Hannah berpikir kalau orang tidak waras selalu bertindak tidak masuk akal dan orang-orang masih bisa menerimanya. Itu wajar. Mereka tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan. Tapi ini, seorang miliuner tampan, berkuasa dan bisa mendapatkan apa pun yang dia inginkan baru saja melontarkan sesuatu yang tidak masuk akal.
“Kau pasti bercanda!” Hanya itu yang bisa Hannah ucapkan.“Bagian mana dari kalimatku itu yang mengandung candaan, Hannah?”Hannah bahkan lebih terkejut lagi Sebastian tahu namanya. Meski menjadi investor utamanya, tapi Sebastian seringnya bekerja dibalik kursi. Orang-orang bawahannyalah yang sering berinteraksi dengannya.Sebastian menjadi penyandang dana utamanya saat ia berencana membuka butik. Dari sanalah semua berawal. Saat melihat contoh rancangannya Tara tertarik dan ingin dirinya menjadi perancang gaun pengantin mereka.“Tapi itu konyol!” pekiknya dengan mata melebar.Dengan gerakan malas, Sebastian kembali menatap jam tangannya.“Waktumu 15 menit. Lakukan apa pun yang kau inginkan , tapi ancamanku masih berlaku.”Setelah mengatakan kalimat yang rasanya seperti bom yang dijatuhkan diatas kepalanya, Hannah menatap nanar kepergian Sebastian. Lututnya goyah dan ia bisa saja jatuh seandainya tidak berpegangan pada dinding yang sekarang terasa dingin mematikan.Hannah menatap gaun pengantin yang ia rancang sepenuh hati dengan hati terpilin. Seharusnya ini menjadi awal baru untuknya. Seharusnya hari ini orang-orang akan terpukau dengan gaun rancangannya. Seharusnya ….Hanah menggeleng. Tidak. Ini tidak akan terjadi.Dia tidak akan membiarkan mimpinya direbut dengan cara seperti itu, tapi menikah….Sebastian menatap para tamu yang hadir dengan kemarahan tertahan. Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa Tara memutuskan menghilang saat seperti ini? Sudut matanya menatap gerakan Kit.“Ada apa?” tanyanya pelan.Para tamu memperhatikannya, tapi Sebastian mengabaikannya. Saat ini ada yang jauh lebih penting dari pada sekedar memusingkan tamu yang menatapnya dengan ekspresi penuh tanya.“Kami tidak menemukan jejaknya, Sir. Sama sekali.”Kalimat Kit menyentak kesadaran Sebastian. Tara merencanakan hal ini sejak jauh hari. Itu berarti Tara sengaja ingin mempermalukannya. Sebastian memejamkan mata guna menekan kemarahannya yang sepertinya siap meledak. Tara tidak akan mendapatkan keinginannya!Tidak ada cara lain. Wanita itu harus membantunya mengatasi situasi ini. Hannah Evans akan menjadi solusi atas semua kekacauan yang terjadi hari ini.“Buat pengumuman, Kit. Pernikahan diundur 1 jam dari waktu yang ditentukan!” Tanpa menunggu jawaban sekretarisnya Sebastian kembali berjalan menuju ruang ganti pengantin, tempat di mana Tara seharusnya dirias.Sebastian membuka pintu dan mendapati Hannah tengah memandangi gaun putih panjang yang seharusnya dikenakan Tara.“Mau kubantu membuat keputusan?” tanya Sebastian dingin.Hannah mengernyit bingung.Sebastian merogoh saku celananya.“Hentikan aliran dana ke—““Hentikan!”Teriakan itu berhasil menghentikan kalimat Sebastian.“Ada yang ingin kau katakan?”“Kau benar-benar brengsek!”“Aku pernah mendengar hal itu sebelumnya.”Hannah menarik napas dalam-dalam. Pandangannya yang penuh dendam tertuju pada Sebastian yang terlihat begitu tenang.“Kenapa aku?”“Anggap saja jalan keluar yang tersedia hanya dirimu.”“Aku menginginkan perjanjian jika pernikahan ini dilakukan,” sahut Hannah tegas.Sebastian menarik alisnya, tersenyum mencemooh. “Katakan.”“Aku ingin kita tidur di kamar berbeda dan—“Sebastian mengangkat tangan dan Hannah menghentikan rentetan kalimatnya.“Ada yang harus kau pahami Hannah,” desak Sebastian. “Pernikahan ini bersifat sementara. Hanya 1 tahun. Setelah itu kau bebas dan aku memberikan jaminan penuh atas usaha gaun pengantinmu. Katakan kau ingin membangun tokomu di mana dan aku akan memberikan dana penuh. Surat rumahmu akan dikembalikan begitu kita menikah dan soal kamar terpisah tentu saja kita akan tidur di kamar yang berbeda kecuali keadaan tidak memungkinkan. Apa itu menjawab semua pertanyaanmu?”Kedua alis Hannah bertemu. “Keadaan tidak memungkinkan?”