Langkahku terhenti saat sampai di pintu dapur restoran. Mendengar rumpian beberapa gadis yang bekerja padaku."Cowok baru tu ganteng kali lah, kayak bule-bule gitu," ujar gadis bertumbuh ramping itu."Bener, macho kali lah. Pengen dijadiin pacar," balas rekannya."Gue pikir-pikir kemarin itu sengaja dia bikin ulah. Dia sendiri yang meletakkan cincin dalam cake agar jadi perhatian. Terus nuntut kerja di sini."Hah! Berita heboh apa lagi ini?"Sependapat. Tapi nggak apa lah, setidaknya ada tempat cuci mata kalau lagi capek. Bisa dipepetin," seloroh mereka.Aku malas menanggapi, memutar badan hendak kembali ke ruanganku. Aku butuh penjelasan.Bruuk!Aku menabrak seseorang. Piring dan gelas berhamburan di lantai. Menimbulkan suara riuh. Sehingga perhatian tertuju ke arah ku."Ibu nggak apa-apa" tanya anak buahku."Nggak apa-apa, saya yang salah," jawabku datar seraya membersihkan baju dari kotoran sisa makanan."Punya mata dipake dong! Ini buk bos. Jangan asal jalan saja!" sentak anak bua
"Mbak akan mencoba, tapi kalau hati Mbak tidak bisa tersentuh oleh Khanif. Jangan salahkan Mbak," ujarku menyerah. Menghela napas panjang. Mengendurkan ego di depan mereka. Meski ini suatu pemaksaan."Alhamdulillah," ucap mereka hampir serempak."Ibu akan segera menghubungi Khanif ....""Tidak perlu, Bu. Biar Nia yang menyusul ke Mesir." Ucapanku membuat mereka bertiga kaget. Bahkan mulut Raka dan Daffa terbuka lebar. Dengan mata melotot. Ibu juga tidak kalah kaget. Menarik tubuhku segera dalam pelukannya."Mbak, serius?" Daffa menghambur ke dekatku."Serius lah. Mana ada main-main," balasku seraya mengedipkan mata nakal.Raka melipat kedua tangannya di depan dada. Melihatku dengan wajah senyam-senyum nggak jelas. "Ini mah, namanya malu-malu tapi mau.""Kami ikut, ya? Kami belum pernah keluar negeri," ungkap Daffa manja. Wajahnya di pasang menyedihkan. Aku diam dengan memainkan mulutku. Daffa mencubit lenganku pelan. Tingkahnya tidak jauh berbeda dengan anak kecil yang merenggek pada
Keluarganya mencoba menahan tawa. Karena, mereka tidak mau menganggu suasana yang sedang Khanif bangun seromantis mungkin. Daffa dan Raka masih sibuk memvidiokan adegan demi adegan yang berlangsung."Fine. Lalu ... apa yang kamu mau, Khanif?" tanyaku mulai menguasai keadaan."Menikahlah denganku. Aku pastikan kamu akan bahagia.""Serius?""Katakan padaku apa yang harus aku lakukan untuk membuktikan keseriusanku.""Tidak perlu," balasku dengan mengulas senyum datar. Menatapnya lekat. Namun, dia membuang muka."Lalu ... apa jawabanmu?" tanyanya tanpa menatapku."Ini!" Aku mengangkat tanganku. Dengan maksud hati memperlihatkan cincin bermata berlian yang melingkar di jari manisku."Apa, katakan padaku!" Khanif mulai mengerjaiku. Ekspresinya berubah garang dipenuhi senyuman."Ini," ucapku kembali seraya menunjuk ke arah cincin berlian di tanganku."Gunakan suaramu untuk menjawab pertanyaanku," pinta Khanif."Ayo Mbak, jawab!" teriak Daffa."Yoi! Ayo, Nia. Berikan jawabanmu!" teriak Ibu tid
"Aku mohon, Nia. Batalkan rencana pernikahanmu dengan Khanif. Aku tersiksa setelah kepergianmu. Jangan kamu siksa aku dengan kebahagian kalian berdua. Tolong, Nia. Pertimbangkan lagi keputusanmu." Mas Gilang mengemis di kakiku. Derai air mata membuat pertahananku luluh."Mas ....""Tolong, Nia. Aku hidup serasa mati sejak kepergianmu. Aku tak sanggup jauh darimu. Batalkan pernikahan kalian. Pergi lah bersamaku, Nia."Sekuat tenaga mempertahankan air mata. Sungguh, sulit untuk kulakukan. Mas Gilang terisak, mengusik cinta yang pernah kami urai. Kubuang pandangan darinya, mencari view yang mampu mengalihkan perhatianku padanya."Mas, kita sudah bicara sebelumnya. Perbaiki hubunganmu dengan Nagita. Kalian sudah punya anak ....""Lihat aku, Nia! Aku tidak bahagia bersama Nagita? Aku tidak mencintai. Karena di dalam hatiku cuma ada kamu. Cuma ada kamu," lirihnya pelan. 12 tahun bersama Mas Gilang. Aku tidak pernah menemukannya setragis ini.Apakah benar kamu tersiksa, Mas?"Aku tidak bisa
