“Kalau mama Ratih mau merusak acara kami lebih baik Pak Maman biar mengantar mama pulang!” Suara rendah tapi tegas mengagetkan kami berdua terutama Bu Ratih.
Wajah berdadan menor itu tak bisa menyembunyikan semburat ketakutan di wajahnya. Begitupun Sang Putri yang mematung di samping pintu sambil memegangi perut seolah menunjukkan itu adalah kekuatan terbesarnya saat ini.
“Eh, nak Dio. Kami hanya ngobrol. Iya kan?” katanya sambil menggamit lenganku. Pandai sekali wanita ini.
“Ayo!” Mas Dio merangkul tubuh ini sehingga terlepas dari pegangan. Aku mengikutinya sementara mertuanya melirik tak suka.
“Mari ikut saya, Ma!” katanya kemudian. Mungkin dia menyadari lirikan itu.
Dengan mengeraskan suara, Mas Dio mengumpulkan semua orang. Mau tak mau semua yang hadir berkumpul memutari sebuah meja oval besar di tengah area. Mata me
Berputar mematut diri di depan cermin sudah kulakukan berulang kali. Hari ini jatahku bersama Mas Dio. Aku ingin terlihat segar saat menyambutnya nanti. Beberapa waktu lalu saat jatahku tiba, suami mudaku tak bergairah seperti biasa. Aku takut sudah tak menarik lagi.‘Enjang, Rindi melahirkan. Maaf, aku tak jadi datang.’Aku mendesah kecewa. Pesan singkat yang masuk di aplikasi hijau dari Mas Dio membuat semangat yang tadi membara luruh. Aku hanya membalasnya singkat.‘Ya. Semoga lancar.’‘Aamiin.’Tanda online di ponsel mati. Aku mengerti hanya saja kenapa sekarang, saat hatiku sedang mellow? Kusibukkan diri bekerja lebih giat. Mangupdate menu baru, mengganti tata ruang, memangkas dan membentuk koleksi bonsai di halaman dan banyak lagi. Kelelahan akan membuatku cepat tidur dan tak sempat lagi melamunkan keberadaan suami yang sedang jauh
Selepas menunaikan kewajiban seorang hamba pagi ini aku segera bersiap ke luar kota. Beberapa memo kubuat untuk Mbak Rina asisten pribadiku. Menyerahkan tanggung jawab D’café sepenuhnya selama aku tidak ada.“Pagi begini sudah gendong tas mau kemana, Nduk?” Ibu menyambutku di ruang makan dengan pandangan heran.“Mau menyusul Mas Dio, Bu keluar kota. Ada yang harus kami kerjakan bersama.”Terpaksa aku kembali berbohong agar orang tua itu tak khawatir. Ibu hanya mengangguk ragu. Ini terlalu mendadak tak seperti kebiasaanku yang telah memberitahukan setiap rencana jauh-jauh hari. Kami sarapan bersama tanpa banyak suara. Selesaai sarapan aku kembali ke kamar mengingat akan melakukan sesuatu.Kamarku kedap suara. Sebelum ke rumah sakit, aku ingin memastikan apakah semua keluarganya tahu keadaan suamiku? Mengingat hal itu segera kugulir layar mencari kontak bertulis &ls
*Enjang Wuni Safitri*Sampai di depan sebuah ruang rawatan VIP yang ditunjukkan seorang perawat aku melihat seorang lelaki tengak duduk tepekur di sebuah kursi. Semakin dekat aku bisa mengenali sososknya. Dia adalah Pak Agus, Ayah Rindi.“Kenapa menunggu di luar, Pak?” sapaku.Reaksi bapak tiga anak yang tak beda jauh usianya denganku itu terperanjat kaget. Mungkin tadi dia sedang melamunkan sesuatu. Matanya merah menandakan kalau kurang tidur semalam. Mulutnya terbuka sedikit seperti mau mengatakan sesuatu tapi menutup kembali dengan terus melihat ke arahku.“Kenapa melihat saya begitu, Pak?” tanyaku sambil mendudukkan diri di sampingnya berjarak satu kursi.“Anu, siapa yang mengabari?” katanya gugup.“Kenapa kalian sengaja tak mengabari keluarga, bahkan orang tuanya? Kalau terjadi apa-apa bagaimana?”&l
“Kenapa papa izinkan dia masuk? Sakitnya Dio itu parah kalau sampai dia mati cepat dan sempat berwasiat sama istinya yang tua itu kita rugi, Pa!” Kata-kata ibunya Rindi benar-benar membuatku kaget.“Apa yang kalian rencanaka!” Mereka berbalik bersamaan.“Sebaiknya kamu pulang saja! Kau istri tak berguna yang suaminya sakit saja tak tahu saat bersamamu. Sekarang biarkan kami keluarga Rindi yang mengurus sampai sembuh,” kata wanita itu arogan.“Dokter! Dokter sebentar.” Bu Ratih mencegat dokter yang akan masuk ruangan memeriksa Mas Dio.“Ya, Bu.”“Ini, Dok. Sebaiknya dia dilarang saja bertemu menantu saya. Takutnya nanti malah membuat pasien tambah parah.”“Maaf ini siapanya pasien ya?”“Dia orang ketiga ….”