“Pertemuan bisnis, pesta atau apa pun yang membutuhkan publisitas. Setelah 1 tahun kita akan bercerai dan aku akan memberikan tunjangan yang bisa membuatmu membangun toko impianmu. Hutangmu … anggap saja tidak ada.”Betapa mudahnya saat kau memiliki uang, pikir Hannah muram setelah mendengar rentetan kalimat Sebastian. Pria itu dominan dan membuatnya ketakutan tapi setelah semua yang dikatakan Sebastian rasanya hal itu tidak terlalu buruk.“Satu tahun?” tanyanya memastikan.Sebastian mengangguk.“Okke kalau begitu aku setuju. Dan Sebastian, aku menginginkan perjanjian di atas kertas.”Dan di sinilah Hannah. Menatap bangunan mewah menjulang yang langsung membuatnya merasa rendah diri. Gaun pengantin yang ia kenakan seakan mengejeknya. Ia tidak pantas berada di tempat ini. Tempatnya adalah rumah sederhana dengan kamar yang pastinya hanya bisa memuat beberapa orang.“Ayo.”Sebastian berjalan tanpa perlu repot-repot menunggunya. Gaun panjang yang dikenakan Hannah sedikit menyusahkannya. Ia mengangkat ujung gaunnya dan berjalan mengikuti Sebastian. Beberapa pelayan tampak tergopoh-gopoh menghampiri mereka.“Siapkan kamar untuk Hannah,” ucap Sebastian tegas, mengabaikan raut terkejut pelayan yang menyambut kedatangan mereka.Hannah meringis, tersenyum setulus yang bisa ia lakukan. Begitu masuk Hannah langsung dibuat menganga.Rumah Sebastian adalah wujud dari kekuasaan pria itu. Hannah menelan ludah melihat lampu kristal yang menggantung di langit-langit atap ruang tamu. Karpet Persia melapisi tangga melengkung tidak jauh dari tempatnya berdiri. Lantai granit mengkilap yang ia injak mungkin akan menjadi penyebab kematiannya.Semua pertunjukkan kemewahan ini membuat perutnya melilit.“Mrs. Carter.”Sapaan itu menyeret Hannah dari lamunannya. “Hannah saja please,” ucapnya cepat.“Kamar Anda ada di atas, Mrs. Carter.”Hannah hanya mengangguk dan mulai menaiki tangga. Ia mengedarkan pandangan dan sadar kalau Sebastian telah menghilang.“Ini kamar Anda, Mam.”Hannah mengangguk menatap pintu yang dibuka oleh pelayan yang mengikutinya. Begitu ia masuk Hannah kembali meringis melihat kemewahan yang ia dapatkan. Luas kamar ini setidaknya sama luasnya dengan apartemennya.“Kamar tuan tepat disebelah Anda.”“Apa?” pekiknya tanpa sadar.“Tuan berpesan agar kamar Anda berdekatan.’Kenapa harus seperti itu?“Kau tahu Sebastian di mana?”Pelayan itu mengangguk. “Tuan ada di ruang kerjanya, Mam.”Orang macam apa yang bekerja di hari pernikahannya? Tapi Hannah menggeleng. Pria itu membutuhkan waktu bahkan ia sendiri membutuhkan waktu untuk mencerna semua kejadian ini.Siapa sangka ini akan menimpanya? bahkan dalam mimpi paling konyolnya sekalipun, menikah tidak ada dalam prioritas mendesaknya. Terkadang ia berharap ini hanya mimpi tapi saat pandangannya menunduk menatap gaun rancangannya—gaun yang seharusnya dikenakan pengantin lain—ia segera sadar kalau ini bukan mimpi.“Aku ingin sendiri,” bisiknya lelah, nyaris memohon pada pelayan yang terus menungguinya.Pelayan wanita itu mengangguk dan melangkah pergi, meninggalkan Hannah sendirian dan kesepian.Hannah mendekati walk ini closet, berusaha keras mengabaikan deretan baju mahal yang digantung dan bergegas meraih baju santai yang bisa ia kenakan. Pastinya semua pakaian ini untuk Tara mengingat wanita itulah yang seharusnya ada di sini.Hannah baru akan membuka kancing gaunnya saat mendengar pintu kamarnya menjeblak terbuka. Hannah dengan cepat menutupi pundaknya.“Tidak bisa mengetuk pintu lebih dahulu?” ucapnya tajam.Sebastian hanya menatapnya tanpa ekspresi.“Bersiaplah, kita akan melakukan wawancara.""Wawancara?"Hannah menatap tangannya yang kini berada dalam genggaman Sebastian. Lampu sorot membuatnya menyipit. Ia merasa asing dengan semua ini, tapi Sebastian yang duduk nyaman di sampingnya sama sekali tidak terlihat ragu akan apa pun. Pria itu menguasai keadaan.