"Kalian benar-benar harus diajar adat! Mengapa tidak Ki Alam Gempita dan Pendekar Pedang yang datang sendiri ke Bukit Watu Hatur!"
Tatkala dari tangan kiri si nenek menghampar hawa panas yang tinggi, Sri Kunting langsung membuang tubuh. Namun hawa panas itu telah melingkup sepasang pedangnya dan membuat Sri Kunting tersentak. Mengaduh keras dilepaskan kedua pedangnya karena dia laksana memegang bara. Namun sosok Siluman Kawah Api yang menderu ke depan, rasanya sulit untuk dihindari si gadis. Sri Kunting seperti termangu melihat maut yang datang padanya. Napasnya seolah terhenti dengan dada bergemuruh kuat.
Namun bersamaan dengan itu, mendadak saja satu bayangan raksasa seperti menghampar di atas rumput. Menyusul deru angin laksana topan badai mengarah pada sosok Siluman Kawah Api yang menjerit keras....
"Heeeiiii!"
Si nenek berdagu lancip ini segera menyentakkan tubuh ke belakang, mengurungkan niat menghajar Sri Kunting. Belum lagi si nenek menyadari apa
"Sungguh luar biasa serangan api ular raksasa itu! Tetapi ini justru membuatku penasaran dan tak bisa tinggal diam!"Habis membatin begitu, perlahan-lahan dialirkan kembali jurus 'Bencana Kawah Api'. Kendati siap untuk menyerang, si nenek masih terdiam seolah menimbang apa yang akan terjadi."Mudah-mudahan ular raksasa itu menyerangku lagi tanpa bergeser dari tempatnya. Kalau memang begitu, kemungkinan besar aku masih bisa mengimbanginya...."Setelah menimbang beberapa kali, si nenek segera menahan napasnya. Di lain kejap, tubuhnya sudah menyentak ke depan dengan kedua tangan didorong! Wulung Seta dan Sri Kunting yang merasakan kembali hawa panas menderu ke arah mereka, segera palingkan kepala. Kejap itu pula masing-masing orang hendak memapaki serangan itu. Namun justru keduanya yang terpental ke samping, tatkala dengan tiba-tiba Garaga menggeram keras."Ghraaghhhhh! Hsss...!"Tiba-tiba saja dari dalam mulut Garaga keluar semburan api dahsyat yang
Karena Wulung Seta memutus kata-katanya sendiri, Sri Kunting segera palingkan kepala dan bertanya, "Apa maksudmu, Kakang?""Menilik sikapnya... dia seperti... seperti... hendak menyuruh kita... naik di punggungnya....""Oh! Tidak salahkah, Kakang?" tanya Sri Kunting dengan kedua mata terbuka lebih lebar.. Naik ke punggung ular itu. Wah! Sulit dibayangkan! Rasanya mungkin senang, namun tak mengurungkan kengerian yang bisa mendatanginya."Aku tidak yakin. Tetapi tubuhnya mendekam lebih merendah, pertanda dia siap ditunggangi Kemudian kepalanya selalu bergerak ke belakang dan aku bisa menduga kalau gerakkannya itu seperti isyarat agar kita naik ke punggungnya...."Sri Kunting kembali menatap Garaga yang mendekam lebih rendah dan kepala yang selalu bergerak ke belakang."Mungkinkah, Kakang?""Aku tidak yakin. Tetapi... paling tidak.. kita bisa mencobanya.""Oh! Mengapa, Rayi?""Bagaimana bila kita salah menduga?"Wulung Seta
"Celaka betul! Aku yakin, urat darahku ini akan meletus! Oh! Apa yang bisa kulakukan sekarang!"Namun pada saat yang kritis itu, pada saat Si Buta dari Sungai Ular sedang dicekam kenyerian yang luar biasa di telinganya dan ngeri mendapati urat darah pada tangan kanannya menggelembung, mendadak saja terdengar suara tawa yang keras namun berirama mendayu-dayu. Jarang orang tertawa sedemikian kerasnya dan seperti menelusur dengan irama tawa yang memukau. Perubahan yang terjadi pada diri Manggala punsungguh mengejutkan. Kendati kedua gendang telinganya masih terasa nyeri, namun urat darahnya yang menggelembung mulai normal kembali, hingga kini dia mulai bisa bersikap tenang.Sementara itu, alunan seruling ganas yang mengejut kan tadi, mendadak lebih mengeras. Kendati suara seruling itu makin melengking tinggi, kemudian menghujam dan seperti menusuk dengan cepat, namun suara tawa yang terdengar dahsyat itu, seperti meliuk-liuk menghindari tindihan ganas tenaga dari alunan s
