Kamu pegang ini!” Herni menyerahkan segelas jamu ke tangan Naya. Masih terasa hangat di kulit telapak tangan Naya. “Ini jamu penghilang nyeri untuk Aira. Kamu diam disini dan langsung serahkan begitu mereka selesai!”
Menekan pundak Naya agar duduk di sebuah kursi plastik yang ada di depan pintu kamar Kendra. Tubuh Naya berkeringat dingin. Melihat dengan jelas bagaimana situasi kamar pengantin yang ada di hadapannya. Meskipun pintu tidak terbuka secara utuh, tapi tetap saja matanya bisa menangkap bagaimana kini Aira bergelayut manja pada Kendra. Membuka kaos tipis yang dikenakan Kendra dengan gerakan lambat. Agar Naya semakin panas, Aira langsung memagut bibir Kendra dan duduk di pangkuannya. Menuntut Kendra agar menyambut apa yang sedang ia lakukan. Naya memejamkan matanya kuat. Agar tak melihat apa yang dilakukan Kendra bersama Aira di dalam sana. Mau beranjak ia tidak akan sanggup karena Herni sudah memberikan ancaman. Jika nanti Aira selesai dan meminta jamu, habislah dia. Pastinya wanita berambut coklat tua itu akan mengadu yang tidak-tidak dan akan menambah daftar hukuman Herni untuknya. “Naya! Awas kamu pergi dari sana! Saya akan lakukan hal lebih pedih daripada ini!” ancam Herni sebelum mematikan lampu utama. Dan memastikan seluruh anggota keluarga terlelap dalam tidur. Minus Rendi, karena tadi pria itu pamit mau ke gudang penyimpanan barang di dekat balai desa. Untuk mengantarkan dan memastikan barang-barang yang dipinjam dari balai desa balik dalam keadaan utuh. Acara yang sangat besar dan meriah, ternyata tidak cukup hanya mengandalkan wedding organizer dan catering saja. Ada beberapa tambahan yang dipinjam dari balai desa agar acara berjalan dengan baik. Kenapa tidak besok pagi saja? Satu pertanyaan yang sempat dilontarkan Herni kepada Rendi, pria itu hanya menjawab, lebih cepat lebih baik. Padahal ia tidak ingin berduaan dengan Herni di kamar, yang akan membuatnya bangkit dan ingin menikmati istrinya itu. Sedangkan Herni kini marah padanya. Tidak mungkin dia mau melayani Rendi, yang mudah naik dan mudah pula lepas padahal baru dua kali tusuk. Entah apa yang salah, padahal rumah sakit mengatakan Rendi sehat dan memiliki tenaga yang kuat. Entahlah. Maka dari itu, daripada mendapatkan penolakan yang akan membuat kepalanya sakit atas bawah, Rendi memutuskan untuk bekerja hingga lelah. Kalau sudah begitu, pasti sampai di rumah ia lelah dan langsung tidur. Begitupun jagoannya yang panjang dan kekar, sayang saja di mata Herni tak pernah berharga sama sekali. Di remangnya cahaya lampu yang berasal dari teras, Naya duduk di depan kamar Kendra. Berusaha agar tetap waras supaya tak mati sambil duduk memegangi segelas jamu di tangannya. Karena melihat Aira dan Kendra yang kini telah sama-sama tak mengenakan apa-apa lagi. Sangat sengaja, Aira berbaring dengan kepala mengarah ke bagian bawah ranjang. Agar Naya bisa melihat dengan jelas bagaimana Kendra menikmati dua gundukan kenyal yang begitu bulat dan berukuran cukup besar. Melebihi besar tangkupan tangan Kendra. “Aku tidak bisa. Tidur denganmu saja aku tak sanggup apalagi