“Apa yang terjadi? Semua orang tahu Tara Dixonlah yang akan menjadi pengantin tapi kami semua dikejutkan dengan kehadiran Hannah Evans. Apa ini semacam kejutan demi publisitas?”Hannah meringis mendengar pertanyaan wartawan wanita yang memakai lipstik merah menyala itu. Publisitas? Apa Sebastian membutuhkannya? Pria itu milliarder dan sejauh yang ia tahu publisitaslah yang mengikuti langkah Sebastian bukan sebaliknya.Hannah menatap Sebastian lewat sudut matanya. Pria itu luar biasa tenang, terkendali dan juga misterius. Andai ia bisa seperti itu, keluh Hannah.“Aku dan Tara memutuskan untuk mengakui perasaan kami masing-masing,” ucap Sebastian tenang. Saat pandangan pria itu tertuju pada Hannah sudut mulutnya terangkat.“Tara menci
Hannah mengigit bibirnya saat menatap kerumunan wartawan dari balik tirai panjang butiknya. Sial! Ia tidak pernah tahu kalau masyarakat begitu tertarik dengan kehidupan pernikahan Sebastian.Hannah menatap jam tangannya. Kenapa Sebastian belum datang?Jawabannya datang saat itu juga. Begitu melihat limusin hitam dan sebuah mobil SUV di belakangnya Hannah langsung tahu kalau bantuannya telah datang. Tanpa sadar Hannah tersenyum dan mendesah lega."Sebastian sudah datang?"Hannah menoleh, menatap rekan kerjanya. "Sepertinya begitu."Beberapa pengawal dengan setelan resmi tampak berjalan mendekati butiknya. Hannah buru-buru membuka pintu untuk mereka.“Sebastian yang mengirim kalian?” tanyanya, begitu menutup pintu di belakang para pria bertubuh kekar dengan tatapan datar tanpa ekspresi itu.“Yes, Mam.”"Dia tidak ikut?"“Tuan Sebastian hanya mengirim kami, Mam. Perintahnya adalah membawa Anda dari sini.”Jadi ia minta tolong pada Sebastian dan para pengawal inilah jawabannya? Kenyataan
“Maaf, anggap saja aku tidak mengatakan apa pun,” ucap Hannah cepat-cepat tanpa berani menatap wajah Sebastian. Hannah mengutuk kebodohannya sendiri. Kenapa ia tidak bisa menahan mulut? “Punya referensi tertentu untuk berbulan madu?”Hannah tersedak makanannya mendengar ucapan Sebastian. Wajahnya panas dan ia yakin memerah. “Apa maksudmu bulan madu?” tanyanya terkejut. Pikirannya mendadak kosong."Kita akan bulan madu," jawabnya sederhana. "Punya tempat yang ingin dikunjungi?"Mulut Hannah kering mendengarnya. “Kita tidak perlu berbulan madu.”“Perlu. Orang-orang akan penasaran kita bulan madu di mana.”Hannah merengut. Ia meletakkan sendoknya agar bisa fokus pada Sebastian. “Katakan saja kita tidak berbulan madu atau kalau perlu katakan kita bulan madu di rumahmu. Terserah.” Membayangkan mereka berada di suatu tempat berduaan saja sudah cukup membuat Hannah merinding.“Tentu saja kita akan pergi,” gumam Sebastian seolah Hannah mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal. Sebastian mer
Hannah keluar dari mobil dan langsung terkesiap saat melihat keindahan yang menyambutnya. Mulutnya menganga lebar hingga ia takut akan robek. Bagaimana mungkin ada tempat seindah ini?Hannah dengan takjub menatap villa mewah Sebastian. Undakan kerikil kecil menjadi jalan yang harus mereka lewati agar bisa memasuki villa itu. Pohon-pohon rindang, bunga daffodil bahkan pansy terlihat mekar dan menghiasi bagian depan villa.Indah.Kata itu bahkan terlalu remeh untuk mendefinisikan tempat ini.“Ayo.”Hannah mengangguk, tidak sanggup berkata-kata. Ia melepas kaca mata anti suryanya. Sisilia selalu menjadi tempat yang indah tapi inilah pertama kalinya ia menginjakkan kaki di sini. Di sebuah villa mewah dengan kolam renang dan juga pantai pribadi.Sapuan angin lembut menyapu kulitnya yang terbuka. Hannah tersenyum lebar. Terlepas dari keengganannya untuk berbulan madu tempat ini terlalu indah untuk diabaikan.Sebastian menggeser pintu kaca yang membawa mereka memasuki villa. Tempat ini teraw