Blaaammm!Saat itu pula terdengar suara letupan keras tatkala gelombang angin yang menderu dari satu tempat itu ambyar tertahan pukulan ‘Geledek’. Seketika tempat itu seperti bergetar dan dinaungi hawa panas yang keluar dari tenaga inti ‘Geledek’ yang dilepaskan Si Buta dari Sungai Ular.Yang mengejutkan memang terjadi. Sosok pemuda berajah petir di dadanya, surut dua tindak dengan kedua tangan bergetar."Gila! Sungguh luar biasa orang itu!" desisnya dalam hati. Kendati demikian, wajahnya tak menunjukkan kepiasan. Setelah mengalirkan tenaga dalamnya hingga kedua tangannya tidak bergetar, Si Buta dari Sungai Ular berkata lagi, "Apakah hanya begitu saja kepandaian tokoh sesat yang ternyata justru ditertawakan orang! Apakah kau tak memiliki ilmu lainnya, hah!""Setan keparat! Kau akan menyesali ucapanmu itu barusan, Si Buta dari Sungai Ular!""O ya?" balas Manggala mengejek. "Atau... justru kau yang akan datang meminta maaf den
Dan mendadak saja Raja Setan Seruling Maut alihkan pandangan ke kanan diiringi bentakannya yang menggebah keras, "Orang tua berkalung oyot pohon yang berajut! Silakan keluar! Sikapmu yang mencoba tandingi kehebatan seruling di tanganku ini, cukup memaksaku untuk menurunkan tangan!"Begitu mendengar seruan lelaki berambut panjang sepinggang dan botak di bagian tengah, tanpa sadar Manggala ikut-ikutan mengalihkan pandangannya ke kanan."Hmm... bukankah Pendekar Bijaksana selalu mengenakan kalung dari oyot pohon seperti yang dikatakan manusia sesat itu?" desisnya dalam hati. Lalu sambungnya sambil menatap tajam pada Raja Setan Seruling Maut yang sedang mengalihkan pandangan kekanan, "Setinggi apa pun ilmu yang dimiliki manusia celaka ini, aku tak akan mundur sejengkal pun!"Menyusul kemudian terdengar orang bersyair, ‘Bersembunyi bukanlah tindakan pengecut, kalau memang itu harus dituntut tetapi angkara murka terus berbuntut hingga tangan pun jadi ingin t
Masih tak bisa menyembunyikan keheranannya, pemuda yang di dadanya terdapat rajahan petir dan di sanalah mendekam sebuah ilmu langka bernama 'Inti Roh Dewa Petir' berkata, "Orang tua... sungguh kata-katamu itu membingungkanku."Pendekar Bijaksana hanya tersenyum."Aku pun sudah menduga demikian.""Lantas... mengapa kau belum menjelaskannya?" aju Manggala seperti menuntut.Kepala kakek tanpa pakaian yang memperlihatkan tonjolan tulang di badannya, menggeleng."Tak perlu kujelaskan. Karena kau akan tahu apa yang akan terjadi.""Bagaimana aku bisa mengetahuinya sementara aku masih bingung dengan apa yang kau katakan?""Menunggu sedikit adalah tindakan yang sangat bijaksana ketimbang mengetahui lebih dulu yang pada akhirnya akan membawa pada jalan yang salah. Yang pasti, kau tetaplah mendatangi Bukit Watu Hatur," kata kakek bongkok berkalung dari oyot pohon yang agak menjuntai itu.Mendengar jawaban si kakek, diam-diam Manggala men
"Tutup mulutmu! Mulai sekarang, jangan sampai aku melihatmu lagi!""Tetapi....""Apakah harus kubuktikan apa yang barusan kukatakan!" putus Nenek Cabul meradang.Mendapati kata-kata yang tak main-main dan tatapan mengkelap itu, Iblis Lembah Ular urungkan niat untuk menyahut. Sesaat tubuh lelaki berkepala lonjong ini bergetar dengan pandangan tajam. Kedua tangannya terkepal kuat. Di lain saat, setelah mendengus keras Iblis Lembah Ular segera balikkan tubuh dan berlalu dari Sana dengan dendam yang mulai naik."Perempuan keparat! Satu saat, akan kubalas penghinaan yang kau berikan ini! Sebaiknya, kucari saja Maut Tangan Satu! Lelaki berlengan kiri kutung itu telah bertindak kurang ajar mengintip dan mencuri dengar apa yang telah direncanakan oleh Nenek Cabul! Keparat betul! Semua manusia di dunia ini keparat!"Sepeninggal Iblis Lembah Ular, Nenek Cabul mendengus. "Aku tak membutuhkan lelaki itu lagi! Tindakan pengecutnya telah bikin darahku mendidih!
Lalu katanya dengan suara dihentak, "Aku dikenal orang sebagai Maut Tangan Satu!"Kepala Nenek Cabul menegak. "Jahanam! Jadi manusia inilah yang mengintip dan mencuri dengar pembicaraanku dengan Iblis Lembah Ular waktu itu! Keparat betul! Bisa kupastikan sekarang kalau dia adalah salah seorang cecunguk Raja Setan Seruling Maut! Hmm... dengan kata lain, dia pun tentunya tahu di mana Bukit Watu Hatur berada! Bagus, dia bisa kujadikan kambrat! Dan untuk sementara kulupakan kelancangannya yang berani mencuri dengar pembicaraanku dengan Iblis Lembah Ular!"Memutuskan demikian, Nenek Cabul berkata, "Hmmm... aku pernah mendengar pula julukan itu. Julukan yang cukup menggetarkan orang!""Aneh! Sikapnya tak berubah sama sekali. Jangan-jangan... dia memang tidak tahu kalau aku mengintipnya waktu itu? Bagus! Dengan begitu, aku tidak perlu terlalu tegang. Hanya saja, di mana Iblis Lembah Ular berada?" tanya Maut Tangan Satu dalam hati. Lalu dengan suara tegas, lelaki berpak