seraya menimang Nata dalam gendongannya.Astaghfirullah. Rasanya aku ingin berteriak."Iya. Doakan semoga jadi yang terbaik." Pak Hamid turut menimpali."Aamiinn," seru Naila semangat."Kalian apaan sih!" ketusku sebab aku sudah tak sanggup lagi untuk diam. Jika ku
Aku terhenyak dengan gambar yang dikirim oleh Pak Hamid. Separah itu kah?Seharusnya sebagai orang yang berada, istri sakit bisa dibawa berobat kemanapun. Bahkan membayar dokter yang terbaik bisa ia lakukan, tapi mengapa istrinya dibiarkan seperti itu?Aku tak habis pikir. Sudah tahu kondisi istrinya seperti itu, kenapa malah dia sibuk cari istri baru? Sebegitu kerasnya niatnya mendekatiku hingga rela membuang waktunya demi mengantarku ke pondok?[Dik Nita jangan berpikiran yang buruk-buruk dulu. Ada cerita dibalik semua ini. Saya sebenarnya kepengen ngobrol banyak dengan Dik Nita. Tapi reaksinya selalu begitu kalau ketemu.]Pesan yang dikirim Pak Hamid membuatku merasa tak enak hati. Aku terlalu keras mementingkan egoku sendiri tanpa mau peduli dengan apa yang ada dibalik niat dan tujuannya itu.Namun aku bisa apa. Pak Hamid sendiri juga tidak mengatakan dengan jelas bagaimana kondisi istrinya yang sebenarnya.Tak kubalas pesannya, panggilan dari Pak Hamid masuk ke dalam ponselku.Ak
Laki-laki itu memandangku dengan tatapan hangat, lalu dua sudut bibirnya terangkat ke atas. Tersirat sebuah rasa bahagia saat dua manik hitamnya itu mendapatiku ada di depannya.Ah laki-laki ini. Sebegitu kerasnya mengejarku hingga lagi-lagi tanpa pertanda tiba-tiba ada di depanku. Bahkan ia tak risih menimang bayi yang bukan siapa-siapanya.Hatiku gerimis seketika. Hatiku yang bak tanah gersang, bahkan hampir longsor, tiba-tiba bertemu dengan dia layaknya hujan di musim kemarau.Mendapatkan perhatian yang tanpa diminta, wajita mana yang tak tersentuh hatinya?Tidak. Aku tidak boleh lemah. Harus kubangun benteng yang kokoh agar aku tak lagi menajdi budak cinta, seperti yang aku rasakan terhadap Mas Rasyid. Yang ujung-ujungnya memberiku kecewa tak terlupakan."Kok sama Mas-nya ini? Tadi kata ibu pergi sama Dik Rosi?" tanya laki-laki itu sopan. Ia berjalan beberapa langkah mendekatiku yang masih tertegun karena mendapatinya berada di sini."Iya, Rosi harus jaga toko sebentar. Saya takut
Tatapan tajam itu perlahan berubah menjadi air mata. Ia tak kuasa membohongi dirinya sendiri yang sedang berada dalam pusara kesedihan yang mendalam. Naila tertunda pilu sambil bahunya berguncang."Bagi ibu, kebahagiaan Naila adalah kebahagiaan ibu juga. Kalau Naila tidak menghendaki adanya orang lain dalam rumah ini, Ibu tidak akan memaksa."Aku memberanikan diri mengusap lengan Naila agar ia tahu bagaimana pun ibunya ini masih memikirkan kebahagiaannya. Pernikahan itu bukan segalanya bagiku, toh aku tidak pernah mengiyakan permintaan Pak Hamid secara langsung.Naila menyandarkan kepalanya di atas bahuku. Air matanya kian jatuh, bahkan turut membasahi punggung tanganku yang bahunya menjadi sandaran kepala gadis kecilku ini."Bukan tidak boleh, hanya saja Naila belum merasa ingin ada orang lain yang masuk dalam kehidupan Naila. Lebih-lebih Naila khawatir kalau laki-laki itu akan menyakiti ibu seperti ayah menyakiti ibu," ujar Naila terbata.Entah apa yang ada dalam pikiran Naila sampa
"Saya mau menyerahkan surat ini," ucapku sambil mengulurkan amplop cokelat ke tangan Pak Tono, si security."Oh iya. Saya terima ya? Nanti saya sampaikan sama Mbak Miftah." Security itu berujar sambil menoleh ke arah kantor. Seseorang memanggilnya dari kejauhan.Telapak tangan Pak Tono itu terulur mengarah ke seseorang yang memanggil itu, sebagai isyarat kalau ia harus menunggu sebentar."Makasih ya, Pak?" ucapku setelah amplop itu berpindah tangan."Iya, Mbak sama-sama." Pak Tono mulai melangkah.Aku terdiam sesaat, lalu terbersit sebuah pertanyaan dalam kepalaku."Pak, siapa yang meninggal?" tanyaku yang seketika membuat Pak Tono menoleh. Ia menghentikan langkahnya setelah jarak kami sudah lumayan jauh.Pak Tono hanya menjawab dengan gerakan bibir tanpa suara. Silau sinar matahari membuatku susah payah untuk bisa melihat gerak bibir laki-laki berseragam itu dari kejauhan.Ah, Pak Tono. Mbok ya teriak saja.Aku pun kembali ke rumah dengan pikiran bertanya-tanya, siapa yang meninggal?
Tanganku mengusap kepala Naila yang kali ini tanpa memakai kain penutup. Ia melepasnya ketika di dalam rumah dan kembali memakainya saat hendak keluar rumah. Rambut Naila lurus dan hitam legam. Panjang dan wangi beraroma melon. Ia puas merawat diri ketika di rumah. Anak gadisku itu juga menghabiskan waktunya di kamar mandi dengan puas sebab jika di pondok semuanya serba terbatas. Meskipun begitu, Naila tidak malas untuk membantuku membersihkan rumah."Mengapa menangis, Nak?" tanyaku heran. Mengapa ia menyambut kabar yang kubawa dengan tangisan padahal ia tidak salah apapun."Maafkan Naila karena Naila membuat ibu susah seperti ini. Jika saja Naila tidak melarang ibu menikah, Naila tidak akan melihat ibu kesusahan bawa mesin jahit itu ke tukang servis, sampai ibu dijambret begini." Naila berujar setelah kembali duduk menghadapku. Tangannya mengusap sisa air yang membasahi wajah ayunya.Aku menatapnya dengan tatapan teduh. Betapa gadis kecilku ini anak yang perasa dan peka akan keadaan