Namun mendadak saja kelebatan si nenek terhenti dengan cara menyentak tatkala kedua kakinya sudah menginjak bagian tengah dari padang rumput luas yang dilaluinya. Kepalanya seketika menengadah dengan kedua tangan dibuka lebar-lebar.
"Gila! Apakah telingaku tak salah menangkap gerakan orang!" desis si nenek mengernyitkan keningnya. "Hmm... nampaknya dua orang yang sedang berkelebat dan bercakap-cakap. Aku ingin tahu siapa orang itu...."
Tanpa bergeser dari tempatnya, Siluman Kawah Api membalikkan tubuh. Kedua tangan kurusnya disedekapkan di depan dada. Rambutnya yang hitam panjang, bertambah acak-acakan dipermainkan angin sore. Suara dua kelebatan tubuh itu semakin jelas terdengar seiring percakapan yang makin kentara.
"Kakang Wulung! Apakah benar ini jalan menuju ke Bukit Watu Hatur!"
"Aku tidak tahu pasti! Beberapa orang yang kita tanyakan tak satu pun memberikan jawaban yang memuaskan! Hanya seorang bapak di dusun yang kita lewati tadi, yang kendati aga
"Kalian lebih pantas menjadi badut-badut kota praja!" serunya sambil tertawa keras.Padang rumput yang tadi sunyi dan nyaman itu, kini mulai diusik oleh keributan. Beberapa bagian tanah di sana pecah dan membentuk lubang yang keluarkan asap. Rumput-rumput berhamburan di udara dan luruh kembali.Seraya menghindari gempuran itu, Wulung Seta menggeram, "Keparat! Bila keadaan terus menerus seperti ini, justru akan menguras tenagaku dan tenaga Sri Kunting! Ini tak boleh dibiarkan! Aku harus nekat menerobos!"Berpikir demikian, saat membuang tubuh menghindari pukulan jarak jauh si nenek, pemuda berpakaian abu-abu terbuka di dada ini segera menggerakkan kedua tangannya, melepaskan pukulan 'Gerbang Marakahyangan'!Namun justru terdengar seruan Wulung Seta sendiri. Karena begitu dikerahkan tenaga dalam pada kedua lengannya, terasa ada satu kekuatan yang luar biasa besar menjalari sekujur tubuhnya, yang menggebrak terlebih dahulu dan menghantam pukulan jarak jauh s
"Kalian benar-benar harus diajar adat! Mengapa tidak Ki Alam Gempita dan Pendekar Pedang yang datang sendiri ke Bukit Watu Hatur!"Tatkala dari tangan kiri si nenek menghampar hawa panas yang tinggi, Sri Kunting langsung membuang tubuh. Namun hawa panas itu telah melingkup sepasang pedangnya dan membuat Sri Kunting tersentak. Mengaduh keras dilepaskan kedua pedangnya karena dia laksana memegang bara. Namun sosok Siluman Kawah Api yang menderu ke depan, rasanya sulit untuk dihindari si gadis. Sri Kunting seperti termangu melihat maut yang datang padanya. Napasnya seolah terhenti dengan dada bergemuruh kuat.Namun bersamaan dengan itu, mendadak saja satu bayangan raksasa seperti menghampar di atas rumput. Menyusul deru angin laksana topan badai mengarah pada sosok Siluman Kawah Api yang menjerit keras...."Heeeiiii!"Si nenek berdagu lancip ini segera menyentakkan tubuh ke belakang, mengurungkan niat menghajar Sri Kunting. Belum lagi si nenek menyadari apa
"Sungguh luar biasa serangan api ular raksasa itu! Tetapi ini justru membuatku penasaran dan tak bisa tinggal diam!"Habis membatin begitu, perlahan-lahan dialirkan kembali jurus 'Bencana Kawah Api'. Kendati siap untuk menyerang, si nenek masih terdiam seolah menimbang apa yang akan terjadi."Mudah-mudahan ular raksasa itu menyerangku lagi tanpa bergeser dari tempatnya. Kalau memang begitu, kemungkinan besar aku masih bisa mengimbanginya...."Setelah menimbang beberapa kali, si nenek segera menahan napasnya. Di lain kejap, tubuhnya sudah menyentak ke depan dengan kedua tangan didorong! Wulung Seta dan Sri Kunting yang merasakan kembali hawa panas menderu ke arah mereka, segera palingkan kepala. Kejap itu pula masing-masing orang hendak memapaki serangan itu. Namun justru keduanya yang terpental ke samping, tatkala dengan tiba-tiba Garaga menggeram keras."Ghraaghhhhh! Hsss...!"Tiba-tiba saja dari dalam mulut Garaga keluar semburan api dahsyat yang