melakukannya di depan Naya,” tolak Kendra dengan cara berbisik tepat di telinga Aira. Namun, di mata Naya tampak seperti Kendra yang mengulum daun telinga Aira, seraya masuk dan memberikan kenikmatan di bagian bawah tubuh Aira. Sekuat tenaga. Naya meremas daster yang ia kenakan. Melampiaskan rasa panas di dadanya dan gejolak aneh di bawah perutnya. Melihat pinggul Kendra bergerak cukup cepat, padahal Kendra hanya menggesek Aira saja. Belum ada niat untuk masuk karena ia memiliki firasat tidak enak. Firasat Kendra mengatakan Aira berbeda dengan Naya. Berbeda dalam artian keutuhan sebagai seorang gadis. Ketika Kendra menyentuh Naya, remasan di tangannya terasa lembut, kenyal dan padat. Ujungnya pun baru menyembul sedikit dengan warna merah muda. Sedangkan Aira, besar memang. Tapi, ketika Kendra meremas, rasanya begitu lunak. Kedua ujungnya pun besar, seakan sudah sering masuk dan keluar dari mulut seseorang. “Katanya mau menyiksa Naya? Ya, begini caranya!” balas Aira dengan berbisik pula. Seraya menangkap Kendra dan mengarahkan pada lorong kenikmatannya. “Kamu tahu tuan tanah yang menjadi bandar judi, Naya sudah dua kali melayaninya untuk membayar hutang.” Gerakan Kendra berhenti, seiring dengan selesainya ucapan Aira. Ia tak menyangka Naya mampu melakukan itu semua, sama seperti miliknya yang tiba-tiba sudah masuk tanpa merasakan apa-apa. Hanya licin dan hangat saja. “Kamu tak gadis lagi, Ra?” Kendra langsung menarik diri dari Aira. Tapi, Aira langsung menahan dengan melingkarkan kakinya di pinggang Kendra. “Nanti kita bicarakan. Lebih baik kamu bersikap biasa dan lanjutkan saja. Aku merasa dirimu sudah mengeras dan tentunya ingin pelepasan, bukan?” Mengusap rahang Kendra yang mengeras. “Ingat, pernikahan ini untuk menghancurkan Naya yang telah tega membuang uangmu dan menjual dirinya.” Kendra menautkan kedua alisnya. Tidak percaya dengan ucapan Aira, karena di pondok waktu itu ia sangat sulit memasuki Naya. “Ken, dia menjual diri ketika putus darimu. Karena tak lagi bisa memanfaatkan kamu lagi untuk mendapatkan uang makanya dia menjual diri agar bisa membayar hutang ayahnya.” Menekan pinggang Kendra agar kembali bergerak. “Cepat selesaikan, aku pegal. Nanti aku ceritakan semuanya.” Kendra yang tak mau Naya tahu dirinya mendapatkan barang bekas, terpaksa bergerak. Berpura-pura mengerang kenikmatan padahal rasanya hambar. Tak ada cengkraman sama sekali. Begitupun dengan Aira. Mulutnya dipaksa terbuka lebar. Mendesah tak karuan dan meremas sprei yang ada di bawah tubuhnya. Seakan kini Kendra tengah mencabik tubuh bagian bawahnya. Padahal hanya … ah, sudahlah. Naya yang duduk di depan pintu semakin tak mengerti dengan dirinya sendiri. Hatinya sakit melihat Kendra menikmati tubuh Aira, tapi ia tak ada sedikitpun niat untuk menutup mata apalagi pergi menjauh. Ia tetap duduk dan menonton, seakan ini adalah tontonan yang sangat menyenangkan. “Nay … masuk! Letakkan saja jamunya di nakas itu. Kamu bisa kembali ke gudang setelah ini. Jangan lupa tutup pintu!” pinta Aira. Melambaikan tangannya agar Naya masuk dan melihat dengan jelas ada Kendra