Aku duduk di dalam ruang tamu untuk meng-ASI-hi Nata. Ia tampak kehausan karena sejak kutinggal bulik tidak memberinya susu formula. Beliau hanya menimangnya sambil mengajaknya keluar rumah, karena Nata belum menangis meminta susu."Bulik tadi masak sayur bening, habis ini kamu makan dulu," ucap bulik sebelum masuk ke dalam ruang tengah."Iya, Bulik. Nanti saya makan, biar Nata minum ASI dulu."Setelah bulik masuk ke ruang tengah, tak berapa lama terdengar deru mobil berhenti di depan rumah. Aku tidak melihat keluar, paling tamu tetangga sebelah.Namun sebuah ketukan pintu membuatku mau tak mau menoleh ke arah pintu ruang tamu. Kudapati Pak Hamid berdiri di ambang pintu sambil tersenyum. Ditangannya terdapat satu tas berlogo merk toko ponsel yang terkenal di kota ini."Assalamualaikum," sapanya sambil tersenyum."Waalaikum salam. Ada yang ketinggalan, Pak?" tanyaku kaget. Tak biasanya beliau kembali datang setelah beberapa saat berpamitan."Tidak, hanya saja tadi buru-buru mau beli in
PoV Hamid Karzai Malam ini, sungguh aku tidak dapat tidur. Bagaimana jika Dik Nita mendapatkan petunjuk dan itu bukan mengarah padaku. Aku benar-benar tidak mau kalau itu sampai terjadi.Tasbih yang ada di ujung sajadah itu kuraih kembali. Tak bosan aku meminta pada Allah agar berkenan sedikit saja memberiku kebahagiaan setelah sekian lama bertarung dengan penyakit almarhumah Ezra.Malam ini, doaku bertarung meluruhkan doa wanita idamanku, Anita.Ponselku berdering ketika aku sedang khusyuk melantunkan dzikir. Kubiarkan saja, aku tidak mau ada yang mengganggu dzikirku yang sedang khusyuk ini. Doaku benar-benar tulus untuk memohon pada Allah.Tak henti berdering, aku menghentikan aktivitasku. Betapa bahagianya saat kudapati nama Dik Nita yang tertera dalam layar panggilan.Tak butuh waktu lama, segera kuraih ponselku agar segera terhubung dengan wanita yang sedang kuperjuangkan dengan doa ini.Dahiku mengerut, telingaku kupasang dengan tajam. Suara Dik Nita mengapa begini?Mendadak ak
PoV Hamid Karzai"Masya Allah, terima kasih ya, Dik Nita sudah bersedia menerima pinangan saya," ujarku penuh haru. Debar dalam dadaku seketika lenyap berganti dengan rasa bahagia yang tak terduga."Bismillah ya, Pak. Saya bersedia memulai hidup baru dengan bapak. Semoga berkah," balasnya lirih. Perlahan bibir yang sejak tadi sibuk menangis kini mulai terkembang. Senyum yang membuat wajahnya makin terlihat menawan."Iya. Saya janji akan membawa pernikahan ini menjadi pernikahan yang sakinah mawaddah dan rahmah.""Permisi, Pak. Pelakunya sudah tertangkap, hampir saja diamuk warga. Sebaiknya bagaimana ini? Langsung dibawa ke kantor polisi apa kita selesaikan secara kekeluargaan saja? Soalnya dia mengaku hanya sebagai suruhan." Ketua RT datang menemui ku di depan kamar Dik Nita."Suruhan?" tanyaku memastikan. "Mari kita bicara di depan saja. Saya juga harus memastikan sendiri benar suruhan atau dia hanya mengada-ada untuk melindungi diri dari hukuman.""Mari, Pak. Saya sudah ikat dia di
"Kita berangkat ya?" ajak Mas Hamid kemudian.Kami lantas memulai perjalanan ini dengan sedikit rasa canggung yang masih tersisa. Betapa dulu aku menghormatinya sebagai atasan di tempat kerjaku juga sebagai pimpinan Mas Rasyid, tapi kini laki-laki ini sudah jadi calon suamiku.Masya Allah, begitu mudah Allah balikkan keadaanku dari kondisi yang benar-benar terpuruk menjadi seperti sekarang yang sedikit terbuka untuk menerima laki-laki lain sebagai pendamping hidup. Meskipun diawali dengan tragedi, tapi itu tidak membuatku trauma. Aku percaya kejadian itu merupakan pertanda dari Allah untukku mengambil keputusan."Mas senang bisa pergi berdua begini." Senyum yang terpasang di wajah Mas Hamid itu membuatnya tampak ... tampan. "Saya yang tidak tenang," balasku sambil menunduk, merasai canggung dan cemas yang berbaur jadi satu."Ya ngga apa-apa, sabar sebentar. Kita kan bukan pergi untuk jalan-jalan tapi ada masalah yang harus kita bahas.""Memangnya siapa yang sudah menyuruh orang itu."