Semilir angin sore dari jendela kamar rawat ini membawa aroma melati dari taman. Aku lebih baik focus ke luar meski kuping terganggu oleh suara semacam radio rusak yang menyakiti telinga. Berdenging.“Minum susunya itu kuat sekali, Nak. ASI Rindi sampai kering kau tahu? Terpaksa mama kasih formula, kalau tidak ya, nangis terus. Itu harus tiap dua jam lho mama bangun buat bikin susu.” Bu Ratih terus berceloteh menceritakan setiap polah Sang Cucu.Semula Mas Dio antusias mendengarkan tetapi seperti halnya aku lama-lama jenuh juga. Matanya tampak sayu karena mengantuk. Mungkin obat dari dokter yang membuatnya agar bisa beristirahat. Pandangannya sesekali mengarah padaku sambil berusaha menaggapi cerita mertua sekedarnya.“Mama pulang saja. Bukannya Rindi perlu bantuan kasihan sendirian,” kata Mas Dio sopan.“Rindi sekarang sudah panggil pengasuh anak, jadi tak masalah, Nak?
Aku sedih melihat suami mudaku yang biasa gagah dan tegas terbaring tak berdaya. Matanya menutup sempurna dengan napas mengalir teratur. Mas Dio tertidur dengan tangan menggenggam ujung bajuku. Tampak seperti bayi besar takut kehilangan ibunya. Senyumku terbit menyadarinya.Teringat pesan dokter tadi aku menghentikan belaian di pucuk kepalanya dan mencoba melepaskan tangan Mas Dio dari bajuku. Membetulkan letak selimut dan melangkah keluar ruangan mencari ruang dokter yang menangani suamiku.Rasa tegang tib- tiba hadir begitu berhadapan dengan wanita berjas putih dengan nametag Dr. Marta di bagian dada.“Jadi begini, Bu Enjang. Dari pemeriksaan kami di kepala Pak Dio ada semacam sumbatan kecil di syaraf otaknya.Setelah melakukan serangkaian tes, baru akan diketahui apakah sumbatan itu berbahaya atau tidak. Kami harap itu bukan sejenis tumor.Gejolak perasaan terlalu senang atau ketegangan yang berula
Mobil yang membawa kami melaju perlahan menembus jalanan kota yang lumayan padat sore ini. Jam kantor usai beberapa menit yang lalu hingga jalanan ramai orang pulang dari bekerja.“Harusnya kita berangakat lebih cepat biar terhindar dari tumpahan orang kantor keluar,” gerutuku tak sabar. Mas Dio hanya tersenyum tenang.“Kau baik-baik saja?”“Iya jangan khawatir.”Kami memutuskan pulang untuk mempersiapkan diri melakukan pemeriksaan lanjutan seperti yang dijadwalkan dokter. Mas Dio kekeh minta diantar ke rumah Rindi. Mungkin kangen istrinya itu juga putra mereka. Sejak kejadian ribut di ruang rawat waktu itu kedua orang tua Rindi juga tak datang lagi ke rumah sakit.Rumah tampak sepi saat kami masuk. Pak Satpam membukakan pintu bagi kami dan mengangguk. Banyak yang berubah pada rumah ini terutama keamanannya. Kalau bukan wajah bos mereka yang mu
Selasai membersihkan diri di kamar mandi yang ada di dalam kamar ini aku merebahkan badan di pembaringan. Rasa penat langsung terasa begitu kepala menyentuh bantal. Pikirku biarlah terlelap sebentar sampai maghrib beberapa menit lagi, tapi gedoran di pintu membuatku terlonjak duduk.Pintu terbuka menampilkan sosok menyeramkan Bu Ratih yang sedang dilanda amarah yang memuncak. Ada apa? Hatiku bertanya-tanya tak mengerti.“Apa yang kau rencanakan hah!Ayo kesini!” Tanganku diseret keluar dan untungnya jilbab instan tetap terpasang di kepala.Di sebuah ruangan tampak Rindi bersimpuh di kaki suami kami yang sedang duduk di sebuah kursi dengan wajah frustasi.“Ada apa, Mas?” tanyaku bingung.Mas Dio menatapku dengan pandangan penuh kesedihan. Segera kukibaskan tangan gempal yang masih mencenggkeram pergelangan tangan dan segera menghampiri lelaki y