"Mas, gimana caranya Mas rujuk sama Mbak Nia. Talak tiga, Mas." Khanif mulai bersuara. "Iya, Khanif benar. Talak tiga. Terus aku mau kamu bawa kemana? Aku sedang hamil, Mas." Nagita melayang protes pada suaminya. "Nyesal kamu, Mas! Nyesal. Makanya sebelum bertidak. Otak di pake jangan disimpan di dengkul." Ali terlihat sangat geram. "Gilang. Jangan sampai karena cinta iman kamu tergadaikan. Mas yakin kamu tahu hukum agama. Suami yang menalak istrinya dengan talak tiga tidak bisa rujuk kembali, kecuali wanita itu menikah dengan lelaki lain. Seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 230 yang artinya 'Jika dia mentalak istrinya (talak tiga) maka tidak halal baginya setelah itu, sampai dia menikah dengan lelaki yang lain ...' maka tidak semudah itu Gilang," terang Mas Lukman. "Gilang akan mencari lelaki lain untuk menikahi Nia sementara waktu. Setelah itu, Gilang akan rujuk dengan Nia," ujar Mas Gilang. Raut wajahnya sangat serius. Nagita semakin tak tenang. "Gilang, jangan gi
"Tidak. Mbak akan pergi. Terima kasih untuk kamu yang selalu ada saat Mbak terpuruk. Setelah ini, kembali lanjutkan kuliah kamu. Setelah itu menikah lah. Berikan ibu menantu. Umur udah mau kepala tiga, masih saja betah sendiri." Aku mengulas senyum padanya. Kutangkupkan tangan di dada sebagai salam perpisahan untuknya. "Ka, bantu Mbak beres-beres. Ambilkan tas dan koper di kamar. Kita pulang malam ini," ucapku pada adik kesayanganku. Dia tidak membantah. Bergegas membantuku berdiri. Keadaan belum stabil. Luka operasi masih nyeri, bahkan bernanah. Aku memilih diam, tidak ingin yang lainnya panik. Setelah sampai di Jogja, aku akan berobat lebih baik lagi. "Tidak bisa kamu menunggu sampai besok pagi, Nak?" tanya Ibu pilu. "Tidak, Bu. Lebih cepat lebih baik untuk semua. Ini untuk kebaikan kita semua. Kuurai senyum manis. Padahal, hati enggan beranjak dari sini. Semua baju sudah kumasukkan dalam tas dan koper. Aku akan memulai hidup baru. Mencari kebahagia yang tidak lagi ada di sini.
JogjaUdara pagi begitu dingin. Mungkin saja efek hujan yang sedari tadi malam menguyur kota kelahiranku. Aku beringsut dari ranjang. Menuju jendela kamar yang berbatas dengan alam yang penuh pesona.Kusibak tirai kamar yang sudah berdebu. Aku tersenyum pelan.Kedua adik lelakiku terlalu sibuk. Sampai lupa mencuci tirai jendela. Berharap sinar matahari memberi cahaya kehidupan. Namun, mentari masih betah bersembunyi di balik awan hitam.Cuaca hari ini mendung. Aku memilih kembali meringkuk di atas ranjang. Kupeluk erat guling dalam pelukan. Tidak ada hal yang kulakukan untuk sementara waktu selain beristirahat memulihkan kondisi.Suara pintu diketuk terdengar dari arah luar. Sedetik kemudian, wajah Raka menyembul di balik pintu."Mbak, siap-siap, ya. Raka mau membawa Mbak ke rumah sakit. Kita cek kondisi luka operasi, Mbak," ujar adikku."Nggak usah, Mbak sehat kok. Beli saja obat di apotik," pintaku dengan mengulas senyum."Jangan membantah. Mbak harus sembuh. Cepat berkemas!" Raka m
BandungSatu tahun kemudian"Mbak cepetan!" teriak Raka heboh dari balik pintu kamarku."Apaan sih? Sabar dong!""Gimana bisa sabar. Ini sudah jam delapan. Acara pembukaan restorannya tinggal beberapa menit lagi. Mbak ngapain di dalam?" Raka mendadak bawel."Mbak Nia. Nggak usah dandan berlebihan. Cepetaan!" Daffa ikut berteriak."Ya Allah! Heboh kali lah kalian," gerutuku seraya mempercepat gerakan tanganku yang sedang memasang hijab.Sejenak mematut diri depan cermin. Wajahku kembali sempurna setelah menjalani sekarangkai perawatan. Menghabiskan ratusan juta dalam kurun waktu hampir enam bulan."Mbak!""Ya Allah! Sabar!" teriakku.Kusambar tas atas ranjang. Aku tersenyum sendiri melihat tas yang sekarang tersangkut di bahu. Bukan barang branded seperti yang sering aku tenteng dulu. Ah! Kutepis bayangan yang seharusnya tidak perlu kubayangkan lagi.Kumelangkah ke arah pintu. Wajah dua lelaki tampanku terlihat cemberut."Lamanya," ketus Daffa."Harus terbiasa. Biar nanti saat punya i