yang bersarang di pangkal pahanya. Alih-alih menolak, Naya justru segera bangkit dan menuruti keinginan Aira. Masuk ke kamar dan meletakkan jamu di nakas. Ujung matanya sesekali melirik ke arah Kendra yang sesekali juga melirik ke arahnya. Ingin rasanya Kendra lari, tapi harga dirinya tergadai disini. “Owh, Ken … pelan-pelan, ini sakit!” Racau Aira ketika Naya telah membelakangi mereka. Sungguh berlebihan, karena Kendra tak bergerak sama sekali. “Ag, Ken!” Aira melirik Naya yang mulai menjauh. “Nay, jangan lupa tutup. Ah, pintunya!” Tanpa menoleh, Naya hanya mengangguk. Segera keluar dan bersiap menutup pintu. Dan entah kenapa ia tak kunjung menutup pintu. Naya malah mematung dan menatap ke arah Kendra yang masih bergerak memuaskan Aira. . Sangat terpaksa, karena Kendra tahu Naya masih ada dibalik pintu sana. Kendra sedikit heran kenapa Naya malah tahan melihatnya dengan Aira menyatu. Bukannya menangis lari, tapi malah menikmati. Jangan tanya, Naya juga tak mengerti. Rasanya ada yang basah di bagian bawah sana. Miliknya terasa berkedut nikmat, terlebih lagi ingat bagaimana hangatnya tangan Rendi ketika menyapa dadanya. Hangatnya bibir basah Rendi mengulum singkat kedua belah bibirnya. “Tutup pintunya. Tidak baik melihat apa yang mereka lakukan.” Bisik seorang pria. Memeluk Naya dari belakang seraya menutup matanya. Agar tak ketahuan dengan Kendra dan Aira, pria itu menutup pintu dan membawa Naya beranjak. Menuju gudang yang tidak jauh dari kamar Kendra. Hanya dibatasi oleh ruang makan saja. “Ba- bapak?” Naya terkesiap. Begitu melihat siapa pria yang menutup mata dan membawanya menjauh. “Kamu ngapain disitu? Tidak sopan mengintip orang yang sedang melakukan malam pertama,” ucap Rendi, pelan. Agar tak ada yang tahu dirinya sudah pulang dari balai desa. Naya menunduk. “Aku pun awalnya tidak mau, Pak. Tapi Ibu yang memintaku untuk duduk di depan pintu. Memegang segelas jamu untuk Aira. Makanya aku disana,” ungkapnya jujur. “Jamu?” Rendi memeriksa Naya untuk mencari jamu yang gadis itu maksud. “Mana?” “Sudah aku taruh di nakas mereka. Tadi Aira memintaku untuk masuk.” “Ma-masuk?” Mulut Rendi terbuka. Tidak percaya dengan ucapan Naya. Bagaimana mungkin Aira memintanya untuk masuk mengantarkan jamu sedangkan Kendra sedang keluar masuk di dalam tubuhnya. “Iya, Pak. Tadi aku masuk sebentar.” Naya menggigit bibir bawahnya. “Dan aku tidak sengaja melihat mereka secara utuh. Ma-masuk keluar gitu, Pak. Karena ada rasa aneh yang enak terasa di bagian bawah tubuhku, makanya aku mengintip lagi.” Rendi megap-megap, layaknya ikan yang kehabisan air. “Ka-kamu? Itu makanya kamu bukannya pergi tapi, malah diam disana?” Naya mengangguk pelan. “Astaga … Naya.” Rendi menutup mulutnya. Tidak sengaja berucap dengan suara tinggi. “Nay, lain kali jangan diulangi lagi, ya! Bahaya. Itu nggak baik untuk kesehatanmu!” Menegaskan setiap kata yang diucapkan. Lagi-lagi Naya hanya mengangguk. Takut Rendi malah ikut marah dan membenci dirinya. “Ya, sudah. Kamu tidur sana! Saya mau ke kamar dulu, capek!” “Iya, Pak,” sahut Naya lemas. Dimarahi Rendi rasanya