***"Dan, Danendra ... kamu di mana, Dan ... lho?"Adara yang baru saja membuka matanya seketika menyipit ketika dia tak mendapati Danendra tidur di depannya."Danendra mana?"Adara yang semula tidur dengan posisi miring, lantas beringsut lalu duduk sambil mengedarkan pandangan—mencari keberadaan sosok suaminya yang entah ke mana."Danendra."Masih kondisi setengah sadar, Adara turun dari kasur. Sebelum melanjutkan untuk mencari Danendra, dia berjalan menuju box bayi untuk melihat Elara yang masih terlelap.Melongok ke kamar mandi, Adara tak menemukan Danendra di sana."Danendra ke mana sih?" tanya Adara ketika dia melihat jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah satu dini hari.Terdiam, perhatian Adara beralih ketika dari bawah sana terdengar suara gerbang dibuka."Danenendra mau ke mana?"Adara bergegas. Membuka pintu kamar, dia melangkah dengan sedikit cepat menuruni tangga hingga akhirnya sampai di ruang tamu.Membuka pintu, Adara akhirnya menemukan Danendra yang baru saja masuk
***"Dan, masih mual?!"Adara yang saat ini berdiri di ujung kasur sambil menggendong Elara, kembali melontarkan pertanyaan tersebut pada Danendra yang saat ini masih berada di kamar mandi untuk mengeluarkan semua isi perutnya.Morning sickness. Selain ngidam yang dialami Danendra pada kehamilan kedua Adara, mual dan muntah yang biasanya terjadi pada perempuan hamil pun ikut dirasakan putra kedua Alexander tersebut.Usai menghabiskan sarapannya seperti biasa, Danendra tiba-tiba saja merasa mual dan di kamar mandilah dia berada sekarang.Adara ingin membantu. Namun, Elara yang pagi ini rewel membuatnya tak bisa berbuat apa-apa untuk meringankan apa yang sedang dialami Danendra."Masih, Ra!" sahut Danendra lalu di detik berikutnya yang terdengar Adalah suara Danendra sedang muntah—membuat Adara rasanya ikut mual karena suara suaminya itu tak pelan.Selain karena Danendra adalah laki-laki yang memiliki suara besar, faktor kamar mandi pun menjadi sebab kenapa suara muntah Danendra terdeng
"Hai, Dan, Ra. Pagi."Entah takut atau apa, Danendra langsung merangkul Adara yang berdiri di sampingnya ketika sapaan tersebut diucapkan seorang pria yang saat ini duduk di sofa bersama sang istri."Hai," sapa Danendra singkat."Pagi, Raf."Rafly juga Felicya.Setelah dini hari tadi mengirim pesan pada Adara—mengabari jika dirinya akan segera datang, pagi ini Rafly menepati janjinya untuk berkunjung ke rumah Adara.Tak sendiri, Rafly datang bersama Felicya yang baru saja pulang dari rumah sakit tiga hari lalu karena memang yang punya tujuan penting datang adalah perempuan tersebut."Ada apa?" tanya Danendra. Membaca pesan yang diterima Adara, jujur saja dia masih merasa kesal pada Rafly.Isi pesan tersebut memang bukan sesuatu yang macam-macam. Namun, tetap saja rasanya tak sopan mengirim chat pada perempuan yang berstatus istri orang di waktu dini hari."Ada yang ingin aku bicarakan."Bukan dari Rafly, ucapan tersebut dilontarkan Felicya. Tak memasang wajah angkuh seperti biasanya,
***"Gimana kondisi bayinya, Dokter? Baik, kan?"Danendra yang sejak tadi duduk di samping Adara langsung memandang dokter Kiran ketika perlahan layar di depannya menampilkan kondisi perut Adara.Pemeriksaan rutin kandungan.Usai dinyatakan hamil, kegiatan tersebut kembali rutin dilakukan Adara setiap bulannya. Tak mengambil siang hari, Adara memilih untuk melakukan pemeriksaan di waktu sore setiap hari sabtu.Dan hari ini adalah pemeriksaan keempatnya karena usia kehamilan Adara sudah menginjak enam belas minggu atau empat bulan."Baik, Pak," kata dokter Kiran. "Perkembangan bayinya bagus, normal. Plasenta juga bagus, air ketubannya pas. Semuanya bagus. Jenis kelaminnya juga sudah bisa dilihat, hanya saja belum jelas.""Dirahasiain aja, Dokter," kata Adara. "Nanti kalau udah tujuh bulan, baru saya tanya lagi.""Oh baiklah kalau begitu," kata dokter Kiran. "Kesehatannya tetap dijaga ya, Bu. Makan makanan bergizi, jangan mengerjakan pekerjaan berat, istirahat yang cukup dan yang terpen
***"Seriusan kamu enggak marah?"Cukup takut, sekali lagi Adara melayangkan pertanyaan tersebut pada Danendra yang saat ini tengah mengancingkan jaket bomber Adara.Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah satu dini hari, Danendra memakaikan pakaian hangat untuk istrinya sebelum keluar.Selain jaket, Danendra meminta Adara memakai kupluk lalu untuk bagian bawah, Adara pun mengenakan kaos kaki sebelum menggunakan sandal."Enggak," kata Danendra.Tak ada angin tak ada hujan, Adara tiba-tiba saja ingin bertemu Rafly setelah mimpi bertemu pria itu. Tak hanya bertemu, Adara juga bilang pada Danendra ingin duduk sambil bertatapan dengan mantan kekasihnya itu untuk beberapa detik.Aneh memang. Namun, tentu saja Danendra mencoba untuk mengerti karena terkadang keinginan oranh hamil sedikit absurd."Kok jawabnya singkat?" tanya Adara tak enak.Selesai mengancingkan jaket, Danendra tersenyum. "Enggak, Sayang," ucapnya."Maaf ya, Dan. Ngerepotin," ucap Adara. "Habisnya enggak tau kenapa, aku
***"Udah?"Adara yang sejak beberapa detik lalu saling melempar tatapan dengan Rafly, seketika menoleh pada Danendra ketika pertanyaan itu dilontarkan suaminya."Udah, Dan," kata Adara."Oke," ucap Danendra. Dia yang semula duduk di sofa single beranjak lalu menghampiri Adara lalu mengusap perut buncit istrinya itu. "Jangan ngeces ya, ngidam Mama kamu udah Papa laksanain.""Jangan salah paham, Dan," ucap Rafly."Enggak, siapa juga yang salah paham?" tanya Danendra."Feli maaf ya udah ganggu," ucap Adara. "Makasih juga karena ngizinin aku ketemu Rafly.""Iya, Ra. Santai aja," ucap Felicya.Danendra melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. "Udah jam setengah dua, Ra. Mau pulang sekarang?" tanyanya."Boleh," ucap Adara."Ya udah," kata Danendra. Dia kemudian beranjak sambil menuntun Adara. Setelah mengucapkan terima kasih lagi, keduanya bergegas keluar lalu kembali masuk ke dalam mobil."Hati-hati di jalan, Ra," kata Felicya."Iya, Fel. Sekali lagi makasih ya.""Sama-sama, Ra.""Pa
***"Dan, bangun, Dan. Kita kesiangan deh kayanya," ucap Adara sambil menepuk pipi Danendra yang masih terlelap. "Ayo bangun, ini jam berapa?"Danendra membuka matanya secara perlahan lalu mengerjap sebelum akhirnya memandang Adara. "Kenapa, Ra?" tanyanya."Udah siang," ucap Adara setelah dia melihat cahaya matahari masuk ke kamar lewat gorden. "Kamu bukannya mau ke kantor?""Ah." Danendra menguap lalu menggeliat sebelum akhirnya duduk. Menoleh ke arah jam dinding, dia bernapas lega karena ternyata jarum jam baru menunjukkan pukul tujuh."Telat enggak?" tanya Adara sambil mengikat rambutnya. Sama seperti Danendra, dia pun sudah duduk di kasur.Usai kegiatan mereka yang baru selesai pukul setengah empat, Danendra dan Adara sepakat untuk tak tidur lagi karena harus mandi sebelum menunaikan sholat subuh pukul setengah lima.Kantuk melanda, Adara dan Danendra kembali tidur dan bangun beberapa menit lalu. Padahal, rencananya hari ini Danendra akan ke kantor untuk mengambil berkas yang tert
***"Nikah? Kok enggak bilang-bilang?"Adara kentara sekali mengungkapkan keterkejutannya setelah mendengar pernyataan yang diberikan Ginanjar pagi ini.Tak datang sendiri, Ginanjar berkunjung ditemani seorang perempuan yang jelas tak asing di mata Adara.Mbak Lia. Perempuan yang usianya jelas lebih muda itu menemani Ginanjar menemui Adara untuk meminta restu menikah."Iya," ucap Ginanjar. "Sengaja, biar kejutan.""Dih, Papa," kata Adara. "Kaget lho aku ini."Tentang Ginanjar yang pernah bercerita ingin mendekati Mbak Lia, Adara memang sudah tahu. Namun, tentang kelanjutan hubungan sang Papa dengan Mbak Lia, Adara tak tahu lagi karena memang Ginanjar jarang bercerita."Maaf, Non. Katanya Papa Non enggak mau repotin karena Non pasti bantu siapin kalau tahu dari awal," ucap Mbak Lia ikut buka suara."Non?" tanya Adara. "Udah mau jadi istrinya Papa, manggilnya masih Non?"Mbak Lia tersenyum canggung. "Terus saya manggilnya apa dong?" tanyanya."Panggil Dara aja, Mbak," ucap Danendra. "Ja