***"Sudah ya, Pak. Terima kasih.""Iya, Suster."Pengambilan darah selesai, Danendra kembali menurunkan lengan kemejanya yang beberapa menit lalu dilipat.Beranjak, dia mengedarkan pandangan sebelum akhirnya keluar dari ruangan khusus tempat pengambilan darah untuk menemui Adara yang sejak tadi menunggu di luar seorang diri.Tak mau didiamkan Adara atau mungkin timbul masalah lainnya dengan sang istri, Danendra akhirnya mengalah dengan bersedia mendonorkan darahnya untuk Felicya karena kebetulan perempuan itu belum mendapatkan donor.Sempat tersinggung karena ucapan Danendra, Rafly awalnya menolak ketika Danendra mengutarakan niatnya. Namun, kondisi Felicya yang semakin mengkhawatirkan membuatnya mau tak mau menerima semua itu."Dan, gimana? Udah?" tanya Adara yang langsung beranjak usai melihat Danendra keluar."Udah," kata Danendra. "Sekarang kita pulang, kamu harus istirahat.""Enggak dulu," kata Adara."Kok enggak dulu sih, Ra?" tanya Danendra."Aku pengen pastiin dulu kondisi Fe
***"Udah selesai belum, Mbak?"Beberapa menit lalu pergi ke kamar untuk mengganti baju, Danendra kembali ke dapur menghampiri salah satu pelayan rumah yang dia tugaskan membuat sesuatu.Bukan memasak makanan enak atau semacamnya, perintah Danendra pada pelayan tersebut adalah; membuat bumbu petis untuk mangga yang dia bawa bersama Adara.Tak jadi mencuri, Danendra dan Adara mendapatkan mangga tersebut dengan cara baik-baik karena ketika mereka beberapa menit berhenti di dekat pohon mangga, sang pemilik keluar.Tahu siapa Danendra, pemilik rumah tersebut jelas mengizinkan laki-laki itu untuk memetik mangga muda berapa pun yang dia inginkan.Tak sedikit, Danendra yang memanjat sendiri pohon mangga tersebut, memetik sepuluh buah untuk dibawa pulang.Danendra bilang selain sore ini, dia mungkin akan menginginkan mangga tersebut di lain waktu."Sedikit lagi, Den," kata Mbak Susi."Waw." Danendra tersenyum melihat coklat dan pekatnya bumbu petis yang masih diulek. "Enak kayanya ya.""I-ya
***"Raf."Rafly yang hampir saja terlelap seketika terkesiap setelah mendengar suara parau Felicya memanggil namanya.Sejak dipindahkan ke ruang rawat juga Adara yang pulang bersama Danendra, Rafly tak sedetik pun beranjak dari kursi di samping ranjang Felicya.Pria itu setia di sana sambil memegangi tangan Felicya hingga kini, akhirnya perempuan itu bangun."Fel, kamu bangun?" tanya Rafly antusias."Aku," ucap Felicya. Dia mengedarkan pandangannya—mengenali tempat dia berada sekarang sambil mengingat-ingat lagi apa saja yang terjadi padanya."Perut aku," ucap Felicya sambil mengusap perutnya menggunakan tangan kiri lalu memandang Rafly. "Raf, anak kita mana? Baik-baik aja, kan? Anak aku enggak kenapa-kenapa, kan?""Enggak," ucap Rafly. "Anak kita baik-baik aja kok, Fel. Dia sehat.""Mana?" Rafly melirik box bayi di samping kirinya—membuat Felicya ikut menoleh ke arah yang sama."Lagi tidur," kata Rafly."Ya ampun." Felicya tersenyum lalu dengan sangat hati-hati dia mengubah posisin
***"Dan, Danendra ... kamu di mana, Dan ... lho?"Adara yang baru saja membuka matanya seketika menyipit ketika dia tak mendapati Danendra tidur di depannya."Danendra mana?"Adara yang semula tidur dengan posisi miring, lantas beringsut lalu duduk sambil mengedarkan pandangan—mencari keberadaan sosok suaminya yang entah ke mana."Danendra."Masih kondisi setengah sadar, Adara turun dari kasur. Sebelum melanjutkan untuk mencari Danendra, dia berjalan menuju box bayi untuk melihat Elara yang masih terlelap.Melongok ke kamar mandi, Adara tak menemukan Danendra di sana."Danendra ke mana sih?" tanya Adara ketika dia melihat jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah satu dini hari.Terdiam, perhatian Adara beralih ketika dari bawah sana terdengar suara gerbang dibuka."Danenendra mau ke mana?"Adara bergegas. Membuka pintu kamar, dia melangkah dengan sedikit cepat menuruni tangga hingga akhirnya sampai di ruang tamu.Membuka pintu, Adara akhirnya menemukan Danendra yang baru saja masuk