Hannah pikir kalau sikap Sebastian selama beberapa hari terakhir sudah cukup menyebalkan dan membuatnya ketakutan, tapi ternyata ia salah. Sejak menerima telepon entah dari siapa sikap Sebastian seperti gunung es. Dingin dan berjarak. Pria itu bahkan menganggapnya seperti makhluk tak kasat mata. Oh, mereka makan bersama di meja yang sama tapi sama sekali tidak ada obrolan basa-basi.Pertanyaannya bahkan hanya mengambang di udara. Hannah penasaran. Siapa yang menelepon dan apa yang dikatakan orang itu sampai membuat Sebastian seperti ini? begitu dingin dan kaku.Hannah menatap siluet Sebastian yang sedang duduk sendirian dan sibuk dengan laptopnya. Pria itu bekerja seharian seolah hidupnya akan berubah kacau jika dia tidak menyentuh benda mungil persegi itu barang sekejap.Hannah melepas kain yang melekat di tubuhnya, menyisakan pakaian renang yang ia kenakan. Jika Sebastian memutuskan menjadi patung di tempat seindah ini, Hannah tidak akan mengusiknya. Ia akan menikmati keindahan Sisi
“Aku pergi dulu,” gumam Hannah, menatap Tina yang sejak kedatangan Sebastian tidak pernah melepaskan senyum dari wajahnya. Hannah sampai menahan senyum melihatnya.“Take your time,” balas Tina sumringah.Hannah berjalan, mengabaikan lengan Sebastian yang bertengger di pinggangnya. Ia tahu, pria itu melakukannya karena Tina melihat mereka.Supir membuka pintu mobil dan mereka berdua masuk ke dalam mobil yang sejuk dan menenangkan.“Ada apa?” tanyanya langsung begitu mobil mulai membelah jalan.“Maksudmu?”“Kau tidak mungkin tiba-tiba datang tanpa tujuan Sebastian. Jadi …?” lanjutnya dengan alis terangkat.“Kita akan pergi malam ini ke pesta gala.”“Kenapa mendadak?”Sebastian terlihat tidak nyaman. “Karena sejujurnya aku tidak berencana untuk datang tapi Kit berkeras kalau pesta ini akan berguna untuk pembukaan hotel baru yang akan kami buka.”Sebagai pebisnis di bidang perhotelan yang tersebar di seluruh dunia, Hannah tahu kalau Sebastian akan sangat sibuk. Bisa dikatakan mereka hanya
Tangan hangat yang membelit pinggangnya dan tubuh kekar yang membalut tubuhnyalah yang memungkinkan kenapa ia tidak merasa sakit sama sekali. Sebastian memeluknya seperti bayi yang membutuhkan perlindungan.“Auhhh.”Rintihan rasa sakit itu memaksa Hannah membuka mata. Ia melihat Sebastian meringis. Mengingat panjang tangga dan kerasnya tangga yang mereka lewati tidak mengherankan Sebastian merintih.“Ma-maaf. Ini semua salahku,” bisiknya terbata-bata.Sebastian melepaskan belitan tangannya.“Kau baik-baik saja?” tanya Hannah dan langsung menyesali kebodohannya. Tentu saja tidak! Siapa yang masih baik-baik saja setelah jatuh berguling dari tangga?Hannah berdiri diikuti Sebastian. Ekspresi pria itu tidak memberikan petunjuk apa pun padanya. Hannah mengigit bibirnya saat melihat Sebastian memejamkan mata karena kesakitan. Tangannya terulur hendak menyentuh Sebastian namun urung dilakukan saat ingat kalau pria itu kemungkinan tidak akan menyukai sentuhannya.“Maaf,” ujarnya kembali.Seba
“Ini yang kau andalkan untuk membujukku makan?”Hannah mengangguk. “Ini makanan andalanku. Rasanya enak. Cobalah.”Sebastian ragu. Apa yang spesial dari sepiring macaroni selain menambah asupan lemak dalam tubuh? Sebastian menatap Hannah dan makaroninya bergantian. Ekspresinya terlihat tidak meyakinkan.“Sepiring macaroni tidak akan membuat lemak ditubuhmu bertambah Sebastian. Cobalah, kau akan menyukainya.”Godaan itu berhasil membuat lengkungan alis Sebastian meninggi. Ia meraih sendok dan meniru gerakan Hannah yang sudah lebih dahulu menyuap makanannya. Sebastian menyendoknya dengan ragu dan saat makanan berbahan tepung itu menyentuh indra pengecapnya Sebastian menemukan dirinya terkejut.“Bagaimana?” tanya Hannah penasaran. Wanita itu terlihat takut mendengar jawabannya.Sebastian menarik napas. “Enak,” jawabnya.Senyum lebar Hannah adalah hadiahnya. “Kau menyukainya? Sudah kubilang ini masakan andalanku. Aku selalu menyukai makanan ini.”Sebastian tidak membantah. Makanan ini kha