Aku mengelus dada pelan. Khanif menjemputku jauh dari Bandung untuk dibawa ke Jakarta. Menuju toko perhiasan langganan keluarga Sentawibara. Menelan saliva berulang, Khanif sangat antusias dengan pernikahan kami. Sedang hatiku, biasa saja. Ya Allah! Berdosakah aku dengan perasaan ini?Kami bertiga turun, menginjakkan kaki ke dalam toko perhiasan yang sepak terjangnya sudah diakui puluhan tahun lamanya."Selamat Siang, Bu Nia Nirmala, Bu Kasih dan .....""Khanif," sahut ibu."Maaf," ujar pelayan toko. Orang yang sama pada saat terakhir kali aku menginjakkan kaki di sini."Tidak apa. Ini putra bungsu saya. Baru pulang dari Mesir," ujar ibu ramah. Pegawai toko itu hanya mengangguk pelan."Jadi apa yang bisa saya bantu?" tanyanya sopan dan mengulas senyum ceria. Hal yang wajib dilakukan bagi mereka yang melayani pembeli."Cincin nikah," jawab Khanif. Pegawai toko tersebut mengangguk dan tersenyum. Dia melangkah menuju etalase perhiasan di belakangnya."Mau modelnya seperti apa, Mas?" tany
"Silahkan, kalau kamu bisa. Jangan ganggu hidupku, jika aku tidak menganggumu," desisku dengan mengigit bibir pelan.Nagita berang dengan rencana pernikahan kami. Menurutnya, itu akan membuat Mas Gilang semakin tidak bisa melupakanku. Umpatan dan makian dia tumpahkan padaku.Dia menuduhku mengingkari janji yang pernah kuucapkan padanya. Aku sudah menunaikan apa yang kuucapkan. Namun, takdir seakan enggan melepasku dari lingkaran keluarga Sentawibara. Bagai buah simalakama. Menjauh dibenci, mendekat juga dicaci. Miris."Aku benci pada manusia sok suci sepertimu!" jerit Nagita. Wajahnya merah bak kepiting rebus yang siap disantap."Itu pintu, silahkan keluar! Aku banyak pekerjaan. Apa pun yang kamu lakukan, aku tetap menikah dengan Khanif. Aku tidak merebut apa-apa darimu. Buka pikiran dan hatimu, jangan selalu siram dengan benci dan emosi. Hingga pada akhirnya dia akan mati dan tidak berfungsi," pungkasku santai. Nagita menatap tajam ke arahku. Langkahnya mendekatiku."Berarti kamu mem
"Khanif! Tolong!" jeritku. Aku tidak ingin berlama-lama dengan Mas Gilang. Otaknya mulai tidak waras."Khanif!" jeritku kembali. Beberapa detik lamanya tidak ada suara di luar sana. Mas Gilang berusaha membekap mulutku."Ibu! Tolong Nia, Ibu!" jeritku histeris."Diam! Jangan ribut," desis Mas Gilang panik.Aku mundur hingga tubuh berbentur tembok pembatas. Tubuhku melorot ke lantai. Menangis sambil memeluk lutut di samping meja rias. Mas Gilang terlihat kelimpungan. Aku terus berteriak, hingga pintu digedor dengan kerasnya."Shiit!" umpat Mas Gilang."Nia! Kenapa pintu dikunci dari dalam. Buka kuncinya, Sayang!" teriak ibu dengan nada suara panik."Tolong!" jeritku. Mas Gilang mondar-mandir nggak tentu arah. Tentunya dia bingung melepas diri dari Khanif dan ibu."Menjauh dari pintu!" teriak Khanif dari luar.Braak!Bruuk!Pintu terlepas dari tempatnya, Khanif, ibu, pegawai butik berserta satpam berdiri di ambang pintu. Mas Gilang tergugu di tempat."Kenapa kamu ada di sini, Mas?" tany
Aku menempuh perjalanan panjang untuk sampai di rumah yang dulu aku tempati. Istana impianku. Tidak ada yang berubah semuanya tetap sama. Hanya ratunya saja yang berganti. Melangkah cepat menuju pintu utama. Bayang-bayang kenangan masa silam meringsek cepat dalam ingatan, membangkitkan gejolak penyesalan atas kebodohan yang pernah kulakukan. Kutekan bel di samping pintu. Aku tidak sabar menunggu penghuninya keluar. Suara berisik terdengar dari dalam. Langkahku mundur ke belakang saat menyadari Mas Gilang yang membukakan pintu. Sejenak, waktu berjalan sangat lamban, tatapannya, membuatku tertunduk tak berdaya. "Kamu datang, Nia. Kamu ingin menemuiku, 'kan?" tanyanya dengan binar mata penuh harap. Ekpresi wajah penuh bahagia tergambar jelas. "Maaf, aku ingin berjumpa dengan istrimu. Tolong panggilkan dia keluar!" pintaku tenang. Berusaha mengelola batin yang sama sekali tidak memiliki ketenangan. "Nagita? Ada masalah apa?" tanyanya dengan kerutan dahi yang sangat menganggu pandangan