seperti kehilangan semangat hidup. Rasanya tidak enak sama sekali. Dengan malas Naya menutup pintu gudang yang kini telah menjadi kamarnya. Lalu bersandar di pintu, dan membayangkan bagaimana percintaan Kendra dan Aira. Ia juga mengingat bagaimana sakitnya ketika Kendra mencoba masuk ketika ingin memperkosanya di pondok. Naya bergidik takut. Rasanya begitu menyeramkan dengan senjata Kendra tersebut. Namun, rasa aneh kembali muncul ketika ingat tangan besar Rendi menangkup dadanya. Mengingat lumatan yang begitu lembut dan hangat. “Gila kamu Nay!” umpat Naya dalam hati. Segera beranjak ke kamar mandi untuk menenangkan otaknya yang sudah tercemar. Diguyur air satu gayung sepertinya cukup untuk mengusir pikirannya yang jorok tentang Rendi. “Pa-pak … maaf!” Wajah Naya memerah. Darahnya berdesir hebat ketika membuka pintu kamar mandi tanpa permisi. Lututnya turut lemas melihat Rendi yang berbalik dan menatap kepadanya. “Astaga …,” Rendi tak mampu bergerak. Tubuhnya begitu kaku dan dingin. Wajahnya merah padam melihat Naya yang tiba-tiba saja membuka pintu kamar mandi. “I-itu Bapak lagi ngapain?” Bukannya lari, Naya justru menunjuk ke arah tangan Rendi yang tengah mengusap jagoannya dengan busa sabun. Menghalau hasrat yang terpantik karena ucapan polos Naya di gudang tadi. “I-itu ….”“Sa-saya …” Rendi gelagapan. “Saya selesai buang air kecil jadinya dicuci dulu agar bersih.” Tetap mengusap jagoannya yang masih berdiri tegak. Bukannya menyembunyikannya dari Naya.Bukannya Rendi tidak segan ataupun tak tahu malu. Akan tetapi, busa sabun masih membaluti tidak mungkin dimasukkan tanpa dibilas. Dan rasanya ini sudah sampai di ujung ubun-ubun.“Ah, begitu.” Naya mengusap tengkuknya. Mencuri pandang pada jagoan Rendi yang panjang dan kokoh. Kalau tak salah dalam melihat ukuran Rendi melebihi jengkal tangannya. Dengan ukuran yang sangat besar.“Aku balik ke gudang dulu, ya, Pak.”Naya pamit. Tapi tak kunjung melangkah pergi dari ambang pintu. Kakinya terasa terpaku di lantai, tidak sanggup bergerak sama sekali.“Naya … Nay!” Suara Kendra menggema. Tepat saat Rendi ingin membuka mulutnya untuk mempersilahkan Naya untuk kembali ke gudang.Alih-alih menutup pintu kamar mandi dan menemui Kendra, Naya yang tersentak justru masuk ke kamar mandi. Menutup, dan mengunci pintu agar
Disaat Kendra dan Aira duduk berduaan di ruang tamu, menikmati buah apel yang telah dikupas. Didampingi dengan segelas susu coklat hangat, semakin mempertegas bertapa santainya kehidupan mereka berdua.Makan tinggal makan. Minum pun begitu. Mereka cukup menyeru Naya, tidak lama kemudian apa yang mereka berdua inginkan segera datang. Disediakan dengan cepat oleh Naya agar tak dimarahi Herni.“Bu, pekerjaanku sudah selesai semuanya. Aku juga sudah masak untuk nanti siang. Untuk makan malam aku usahakan sudah di rumah sebelum jam lima sore,” terang Naya, kepada Herni yang tengah bersolek di depan cermin meja riasnya.“Ya, sudah. Sana pergi! Ingat, sebelum jam lima kamu sudah di rumah dan memasak untuk makan malam!” Herni menoleh sekilas sebelum kembali sibuk dengan make up yang ada di tangannya. “Oh, ya. Kalau mau pergi, kamu lewat pintu samping saja agar Kendra tidak terganggu karena ulahmu.”Naya hanya mengangguk. Segera beranjak pergi, takut terlambat ke ladang. Karena sebelum berangk
