Tanganku mengusap kepala Naila yang kali ini tanpa memakai kain penutup. Ia melepasnya ketika di dalam rumah dan kembali memakainya saat hendak keluar rumah. Rambut Naila lurus dan hitam legam. Panjang dan wangi beraroma melon. Ia puas merawat diri ketika di rumah. Anak gadisku itu juga menghabiskan waktunya di kamar mandi dengan puas sebab jika di pondok semuanya serba terbatas. Meskipun begitu, Naila tidak malas untuk membantuku membersihkan rumah."Mengapa menangis, Nak?" tanyaku heran. Mengapa ia menyambut kabar yang kubawa dengan tangisan padahal ia tidak salah apapun."Maafkan Naila karena Naila membuat ibu susah seperti ini. Jika saja Naila tidak melarang ibu menikah, Naila tidak akan melihat ibu kesusahan bawa mesin jahit itu ke tukang servis, sampai ibu dijambret begini." Naila berujar setelah kembali duduk menghadapku. Tangannya mengusap sisa air yang membasahi wajah ayunya.Aku menatapnya dengan tatapan teduh. Betapa gadis kecilku ini anak yang perasa dan peka akan keadaan
"Maksudnya?" Kurasa satu kata itu cukup untuk mewakili banyak kalimat tanya di pikiranku."Anak-anak pulang pagi hari ini, sementara guru-guru pada takziah ke rumah kepala sekolah. Lusa mertua Pak Hamid meninggal lalu malam tadi istrinya menyusul. Jadi Mas kabur ke rumah ibu, ngga ikut takziah bareng sama guru-guru. Biar Aisyah nyangkanya saya masih ngajar."Aku tercengang dengan kabar yang baru saja disampaikan Mas Rasyid.Ibu dan istri Pak Hamid meninggal dengan dalam waktu yang hampir bersamaan? Tak bisa kubayangkan bagaimana hancurnya perasan Pak Hamid saat ini. Sayangnya untuk mengucapkan bela sungkawa pun aku tidak punya nomor ponselnya. Untuk membeli ponsel baru juga rasanya belum butuh."Ouwh. Sampaikan pada beliau kalau saya turut berbelasungkawa. Bagaimana pun saya berterima kasih pada kepala sekolah di tempat Mas mengajar karena sudah membantu saya kemarin."Mas Rasyid terkekeh. Ia menoleh ke arahku sejenak, lalu kembali fokus menghadap jalanan. "Iya, kamu berterima kasih,
Kutekan perasaan yang mulai tak sopan merasuki hati. Sebisa mungkin aku harus menjaga diri dari hal yang akan merendahkan martabatku sebagai seorang wanita, terlebih aku sudah menjadi janda. Biarlah semesta yang mengaturnya, siapapun laki-laki yang Allah takdirkan untukku, aku yakin pasti baik menurut Allah. Bahkan jika itu Pak Hamid sekalipun."Mau ngapain nyari aku?" Dahiku mengerut. Ada sedikit debaran dalam dadaku, tapi aku tidak boleh gegabah. Harus kutepis sekuat tenaga agar tidak membuatku lupa diri."Ish Mbak ini ngga peka apa gimana sih? Di ruangan sewing tuh pada heboh bicarain Mbak. Mereka nyangkanya Mbak resign emang beneran mau di nikahin sama pak bos.""Astaghfirullah. Ngga ada seperti itu! Mana ada nikah! Mbak ngga lagi dekat dengan siapapun." Aku mencoba menyangkal, sebab kenyataannya memang tidak seperti itu."Lah pak bos itu? Apa namanya kalau ngga dekat?" "Beberapa waktu lalu memang beliau sempat menyatakan niatnya, tapi Mbak tolak."Nisa membelalakkan matanya tak
PoV Hamid Karzai"Sayang, ikhlas ya? Ridho ya? Ibu sudah lebih dulu menghadap Allah," ucapku sambil memegang tangan istriku yang tidak lagi selentik dulu. Kutatap wajahnya yang sayu, yang kerap kali menitikkan air mata saat kubacakan ayat Al Qur'an di sampingnya.Namun kali ini, bukan bacaan Al Qur'an yang membuat air matanya kembali mengalir tapi kabar kepergian ibunya. Wanita yang kerap kali datang untuk mengusap dan memijat kakinya.Aku tak kuasa melihat air mata istriku jatuh tiada henti itu. Bukan tak ikhlas, hanya saja ibunyalah yang menjadi sumber kekuatan selain aku, suaminya. Kabar ini pasti sangat menyesakkan hatinya.Seandainya istriku bisa bicara, dia pasti akan menangis tersedu-sedu karena rasa terpukulnya. Sayangnya saat ini hanya bisa menangis tanpa mampu berkata-kata.Kutinggalkan istriku untuk bertemu sanak keluarga jauh yang sedang takziah di rumah ibu. Sungkan kalau ada saudara jauh yang jarang datang, tapi aku tidak menemui mereka, sebab rumah kami bersebelahan."P