"Lihatlah dirimu, bahkan untuk meminta maaf atas kesalahanmu saja kamu enggan." Mas Hamid terus mencecar Khadijah dengan kalimat yang menyudutkan."Bukan enggan, Pak," sela Khadijah cepat. Helaan napasnya keluar bersamaan dengan bahunya yang bergerak ke bawah."Saya tidak akan memaksa kamu untuk melakukan permintaan saya, sebab semua itu tergantung dari hati kamu sendiri." Mas Hamid menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Ia memundurkan badannya hingga punggungnya bersandar di kursi yang ia duduki.Khadijah menunduk. Jari-jarinya masih saling bertaut, belum terlepas. Sesekali ia terlihat menghela napas panjang.Sebenarnya aku tidak tega melihat ekspresi Khadijah yang mulai terlihat merasa bersalah itu. Tapi bagaimana pun ekspresinya, dia tetap harus diberi efek jera."Saya tidak menyangka jika Mbak melakukan ini pada saya. Padahal saya selalu berbuat baik, bagaimana pun ketusnya ucapan Mbak, saya tidak pernah membalas. Kalau Mbak bilang sama saya bahwa Mbak menyukai Mas Hamid, say
"Aisyah," gumamku dengan pandangan menerawang."Entahlah, Mbak, siapa namanya. Saya tidak paham, wong dia sakit parah dan ngga pernah keluar rumah," balas laki-laki itu."Baiklah, Pak. Makasih ya?" ucap Mas Hamid kemudian. Ia lantas kembali menginjak pedal gas untuk melanjutkan perjalanan yang hampir sampai."Kita muter lewat rumah Pak Rasyid ya?" tawar Mas Hamid saat mobil mulai melaju."Buat apa?" sergahku cepat."Entahlah, saya ingin lewat saja."Aku diam saja. Menolak juga pastinya dia akan tetap mempertahankan keinginannya. Biarlah mau lewat manapun, sesukanya.Mobil pun berjalan melewati gang yang lainnya, menuju rumah Mas Rasyid yang juga berada satu jalur dengan rumahku.Namun, saat kami tiba di dekat rumah ibu, kulihat ibu sedang berjalan dengan bahu yang bergerak sambil membawa sebuah tas besar. Ia berjalan menuju arah jalan raya utama."Itu ibunya Pak Rasyid kan?" tanya Mas Hamid sambil menunjuk ke arah ibu. Ia segera menghentikan mobilnya. "Turun deh, Dik. Coba tanya itu ke
PoV Rasyid"Dadaku sakit, Mas," rintih Aisyah. Ia sedang terbaring di atas tempat tidur sambil memegang dadanya. "Mas ambilkan obat ya?" tawarku sambil menatapnya tak tega. Wanita yang membuatku kelimpungan ini tampak kehilangan semangat hidupnya. Berbeda dengan beberapa waktu lalu ketika Anita dan Pak Hamid datang menjenguknya. "Ngga usah, Mas. Aku ngga mau minum obat. Percuma juga, sakitnya hanya hilang sebentar tapi nanti timbul lagi. Aku ngga kuat, Mas. Bawa ke mana saja asal sakit ini lekas hilang," racaunya lagi sambil memejam menahan sakit."Dibawa kemana lagi? Mas ini sudah tidak punya apapun. SK milik Mas sudah Mas gadaikan bersama dengan punyamu beberapa waktu lalu untuk biaya kemo. Sekarang kamu minta dibawa kemana lagi? Uang apa? Mas hanya pegang untuk kita bertahan hidup saja.""Carilah, Mas! Pinjam siapa gitu. Atau sertifikat rumah ini kan ada! Jangan diam saja, aku sudah ngga kuat.""Sabar lah, Sayang. Mas juga sudah berusaha merawat dan menjagamu dengan sepenuh hati
PoV RasyidSebuah ambulan tiba dan lekas membawa Aisyah ke rumah sakit. Aku hanya duduk sambil menangis melihat istriku yang tak henti mendapatkan musibah."Sampai kapan semua ini ya Allah?" rintihku sambil terus berjalan mondar mandir di depan ruangan IGD. Banyak lalu lalang pengunjung atau kerabat pasien yang baru datang dan mereka memperhatikanku tapi aku tak peduli. Siapa yang tidak panik jika mendapatkan musibah begini."Bagaimana kondisinya, Pak?" tanya pengemudi mobil yang menabrak Aisyah. Ia baru saja datang setelah perdebatan di pinggir jalan tadi."Bagaimana bisa baik kalau Bapak tahu sendiri bagaimana dia terjatuh! Darah mengalir dari tubuhnya, sudahlah dia sedang sakit malah mendapatkan musibah begini.""Sungguh, Pak. Saya tidak sengaja menabraknya. Saya tidak sanggup jika bapak meminta saya untuk menanggung semua biaya berobatnya tapi saya bisa sedikit membantu meringankan beban bapak.""Meringankan buat apa! Tabrakan itu membuat beban saya makin berat!""Saya minta maaf,