Tidak sanggup membayangkan bagaimana menjadi Naya. Sudahlah punggung penuh dengan luka memar, kini ia harus memertik satu persatu cengkeh yang ada di pohon. Naik turun pohon seraya menahan rasa sakit di punggungnya.Dan rasa sakit itu semakin tak tertahankan ketika Naya mengangkat karung di punggung. Perih dan menusuk ketika luka memar ditindih beban berat. Tapi, itu tak terlalu sakit jika dibandingkan dengan mengingat sang ibu yang kini berada di rumah. Ingin rasanya Naya segera pulang dan membawakan makanan untuknya.“Naya! Ayo makan dulu!” ajak seorang wanita paruh baya yang baru saja keluar dari sawah. Menyeru Naya agar turun dari pohon cengkeh.Naya mengangguk. “Ibu duluan saja. Karungku sedikit lagi penuh. Tanggung kalau di tinggal. Jadi nanti sekalian aku bawa ke gubuk saja,” tolaknya secara halus.Meskipun karung yang ada di bawah pohon masih berisi setengah, tapi Naya tetap tidak mau ke gubuk. Ia ingin menunggu sedikit lagi, sampai Aira pergi dari gubuk. Rasanya ia malas jika
“Sa-sakit, Pak …,” desah Naya, seraya menggigit bibir bawahnya. Menahan rasa sakit dan perih ketika Rendi mulai menekan dan mengusap.“Tahan sebentar, ini tidak akan lama,” bisik Rendi. Agar tak ada yang mendengar kini ia tengah berada di kamar Naya.“Pak, aku nggak sanggup. Sakit,” lirih Naya. Menahan pergelangan tangan Rendi yang sibuk menyapukan alkohol di lukanya.“Kalau nggak kamu tahan, kapan luka ini akan diobati? Kamu mau ini semua infeksi?” ketus Rendi. Tidak ingin Naya terus-menerus melarangnya untuk mengobati luka di punggung dan memarnya. Padahal Rendi sudah susah payah menahan diri agar tak kelewat batas terhadap Naya yang kini membelakanginya.Setengah polos, seraya memeluk selimut, Naya membelakangi Rendi yang sedari tadi mengobatinya. Di mata Naya Rendi hanya sebatas mengobati tanpa tahu bagaimana sakit menjadi dirinya. Padahal Rendi jauh lebih menderita daripada Naya. Kepala atas bawahnya terasa berdenyut harus berhadapan dengan punggung Naya.“Nah, sudah. Kalau kamu
"Ken, kamu sudah janji buat lupain Naya. Tapi, kenapa kamu malah mencoba untuk menidurinya? Apakah bagimu aku masih kurang? Kurang cantik? Kurang mampu membuatmu puas di ranjang sehingga kamu masih butuh dia?" cecar Aira. Begitu ia dan Kendra sampai di kamar.Aira benar-benar belum puas melampiaskan amarahnya kepada Kendra, karena merasa di khianati.Di malam pengantin Kendra pertama kali menyentuh Aira …,"Sekarang jelaskan kenapa kamu tak gadis lagi, Ra? Seharusnya kamu masih gadis karena setahuku kamu belum pernah menikah."Aira gelagapan. Bukannya menjelaskan Aira justru menangis. Menghambur ke dalam pelukan Kendra dan memeluknya dengan erat."A-aku diperkosa, Ken. Dari sana aku kehilangan segalanya. Dan aku tidak tahu siapa yang melakukannya, karena tiba-tiba saja aku sudah terbangun di sebuah gubuk. Padahal seingatku, aku pergi ke rumah pak Kades untuk mengantarkan beras pesanannya," bohong Aira. Mengurai pelukannya dari Kendra.Ia menjauh dan menggaruk kulit tangannya yang mulu
