Sedikit demi sedikit Pradya Dagma mulai kewalahan dan terdesak. Beberapa kali ujung tongkat itu hampir menyentuh tubuh Pradya Dagma, Aki Lungkur selalu membelokkannya. Hatinya tetap tidak mengijinkan untuk melukai saudara seperguruannya ini. Tapi Pradya Dagma sudah tidak peduli. Dia malah mempergunakan kesempatan itu untuk mendesak. Timbul sifat mengalah dalam hati Aki Lungkur. Dibiarkan dirinya terdesak. Bahkan dia kelihatan tidak ada semangat lagi untuk melanjutkan pertarungan. Hingga pada suatu saat...
"Akhl" Aki Lungkur memekik tertahan. Kaki Pradya Dagma berhasil menghantam dadanya. Tubuh pengemis tua itu terdorong dua tombak. Matanya berkunang-kunang. Dadanya terasa sesak. Tendangan Pradya Dagma telak, disertai tenaga dalam yang hebat Kalau bukan Aki Lungkur, mungkin dada itu telah jebol.
"Kau menghinaku, Lungkur! Kau sengaja mengalah!" desis Pradya Dagma.
"Aku mengaku kalah," kata Aki Lungkur tersendat.
"Sudah aku katakan, aku tidak peduli dengan s
PERTARUNGAN antara Manggala melawan Sakawuni dan Setan Jubah Merah kian berlangsung sengit di bukit Guntur. Manggala masih tetap menggunakan jurus-jurus warisan Raja Siluman Ular Putih yang dahsyat dan aneh. Dengan demikian lawannya benar-benar kerepotan. Mereka bingung menghadapi gerakan-gerakan yang sulit diduga arah dan tujuannya."Yeaaah...!"Tiba-tiba Manggala berteriak nyaring. Seketika itu pula, tangannya mengembang dengan cepat Tubuhnya kini melayang. Kedua tangannya bergerak-gerak cepat mengibas mencari sasaran."Awas, Wuni!" teriak Setan Jubah Merah tiba-tiba."Hait!" Sakawuni melentingkan tubuhnya ke belakang sejauh dua tombak. Kibasan Manggala berhasil dielakkan, namun bajunya harus direlakan terjambret."Kurang ajar" geram Sakawuni. Mukanya merah menahan malu.Baju di bagian dada yang memang sudah sobek, kian lebar saja terbuka. Bagian dada yang membukit terbungkus kulit putih mulus itu tidak lepas dari tatapan mata Patih Giling
Apakah dia hancur bersama batu itu? Batin Rara Kemuning bertanya-tanya penuh kecemasan.Berangsur-angsur asap tebal yang mengepul sirna disapu angin. Ketika debu itu hilang sama sekali, tampak Manggala masih duduk di atas tumpukan batu-batu yang hancur. Sikap duduknya tidak berubah sedikit pun. Kedua tokoh sakti Itu terperanjat melihat hasil gempurannya tidak berpengaruh apa-apa terhadap lawannya."Oh..." Rara Kemuning mendesah lega melihat pendekar muda itu masih hidup. Sikap gadis itu tidak lepas dari pengamatan Patih Giling Wesi.Dia hanya tersenyum-senyum saja. Rupanya dia mengerti apa yang telah melanda putrinya ini. Patih Giling Wesi kembali perhatiannya tercurah pada ketiga tokoh yang kini telah bertarung kembali.Tanpa disadari, sepasang mata tengah mengawasi pertarungan itu dari balik pohon. Jelas pemilik sepasang mata itu bukan orang sembarangan. Kehadirannya saja tidak diketahui sama sekali. Sementara itu Manggala sudah kembali melayani dua law
Di kotaraja atau di pasar-pasar desa, bocah itu dikenal sebagai pengamen. Kepandaiannya memainkan seruling, dimanfaatkan untuk mencari makan di warung kedai-kedai. Alunan serulingnya yang begitu merdu, membuat para pengunjung kedai tak sungkan-sungkan memberinya sekeping uang. Tak jarang pula, ada pengunjung kedai yang tak sudi mendengar alunan serulingnya. Kepandaian yang dimiliki bocah itu adalah bermain sulap. Itu sebabnya, orang-orang seringkali menyebut-nya si Bocah Ajaib.Tak berapa lama bocah itu berjalan dan kini sudah tiba di Desa Dukuh. Hari ini, di desa itu memang sedang ada hari pasaran. Di hari itu para pedagang secara serempak membuka usaha, sehingga ber-duyun-duyun menuju pusat keramaian di alun-alun desa untuk berbelanja atau mencari hiburan.Maka kesempatan itu tak disia-siakan si Kecil. Segera dia menuju arah alun-alun. Sambil bersenandung kecil, tubuhnya menyelinap di antara lalu lalang penduduk yang memenuhi tempat itu. Cara melangkahnya tampak sant
