Share

Siap Menunggu

"Cincin Mbak? Mbak nggak punya cincin berlian, Nif. Jangan bercanda," tukasku. Ibu hanya mengulas senyum, saat netra kami beradu.

"Iya, Cincin kamu," jawabnya lagi.

"Sejak kapan kamu berani panggil Mbak dengan sebutan kamu?" tanyaku dengan delikan mata.

Hening sejenak. Tidak ada yang bicara. Ibu pamit keluar. Lapar menjadi alasannya. Meninggalkanku dengan Khanif. Jenak-jenak kebisuan tercipta. Entah kenapa aku merasa segan berdua dengannya. Satu tahun tidak berjumpa membuatku canggung dalam menghadapinya. Beruntung, dinding pembatas ruangan terbuat dari kaca. Jadi tidak akan jadi fitnah berduaan dengan lelaki bukan mahramku.

"Kamu nggak mau makan?" tanyaku mencairkan suasana.

"Tidak lapar," jawabnya datar.

Kuhela napas panjang. "Baiklah, kembali ke masalah cincin. Bagaimana ceritanya cincin berlian itu bisa ada dalam cake di meja kamu. Terus sekarang kamu bilang itu milik Mbak. Jawab yang jelas. Jangan membuat orang penasaran.

"Cincin itu milik kamu, Nia." Kepalanya didonggakkan k
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status