“Anak pintar.” Rendi mengulas senyum dan mengusap pucuk kepala Naya, begitu nasi habis tak bersisaKedua pipi Naya bersemu merah. Mendapat pujian dari Rendi, dan agak segan karena tadinya ia menolak untuk makan. Nyatanya disuapi Rendi nasi bungkus malah habis tak bersisa.“Sekarang kamu berkemas. Saya akan ajak kamu ke satu tempat!” pinta Rendi seraya mengemasi bekas makan Naya.“Ke-kemana, Pak?” Naya menengadah ke arah Rendi yang kini berdiri tidak jauh dari tempatnya duduk.“Berkemas saja. Nanti kamu akan tahu sendiri kemana kita akan pergi.” Melihat jam yang melingkar di tangannya. “Saya tunggu sepuluh menit. Tidak usah dandan, kamu sudah cantik,” tuturnya sebelum keluar dari kamar Naya.Tidak tahu kemana Rendi mengajaknya tengah malam begini, tapi tak mampu membuat Naya menolak. Ia tetap mengikuti perintah Rendi. Beringsut duduk dan meraih pakaiannya yang terletak tidak jauh dari kasur tipis yang ia duduki. Cepat Naya mengenakannya dan menyusul langkah Rendi keluar.Tadinya Naya i
"Kamu sudah gila! Datang kesini ….""Ini untukmu," ucap seorang pria yang tiba-tiba saja masuk ke rumah dan memeluk Herni dengan kuat. Membuat wanita itu meronta, meminta dilepaskan.Takut tiba-tiba saja Kendra dan Aira kembali. Tentu saja ini akan menjadi masalah yang sangat besar baginya. Berpelukan dengan laki-laki lain di rumah tanpa ada lagi orang lain disana."Apa ini?" Herni mendengus, kesal dengan Tio yang tak pernah sabar. Padahal mereka berjanji bertemu di tempat biasa pukul sebelas siang. Nyatanya Tio tiba-tiba ke rumah, untung Kendra dan Aira sudah pergi ke toko baru mereka.Dan meskipun Herni kesal, ia tetap saja mengambil kantong yang ada di tangan pria itu. Membukanya dan mengulas senyum."Tumben kamu belikan makanan untukku. Biasanya cuma bawa badan saja," sindirnya seraya mengeluarkan bolu pandan dan nasi bungkus dari kantong tersebut."Itu untuk Febi dari Naya, tapi aku bawa kesini daripada mubazir," sahut Tio seraya menutup dan mengunci pintu rumah. Tidak ingin ada
“Nay, kamu nggak ikut acara di balai desa?” Seorang wanita paruh baya yang tengah berpapasan dengan Naya, menegurnya. Tampak wanita itu sudah selesai dengan pekerjaannya di sawah, padahal hari masih siang. Bukan hanya wanita itu, beberapa temannya yang lain juga ikut menyusul langkahnya untuk keluar dari sawah. Naya menggeleng. “Tidak, Bu. Pekerjaanku masih banyak dan ini semua harus selesai dalam lima hari lagi. Tapi, kalau boleh tahu ada acara apa di balai desa?” Meskipun tidak ikut, tetap saja rasa ingin tahu Naya amatlah besar. Tidak bisa menikmati acara, setidaknya ia tahu acara apa yang sedang berlangsung di desanya. “Biasa, Nay. Kenduri selamatan karena hasil panen di kampung kita sangat berlimpah. Pak kades dan istrinya menggelar acara yang sangat meriah. Siang ini katanya ada artis ibu kota yang datang. Daripada bekerja lebih baik kita melihat acara itu, lagian ini mau hujan.” Menatap langit yang mulai mendung. “Tunggu dulu. Ibu yakin di balai desa ada acara?” Naya kemb