"Kau...," desis Jiran geram."Ya, aku" sahut Walet gagah. "Apa kau belum kapok dengan pelajaran kecil yang kuberi padamu?"Wajah Jiran merah padam mendengar ucapan Walet. Sungguh memalukan kalau seorang yang amat ditakuti di desa ini mendapat bentakan dari anak ingusan. Tentu saja Jiran tak mau kejadian memalukan seminggu lalu terulang lagi."Mau apa kau, Bocah Sialan?" kata Jiran, dingin dan datar. Tak terlihat tanda-tanda kalau lelaki itu takut terhadap Walet. Tampaknya, dia sudah siap menghadapi keanehan yang mampu diperlihatkan si Bocah Ajaib."Tak banyak yang kumau," ucap Walet. "Aku hanya ingin kau tak mengusik-usik para pedagang lagi....""Apa? Hua ha ha... Kau mimpi, Bocah""Tidak. Justru aku akan menjadi mimpi burukmu, kalau kau tidak mau pergi dari sini," ancam Walet tanpa kenal rasa takut sedikit pun."Ooo, kau mau memperlihatkan kebolehanmu bermain sihir padaku? Silakan.... Kau pikir aku akan tertipu lagi?" ledek Jiran, me
Tak ada seorang pun yang berani menjatuhkan pandangan pada jenazah Walet. Kengerian telah mendepak mata mereka ke tempat lain, meski masih terpaku di sana. Bagi orang-orang pasar, Walet memang teman kecil yang menyenangkan. Bocah itu tak hanya mampu menghibur hati, tapi juga selalu menolong siapa saja yang butuh uluran tangannya. Di antara mereka bahkan sudah menganggap adik atau anak sendiri. Pada saat Jiran mengamuk tadi inginnya mereka turun tangan. Tapi apa daya? Mereka memang tak memiliki daya dalam menghadapi lelaki kejam itu.Sekian lama mereka terdiam dalam siraman gerimis, bagai sekumpulan area. Sampai akhirnya.... "Yhiaaa Walet brengsek! Anak sialan!"Seketika kerumunan orang pasar itu tersentak oleh teriakan Sentana. Dan mata mereka langsung terbelalak serentak mendengar umpatan Sentana yang terdengar ganjil di telinga, "Apa-apaan ini? Apa Sentana kemasukan setan?" tanya hati masing-masing. Dan keheranan mereka terjawab seketika, saat tangan Sentana mengangk
Seperti juga Sentana, Manggala pun merasa tidak ada salahnya bersahabat dengan seseorang yang usianya jauh lebih muda. Nilai sebuah persahabatan, toh tak bisa hanya dinilai dengan perbedaan usia.Secara jujur, Manggala mengakui kalau ketertarikannya pada Walet, dikarenakan ada kesamaan. Sama-sama tak sudi melihat ketidakadilan, kesemena-menaan, dan kekejaman yang terjadi di depan mata."Jadi, Kang Manggala tak tertipu oleh kekuatan batinku?" tanya Walet.Manggala mengangguk."Aku juga tidak mengerti, kenapa orang lain tertipu sedang aku tidak," jawab Manggala."Mmm, mungkin karena Kakang memiliki hati bersih," duga Walet."O, ya?""Bersihnya hati Kakang Manggala, karena berpegang teguh pada kebenaran sebagai amanat Tuhan. Keimanan pada Tuhan, tidak membuat orang mudah terpengaruh sesuatu...," tutur Walet.Mendengar ucapan bijaksana bocah kecil di depannya, Manggala tertawa renyah. Dikucek-kuceknya rambut Walet seperti sikap seo
Dengan alasan inilah, Adipati Tunggul Manik berulang kali mengirim utusan ketiga perguruan lain, untuk memohon bantuan mengatasi sepak terjang Perguruan Ular Iblis. Meski begitu, persoalan demi persoalan yang ditimbulkan para murid Perguruan Ular Iblis tak kunjung selesai.Seperti halnya hari ini, dua lelaki dari Perguruan Ular Iblis terlihat memasuki gerbang desa. Keduanya berpakaian serupa. Rompi merah tua dengan rajutan ular bertaring besar di bagian belakangnya. Pakaian itu masih dipadu dengan celana panjang warna kelabu. Kepala mereka diikat kain merah bergambar lambang perguruan, seperti di baju bagian belakang yang dikenakannya. Kegagahan tampak pada kedua lelaki muda berwajah tampan itu. Sayang, sinar mata mereka berbinar culas.Mereka terus melangkah angkuh, memasuki jalan desa yang lengang siang ini. Tak heran, karena para penduduk yang terutama laki-laki sedang pergi ke sawah. Sedangkan para wanitanya sedang mempersiapkan makan siang untuk dibawa ke sawah na
Siapa yang sudi disebut orang sinting? Begitu marahnya Wisesa, sampai-sampai seluruh urat lehernya tersembul ketika memaki."Kita hajar saja dia, Kang," usul Karta pada Wisesa.Dihampirinya pemuda yang tampak berpura-pura ketakutan. Langkahnya terbanting-banting di jembatan bambu, membuat getaran bagai ada gempa."Hati-hati Bambu-bambu itu sudah keropos" teriak pemuda gondrong yang ternyata Manggala, alias Si Buta dari Sungai Ular seraya menjentik kulit bambu yang dikeratnya dari sisi jembatan.Keratan kulit bambu itu kontan meluncur deras tanpa tertangkap mata Wisesa. Dan tiba-tiba saja menghantam bagian jembatan yang hendak diinjak Wisesa.Krak!Sebelah kaki Wisesa kontan terperosok, begitu jentikan kecil Manggala tadi disertai tenaga dalam tingkat tinggi. Memang, bambu yang terkena kontan remuk. Sehingga, tak kuat menahan bobot Wisesa."Kunyuk Kunyuk" umpat Wisesa seraya bangkit terseok. Wisesa memegangi selangkangan yang terantuk