Karena Wulung Seta memutus kata-katanya sendiri, Sri Kunting segera palingkan kepala dan bertanya, "Apa maksudmu, Kakang?""Menilik sikapnya... dia seperti... seperti... hendak menyuruh kita... naik di punggungnya....""Oh! Tidak salahkah, Kakang?" tanya Sri Kunting dengan kedua mata terbuka lebih lebar.. Naik ke punggung ular itu. Wah! Sulit dibayangkan! Rasanya mungkin senang, namun tak mengurungkan kengerian yang bisa mendatanginya."Aku tidak yakin. Tetapi tubuhnya mendekam lebih merendah, pertanda dia siap ditunggangi Kemudian kepalanya selalu bergerak ke belakang dan aku bisa menduga kalau gerakkannya itu seperti isyarat agar kita naik ke punggungnya...."Sri Kunting kembali menatap Garaga yang mendekam lebih rendah dan kepala yang selalu bergerak ke belakang."Mungkinkah, Kakang?""Aku tidak yakin. Tetapi... paling tidak.. kita bisa mencobanya.""Oh! Mengapa, Rayi?""Bagaimana bila kita salah menduga?"Wulung Seta
"Celaka betul! Aku yakin, urat darahku ini akan meletus! Oh! Apa yang bisa kulakukan sekarang!"Namun pada saat yang kritis itu, pada saat Si Buta dari Sungai Ular sedang dicekam kenyerian yang luar biasa di telinganya dan ngeri mendapati urat darah pada tangan kanannya menggelembung, mendadak saja terdengar suara tawa yang keras namun berirama mendayu-dayu. Jarang orang tertawa sedemikian kerasnya dan seperti menelusur dengan irama tawa yang memukau. Perubahan yang terjadi pada diri Manggala punsungguh mengejutkan. Kendati kedua gendang telinganya masih terasa nyeri, namun urat darahnya yang menggelembung mulai normal kembali, hingga kini dia mulai bisa bersikap tenang.Sementara itu, alunan seruling ganas yang mengejut kan tadi, mendadak lebih mengeras. Kendati suara seruling itu makin melengking tinggi, kemudian menghujam dan seperti menusuk dengan cepat, namun suara tawa yang terdengar dahsyat itu, seperti meliuk-liuk menghindari tindihan ganas tenaga dari alunan s
Blaaammm!Saat itu pula terdengar suara letupan keras tatkala gelombang angin yang menderu dari satu tempat itu ambyar tertahan pukulan ‘Geledek’. Seketika tempat itu seperti bergetar dan dinaungi hawa panas yang keluar dari tenaga inti ‘Geledek’ yang dilepaskan Si Buta dari Sungai Ular.Yang mengejutkan memang terjadi. Sosok pemuda berajah petir di dadanya, surut dua tindak dengan kedua tangan bergetar."Gila! Sungguh luar biasa orang itu!" desisnya dalam hati. Kendati demikian, wajahnya tak menunjukkan kepiasan. Setelah mengalirkan tenaga dalamnya hingga kedua tangannya tidak bergetar, Si Buta dari Sungai Ular berkata lagi, "Apakah hanya begitu saja kepandaian tokoh sesat yang ternyata justru ditertawakan orang! Apakah kau tak memiliki ilmu lainnya, hah!""Setan keparat! Kau akan menyesali ucapanmu itu barusan, Si Buta dari Sungai Ular!""O ya?" balas Manggala mengejek. "Atau... justru kau yang akan datang meminta maaf den
Dan mendadak saja Raja Setan Seruling Maut alihkan pandangan ke kanan diiringi bentakannya yang menggebah keras, "Orang tua berkalung oyot pohon yang berajut! Silakan keluar! Sikapmu yang mencoba tandingi kehebatan seruling di tanganku ini, cukup memaksaku untuk menurunkan tangan!"Begitu mendengar seruan lelaki berambut panjang sepinggang dan botak di bagian tengah, tanpa sadar Manggala ikut-ikutan mengalihkan pandangannya ke kanan."Hmm... bukankah Pendekar Bijaksana selalu mengenakan kalung dari oyot pohon seperti yang dikatakan manusia sesat itu?" desisnya dalam hati. Lalu sambungnya sambil menatap tajam pada Raja Setan Seruling Maut yang sedang mengalihkan pandangan kekanan, "Setinggi apa pun ilmu yang dimiliki manusia celaka ini, aku tak akan mundur sejengkal pun!"Menyusul kemudian terdengar orang bersyair, ‘Bersembunyi bukanlah tindakan pengecut, kalau memang itu harus dituntut tetapi angkara murka terus berbuntut hingga tangan pun jadi ingin t
Masih tak bisa menyembunyikan keheranannya, pemuda yang di dadanya terdapat rajahan petir dan di sanalah mendekam sebuah ilmu langka bernama 'Inti Roh Dewa Petir' berkata, "Orang tua... sungguh kata-katamu itu membingungkanku."Pendekar Bijaksana hanya tersenyum."Aku pun sudah menduga demikian.""Lantas... mengapa kau belum menjelaskannya?" aju Manggala seperti menuntut.Kepala kakek tanpa pakaian yang memperlihatkan tonjolan tulang di badannya, menggeleng."Tak perlu kujelaskan. Karena kau akan tahu apa yang akan terjadi.""Bagaimana aku bisa mengetahuinya sementara aku masih bingung dengan apa yang kau katakan?""Menunggu sedikit adalah tindakan yang sangat bijaksana ketimbang mengetahui lebih dulu yang pada akhirnya akan membawa pada jalan yang salah. Yang pasti, kau tetaplah mendatangi Bukit Watu Hatur," kata kakek bongkok berkalung dari oyot pohon yang agak menjuntai itu.Mendengar jawaban si kakek, diam-diam Manggala men