"Bulik, tolong jangan begitu." Mas Rasyid menyela ucapan bulik."Jangan begitu gimana! Kamu itu, sudah bikin anak saya sakit hati, masih aja nyusahin! Kasih racun sekalian aja itu perempuan biar cepet pergi dari dunia ini, ngga nyusahin orang-orang lagi!""Astaghfirullah." Aku berujar sedikit keras menyela ucapan bulik. Sudah ngawur itu.Aku lantas berdiri, memegang bahu bulik agar tak lagi mengomel yang bisa saja membuat kesehatannya terganggu. "Bulik sudah, jangan berteriak. Lagian Anita juga keberatan kalau ibu tinggal disini. Bagaimana pun Aisyah itu sudah jadi menantunya yang sekarang. Tidak pantas kalau ibu ada di sini sementara menantunya yang sedang sakit sedang ada di rumahnya sendirian.""Tapi ibu tidak mau kuajak pulang, Dik.""Permisi, saya menyela. Lebih baik bawa ibunya pulang saja. Tidak enak dilihat orang kalau mantan mertua ada di rumah mantan menantu disaat ada menantunya yang sedang sakit datang membutuhkan uluran tangannya. Lebih baik Pak Rasyid ajak ibunya pulang
Pak Hamid terkekeh. "Dik Nita ini. Mengapa bisa berpikiran seperti itu? Itu saya sendiri yang buat perjanjiannya, masak ada karyawan yang tidak mendapatkan haknya saya diam saja?""Ya bisa saja itu alasan bapak, kan?" sergahku tak mau kalah."Ya enggak. Buat apa saya cari-cari alasan?! Saya hubungi Miftah nanti, biar dia kirim di sini."Aku membuang napas kasar. Rasanya menolak ucapan laki-laki di depanku ini tak lagi berguna. Sebab dia akan memberikan banyak lagi alasan lainnya untuk mendukung perbuatannya agar demi bisa mengambil hatiku.Bayangan susahnya kehidupan setelah menjanda kembali terbayang dalam kepalaku. Ucapan tetangga, dan beberapa kejadian yang membuatku merasa betapa beratnya hidup sebagai tulang punggung keluarga cukup menggelitik hatiku yang semula kupasang mode kokoh. Nyatanya, aku hanyalah wanita lemah yang ternyata tak sanggup dipaksa untuk bertahan menyandang dua tanggung jawab sekaligus.Bukan tak mau berjuang, hanya saja jika ada yang mengharapkanku menjadi p
"Bukankah semua yang ada di dunia ini adalah ujian, Pak?" sambung Pak Hamid lagi.Mas Rasyid langsung menunduk mendengar ucapan atasannya ini. Bahunya naik turun beraturan, seiring dengan dadanya yang kembang kempis."Assalamualaikum," sapa sebuah suara yang paling sangat ingin aku hindari. Tangannya memutar roda yang ada di sisi kanan dan kiri kursi yang didudukinya.Mas Rasyid langsung berdiri setelah mendengar suara istrinya. Ia membantu membenarkan posisi kursi rodanya tepat di samping kursi yang tadi ia duduki."Waalaikum salam, Bu." Laki-laki di sampingku berdiri untuk menghampiri mantan bawahannya itu."Gimana keadaannya, Bu?" Pak Hamid mengulurkan tangannya pada perempuan yang duduk di kursi putar itu, setelahnya ia duduk kembali di tempatnya semula."Alhamdulillah. Beginilah, Pak. Makin hari rasanya makin lemah saja. Kalau saja ngga ada Mas Rasyid yang sabar dan telaten pasti saya sudah ngga bisa apa-apa.""Bukan karena Pak Rasyid yang sabar tapi karena rasa bahagia ibu ketik
Aku duduk di dalam ruang tamu untuk meng-ASI-hi Nata. Ia tampak kehausan karena sejak kutinggal bulik tidak memberinya susu formula. Beliau hanya menimangnya sambil mengajaknya keluar rumah, karena Nata belum menangis meminta susu."Bulik tadi masak sayur bening, habis ini kamu makan dulu," ucap bulik sebelum masuk ke dalam ruang tengah."Iya, Bulik. Nanti saya makan, biar Nata minum ASI dulu."Setelah bulik masuk ke ruang tengah, tak berapa lama terdengar deru mobil berhenti di depan rumah. Aku tidak melihat keluar, paling tamu tetangga sebelah.Namun sebuah ketukan pintu membuatku mau tak mau menoleh ke arah pintu ruang tamu. Kudapati Pak Hamid berdiri di ambang pintu sambil tersenyum. Ditangannya terdapat satu tas berlogo merk toko ponsel yang terkenal di kota ini."Assalamualaikum," sapanya sambil tersenyum."Waalaikum salam. Ada yang ketinggalan, Pak?" tanyaku kaget. Tak biasanya beliau kembali datang setelah beberapa saat berpamitan."Tidak, hanya saja tadi buru-buru mau beli in