"Khanif," gumamku pelan. "Yeeee! Horeee! Suprise!" Daffa dan Raka berteriak histeris di belakangku. Aku menatap ke arah mereka berdua. Wajahnya semringah. Lalu beralih pada Khanif yang hanya mengulas senyum sambil mengerak-gerakkan alisnya. "Ada apa ini? tanyaku bingung. "Tidak ada apa-apa. Hanya ini," jawab Khanif. Jawaban yang tidak mampu menjawab rasa penasaranku."Dari mana kamu tahu Mbak di sini?" tanyaku pelan. "Kemana pun kamu pergi. Aku selalu bisa menemukanmu." What! Khanif tidak memakai embel Mbak saat memanggilku. "Cieee!" Raka sibuk sendiri di belakangku. "Diam," desisku kesal. "Mbak jangan marah-marah lah," ujar Raka. "Kita sudah mendiskusikan ini sebelumnya. Tujuan kita pindah ke Bandung. Agar Mbak jauh dari mereka. Kenapa sekarang Khanif ada di sini?" tanyaku pada Raka dan Daffa yang salah tingkah. Aku melangkah menjauh. Tidak suka dengan lelucon di hadapanku."Kamu tidak sayang Ibu, Nak? Kamu ingin membuang Ibu? Kamu tidak rindu sama Ibu? Kamu tega menyiksa I
"Cincin Mbak? Mbak nggak punya cincin berlian, Nif. Jangan bercanda," tukasku. Ibu hanya mengulas senyum, saat netra kami beradu. "Iya, Cincin kamu," jawabnya lagi."Sejak kapan kamu berani panggil Mbak dengan sebutan kamu?" tanyaku dengan delikan mata. Hening sejenak. Tidak ada yang bicara. Ibu pamit keluar. Lapar menjadi alasannya. Meninggalkanku dengan Khanif. Jenak-jenak kebisuan tercipta. Entah kenapa aku merasa segan berdua dengannya. Satu tahun tidak berjumpa membuatku canggung dalam menghadapinya. Beruntung, dinding pembatas ruangan terbuat dari kaca. Jadi tidak akan jadi fitnah berduaan dengan lelaki bukan mahramku."Kamu nggak mau makan?" tanyaku mencairkan suasana. "Tidak lapar," jawabnya datar. Kuhela napas panjang. "Baiklah, kembali ke masalah cincin. Bagaimana ceritanya cincin berlian itu bisa ada dalam cake di meja kamu. Terus sekarang kamu bilang itu milik Mbak. Jawab yang jelas. Jangan membuat orang penasaran."Cincin itu milik kamu, Nia." Kepalanya didonggakkan k
Angin bertiup kencang memainkan rambutku. Langit malam hitam pekat, hanya di hiasi beberapa bintang. Duduk seorang diri dengan pikiran melalang buana tidak tentu arah. Ucapan Khanif terus terngian-ngiang dalam ingatan."Mbak!" Suara Raka terdengar dari belakang.Aku menoleh ke arah sumber suara. Kepalanya menyembul di balik tembok pembatas."Ngapain ngelamun seorang diri? Di atas genteng pula. Nggak takut di ambil setan?" tanya Raka sambil cekikikan nggak jelas."Apaan sih? Biasa juga di sini," balasku tidak terima dengan tuduhannya."Tempat yang sama, tapi lamunanya berbeda, 'kan?"Raka naik mendekat ke arahku. Dibawanya dua kaleng minuman ringan dengan kacang kesukaanku."Terima kasih," ucapku pelan."Kembali kasih Mbak cantik," balasnya pelan.Sejenak kami terdiam menikmati pekatnya malam. Udara dingin membelai wajah kami pelan."Mbak kenapa nggak Mbak terima saja cinta Pangeran Arab?" tanyanya memecah keheningan."Pangeran Arab yang mana lagi?" tanyaku dengan memicingkan mata."Ci
Langkahku terhenti saat sampai di pintu dapur restoran. Mendengar rumpian beberapa gadis yang bekerja padaku."Cowok baru tu ganteng kali lah, kayak bule-bule gitu," ujar gadis bertumbuh ramping itu."Bener, macho kali lah. Pengen dijadiin pacar," balas rekannya."Gue pikir-pikir kemarin itu sengaja dia bikin ulah. Dia sendiri yang meletakkan cincin dalam cake agar jadi perhatian. Terus nuntut kerja di sini."Hah! Berita heboh apa lagi ini?"Sependapat. Tapi nggak apa lah, setidaknya ada tempat cuci mata kalau lagi capek. Bisa dipepetin," seloroh mereka.Aku malas menanggapi, memutar badan hendak kembali ke ruanganku. Aku butuh penjelasan.Bruuk!Aku menabrak seseorang. Piring dan gelas berhamburan di lantai. Menimbulkan suara riuh. Sehingga perhatian tertuju ke arah ku."Ibu nggak apa-apa" tanya anak buahku."Nggak apa-apa, saya yang salah," jawabku datar seraya membersihkan baju dari kotoran sisa makanan."Punya mata dipake dong! Ini buk bos. Jangan asal jalan saja!" sentak anak bua