***"Dan, masih mual?!"Adara yang saat ini berdiri di ujung kasur sambil menggendong Elara, kembali melontarkan pertanyaan tersebut pada Danendra yang saat ini masih berada di kamar mandi untuk mengeluarkan semua isi perutnya.Morning sickness. Selain ngidam yang dialami Danendra pada kehamilan kedua Adara, mual dan muntah yang biasanya terjadi pada perempuan hamil pun ikut dirasakan putra kedua Alexander tersebut.Usai menghabiskan sarapannya seperti biasa, Danendra tiba-tiba saja merasa mual dan di kamar mandilah dia berada sekarang.Adara ingin membantu. Namun, Elara yang pagi ini rewel membuatnya tak bisa berbuat apa-apa untuk meringankan apa yang sedang dialami Danendra."Masih, Ra!" sahut Danendra lalu di detik berikutnya yang terdengar Adalah suara Danendra sedang muntah—membuat Adara rasanya ikut mual karena suara suaminya itu tak pelan.Selain karena Danendra adalah laki-laki yang memiliki suara besar, faktor kamar mandi pun menjadi sebab kenapa suara muntah Danendra terdeng
"Hai, Dan, Ra. Pagi."Entah takut atau apa, Danendra langsung merangkul Adara yang berdiri di sampingnya ketika sapaan tersebut diucapkan seorang pria yang saat ini duduk di sofa bersama sang istri."Hai," sapa Danendra singkat."Pagi, Raf."Rafly juga Felicya.Setelah dini hari tadi mengirim pesan pada Adara—mengabari jika dirinya akan segera datang, pagi ini Rafly menepati janjinya untuk berkunjung ke rumah Adara.Tak sendiri, Rafly datang bersama Felicya yang baru saja pulang dari rumah sakit tiga hari lalu karena memang yang punya tujuan penting datang adalah perempuan tersebut."Ada apa?" tanya Danendra. Membaca pesan yang diterima Adara, jujur saja dia masih merasa kesal pada Rafly.Isi pesan tersebut memang bukan sesuatu yang macam-macam. Namun, tetap saja rasanya tak sopan mengirim chat pada perempuan yang berstatus istri orang di waktu dini hari."Ada yang ingin aku bicarakan."Bukan dari Rafly, ucapan tersebut dilontarkan Felicya. Tak memasang wajah angkuh seperti biasanya,
***"Gimana kondisi bayinya, Dokter? Baik, kan?"Danendra yang sejak tadi duduk di samping Adara langsung memandang dokter Kiran ketika perlahan layar di depannya menampilkan kondisi perut Adara.Pemeriksaan rutin kandungan.Usai dinyatakan hamil, kegiatan tersebut kembali rutin dilakukan Adara setiap bulannya. Tak mengambil siang hari, Adara memilih untuk melakukan pemeriksaan di waktu sore setiap hari sabtu.Dan hari ini adalah pemeriksaan keempatnya karena usia kehamilan Adara sudah menginjak enam belas minggu atau empat bulan."Baik, Pak," kata dokter Kiran. "Perkembangan bayinya bagus, normal. Plasenta juga bagus, air ketubannya pas. Semuanya bagus. Jenis kelaminnya juga sudah bisa dilihat, hanya saja belum jelas.""Dirahasiain aja, Dokter," kata Adara. "Nanti kalau udah tujuh bulan, baru saya tanya lagi.""Oh baiklah kalau begitu," kata dokter Kiran. "Kesehatannya tetap dijaga ya, Bu. Makan makanan bergizi, jangan mengerjakan pekerjaan berat, istirahat yang cukup dan yang terpen
***"Seriusan kamu enggak marah?"Cukup takut, sekali lagi Adara melayangkan pertanyaan tersebut pada Danendra yang saat ini tengah mengancingkan jaket bomber Adara.Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah satu dini hari, Danendra memakaikan pakaian hangat untuk istrinya sebelum keluar.Selain jaket, Danendra meminta Adara memakai kupluk lalu untuk bagian bawah, Adara pun mengenakan kaos kaki sebelum menggunakan sandal."Enggak," kata Danendra.Tak ada angin tak ada hujan, Adara tiba-tiba saja ingin bertemu Rafly setelah mimpi bertemu pria itu. Tak hanya bertemu, Adara juga bilang pada Danendra ingin duduk sambil bertatapan dengan mantan kekasihnya itu untuk beberapa detik.Aneh memang. Namun, tentu saja Danendra mencoba untuk mengerti karena terkadang keinginan oranh hamil sedikit absurd."Kok jawabnya singkat?" tanya Adara tak enak.Selesai mengancingkan jaket, Danendra tersenyum. "Enggak, Sayang," ucapnya."Maaf ya, Dan. Ngerepotin," ucap Adara. "Habisnya enggak tau kenapa, aku